Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Senja (Karya Hartojo Andangdjaja)

Puisi “Senja” karya Hartojo Andangdjaja mengingatkan kita bahwa setiap perpisahan bukanlah akhir, melainkan pulang ke pelukan cahaya, tempat di ...

Senja


Seperti pernah kukenal wajah senja ini
terkembang dalam puisi
Seperti warna dan cahaya ini
menyala abadi dalam sajak-sajak murni

Senja ketika matahari pulang kembali
-- seperti langit di barat ialah ibu yang setia menanti
berada di batas penghabisan yang jauh dan sunyi

Senja yang sayup mengalir
sesayup mimpi, sesayup puisi sebelum terlahir
serupa senja yang berjaga di batas takdir

di mana kitapun dinanti
di mana rindu tak ada lagi

Sumber: Horison (Oktober, 1990)

Analisis Puisi:

Puisi “Senja” karya Hartojo Andangdjaja merupakan salah satu karya liris yang lembut dan reflektif, menggambarkan momen peralihan antara terang dan gelap sebagai simbol kehidupan, keindahan, dan kefanaan manusia. Dengan gaya bahasa yang tenang dan penuh makna simbolik, penyair menafsirkan senja bukan hanya sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai metafora tentang perjalanan jiwa menuju keheningan dan penantian abadi.

Tema

Tema utama puisi “Senja” adalah renungan tentang kefanaan dan keabadian dalam kehidupan manusia. Hartojo Andangdjaja menggunakan senja sebagai simbol waktu peralihan—antara siang dan malam, antara kehidupan dan kematian, antara kehadiran dan kehilangan. Melalui keindahan senja, penyair berbicara tentang siklus hidup manusia: datang, berjuang, lalu kembali pulang.

Senja dalam puisi ini bukan sekadar keindahan alam, tetapi juga penanda spiritual dari perjalanan menuju kesunyian dan kedamaian yang abadi.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang merenungi senja dan menemukan dirinya di dalamnya.

Pada baris pembuka, “Seperti pernah kukenal wajah senja ini / terkembang dalam puisi,” penyair menegaskan adanya hubungan emosional dan batin antara dirinya dan senja. Ia seolah pernah bertemu, pernah memahami, bahkan pernah mengabadikan senja dalam sajak-sajaknya terdahulu.

Kemudian, ia menggambarkan senja sebagai sosok keibuan yang setia menanti, seperti pada larik:

“Senja ketika matahari pulang kembali / seperti langit di barat ialah ibu yang setia menanti.”

Di sini, senja bukan hanya fenomena alam, melainkan juga simbol kasih sayang, penerimaan, dan keabadian cinta seorang ibu.

Senja menjadi tempat kembalinya matahari—seperti manusia yang kelak akan kembali kepada asalnya.

Bagian akhir puisi memperdalam makna spiritual itu:

“di mana kitapun dinanti / di mana rindu tak ada lagi.”

Larik ini menggambarkan dunia setelah kehidupan, tempat segala kerinduan dan keterpisahan berakhir. Maka, “senja” di sini adalah metafora perjalanan menuju akhir, di mana manusia akhirnya mencapai ketenangan abadi.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah perenungan eksistensial tentang kehidupan, kematian, dan penantian spiritual. Senja diibaratkan sebagai cermin kehidupan manusia yang sementara. Ketika matahari “pulang”, ia melambangkan akhir dari segala perjalanan, sebuah “kepulangan” yang tak perlu ditakuti karena ada cinta dan penerimaan di sana.

Larik “langit di barat ialah ibu yang setia menanti” mengandung makna mendalam tentang kasih sayang tanpa syarat. Sang “ibu” di sini bisa dimaknai sebagai Tuhan, alam semesta, atau bahkan sosok spiritual yang menanti kembalinya jiwa-jiwa manusia.

Sementara larik terakhir, “di mana kitapun dinanti / di mana rindu tak ada lagi,” menyiratkan harapan akan pertemuan kembali setelah kematian—tempat tanpa jarak, tanpa rindu, tanpa kehilangan. Makna ini memperlihatkan pandangan religius dan humanistik penyair, bahwa kehidupan manusia hanyalah perjalanan singkat menuju keabadian.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini tenang, syahdu, dan melankolis. Kata-kata seperti “sayup”, “sunyi”, “penghabisan”, dan “rindu” menciptakan nuansa lembut yang penuh perenungan. Pembaca seakan diajak duduk di tepi senja—menyaksikan langit berwarna jingga, mendengar angin berhembus pelan, dan merasakan campuran antara damai dan sedih.

Meskipun terasa melankolis, suasana ini bukan kesedihan yang muram, melainkan kesedihan yang indah dan penuh penerimaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi “Senja” adalah ajakan untuk menerima kehidupan dan kematian dengan tenang, serta menyadari bahwa setiap akhir adalah bagian dari keindahan perjalanan. Hartojo Andangdjaja ingin menyampaikan bahwa manusia seharusnya tidak takut pada perubahan dan perpisahan. Segala sesuatu yang hidup pasti akan kembali kepada asalnya—seperti matahari yang setiap sore “pulang” ke barat, namun akan “lahir” kembali esok pagi.

Puisi ini mengajarkan kebijaksanaan dalam memandang kefanaan: bahwa di balik setiap perpisahan selalu ada cinta yang menanti, dan di balik setiap senja selalu ada cahaya baru yang akan datang. Dengan demikian, hidup sebaiknya dijalani dengan penuh kesadaran dan ketulusan, tanpa ketakutan terhadap akhir.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan perasaan (emosional) yang kuat.

Imaji visual muncul dalam larik-larik seperti:

“Seperti warna dan cahaya ini / menyala abadi dalam sajak-sajak murni.”

Gambaran warna senja dan cahaya lembut memberi kesan puitis sekaligus spiritual.

Imaji perasaan tampak pada larik:

“Senja yang sayup mengalir / sesayup mimpi, sesayup puisi sebelum terlahir.”

Imaji ini menghidupkan suasana batin yang tenang, sekaligus penuh kerinduan.

Melalui kekuatan imaji, penyair berhasil menjadikan pemandangan alam sebagai refleksi dari kondisi batin manusia.

Majas

Hartojo Andangdjaja menggunakan majas personifikasi, simile, dan metafora dengan lembut dan terukur:
  • Personifikasi: “Senja ketika matahari pulang kembali” — matahari digambarkan seperti manusia yang pulang ke rumah.
  • Simile (perbandingan langsung): “seperti langit di barat ialah ibu yang setia menanti” — perbandingan antara langit senja dan sosok ibu menambah kedalaman makna emosional.
  • Metafora: Senja sebagai simbol kehidupan dan kematian, perjalanan waktu, dan kepulangan spiritual.
  • Repetisi halus: Pengulangan kata “senja” di setiap bagian memperkuat kesan ritmis dan menegaskan makna simboliknya sebagai pusat perenungan.
Puisi “Senja” karya Hartojo Andangdjaja adalah karya yang lembut, spiritual, dan sarat makna kehidupan. Melalui simbol senja, penyair menggambarkan perjalanan manusia menuju akhir dengan ketenangan dan cinta. Tema tentang kefanaan dan keabadian, makna tersirat mengenai kepulangan jiwa, serta penggunaan imaji dan majas yang indah menjadikan puisi ini sebagai salah satu refleksi eksistensial yang mendalam dalam sastra Indonesia.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa setiap perpisahan bukanlah akhir, melainkan pulang ke pelukan cahaya, tempat di mana tidak ada lagi rindu—hanya keabadian yang damai.

Hartojo Andangdjaja
Puisi: Senja
KaryaHartojo Andangdjaja

Biodata Hartojo Andangdjaja:
  • Hartojo Andangdjaja (Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya) lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.