Sepasang Mata Danau
Sepasang mata untuk selamanya
Mengapa aku jauh darimu?
Dalam kapel kecil di jantung Kalimantan
Ketika laba-laba memintal siang
Aku ingin kamu datang
Membawa angin dan kehidupan.
O, Tuhan, mengapa kauciptakan
Begitu banyak danau dalam hidupku?
Kini aku haus, justru kerna air di mana-mana
Kasih sayang berkelimpahan
Mendamba kobaran gairah matiku
Ah, sepasang mata untuk selamanya
Mengapa kamu jauh dari padaku?
Palangkaraya, 1995
Sumber: Masih bersama Langit (2000)
Analisis Puisi:
Puisi “Sepasang Mata Danau” karya Eka Budianta merupakan karya liris yang memadukan unsur alam dan perasaan manusia. Dengan diksi yang sederhana namun sarat simbol, penyair menggambarkan kerinduan yang dalam terhadap sosok yang jauh, sekaligus pencarian makna spiritual di tengah kelimpahan kasih yang terasa hampa. Dalam puisinya, alam menjadi cermin jiwa — dan air danau menjadi simbol keheningan, kedalaman, serta kerinduan yang tak terjawab.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan dan pencarian makna di tengah kelimpahan kasih. Penyair mengekspresikan perasaan batin yang paradox: di tengah dunia yang tampak penuh kehidupan dan cinta, sang aku justru merasa jauh dan haus. Tema ini memadukan dimensi cinta manusiawi dan spiritual, karena kegelisahan yang diungkap bukan hanya karena kehilangan sosok kekasih, tetapi juga karena jarak antara manusia dan Tuhannya.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merindukan sosok tercinta — atau sesuatu yang bermakna dalam hidupnya — yang terasa jauh dan tak tergapai.
Dalam “kapel kecil di jantung Kalimantan”, penyair menghadirkan suasana batin yang sunyi dan sakral. Alam Kalimantan yang luas dan tenang menjadi latar bagi batin yang merasa kehilangan.
Ungkapan “Aku ingin kamu datang, membawa angin dan kehidupan” menunjukkan harapan akan kehadiran yang memberi napas baru — entah itu cinta sejati, inspirasi, atau bahkan kehadiran Tuhan. Namun, paradoks muncul saat penyair berkata “Kini aku haus, justru kerna air di mana-mana”, menandakan bahwa kelimpahan materi atau kasih yang tampak di luar justru membuat batin merasa semakin kosong.
Dengan demikian, puisi ini bukan hanya tentang rindu kepada seseorang, tetapi juga rindu kepada makna hidup itu sendiri.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat mendalam. Eka Budianta tampaknya ingin menyampaikan bahwa kehidupan manusia sering kali dipenuhi hal-hal yang tampak berlimpah, tetapi batin tetap merasa kekurangan.
Kalimat “Begitu banyak danau dalam hidupku” dapat dimaknai sebagai simbol dari banyaknya pengalaman, kenangan, atau kasih yang ia miliki. Namun, meski “air di mana-mana”, ia justru merasa “haus”. Ini adalah metafora kekosongan spiritual di tengah dunia yang serba penuh.
Makna lain yang tersirat adalah kerinduan akan kesatuan sejati — baik antara manusia dengan manusia, maupun antara manusia dengan Sang Pencipta. “Sepasang mata” di sini dapat ditafsirkan sebagai mata kekasih, atau juga sebagai simbol dari dua danau jiwa yang saling memandang dan menyatu dalam cinta.
Puisi ini mengajarkan bahwa tidak semua kelimpahan membawa kebahagiaan; justru dalam kesunyian dan keterpisahan, manusia belajar memahami hakikat cinta yang sejati.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi terasa melankolis, hening, dan penuh kerinduan.
- Baris-baris seperti “Mengapa aku jauh darimu?” dan “Aku ingin kamu datang” menegaskan rasa kehilangan yang mendalam.
- Kata-kata seperti “kapel kecil”, “jantung Kalimantan”, dan “laba-laba memintal siang” menimbulkan suasana sunyi dan meditatif, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang bagi penyair merenungkan kerinduan dan kehampaan batinnya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa kedekatan sejati bukan diukur dari jarak atau kelimpahan, melainkan dari kedalaman makna dan ketulusan hati.
Manusia dapat dikelilingi oleh banyak hal indah — cinta, alam, bahkan kekayaan — tetapi jika batin belum menemukan “mata danau” yang sejati, ia tetap akan merasa haus.
Puisi ini juga mengingatkan kita untuk mencari sumber kehidupan sejati dalam makna spiritual, bukan sekadar kepuasan lahiriah. Eka Budianta seolah menyampaikan bahwa hanya dengan cinta yang tulus dan kesadaran spiritual, manusia dapat menemukan “air kehidupan” yang benar-benar memuaskan dahaganya.
Imaji
Puisi ini sangat kuat dalam menghadirkan imaji visual dan imaji perasaan (emosional). Contoh imaji visual dapat ditemukan dalam baris:
- “Dalam kapel kecil di jantung Kalimantan” — menciptakan bayangan sebuah tempat sunyi di tengah alam yang luas dan tenang.
- “Ketika laba-laba memintal siang” — imaji metaforis yang menggambarkan pergantian waktu, atau situasi di mana cahaya hari mulai berkurang, seperti jaring laba-laba yang menutup pandangan.
- “Begitu banyak danau dalam hidupku” — menghadirkan bayangan permukaan air yang tenang, namun justru menimbulkan rasa kesepian dan jarak.
Sementara itu, imaji emosional tampak dalam ungkapan “Aku haus, justru kerna air di mana-mana”, yang menggambarkan perasaan kontradiktif — kehausan batin di tengah kelimpahan dunia. Imaji inilah yang memperkuat kesan eksistensial dan spiritual puisi ini.
Majas
Puisi ini kaya dengan majas metafora dan personifikasi. Beberapa contohnya:
Metafora:
- “Sepasang mata untuk selamanya” — bukan hanya berarti mata seseorang, tetapi juga simbol cinta abadi atau pandangan jiwa yang dalam.
- “Begitu banyak danau dalam hidupku” — menggambarkan banyaknya pengalaman atau hubungan yang justru membuat batin terasa penuh namun hampa.
- “Aku haus, justru kerna air di mana-mana” — metafora untuk kekosongan spiritual di tengah kelimpahan duniawi.
Personifikasi:
- “Ketika laba-laba memintal siang” — waktu (siang) diperlakukan seolah benda yang bisa “dipintal”, menggambarkan perubahan alam dengan bahasa manusiawi.
Puisi “Sepasang Mata Danau” karya Eka Budianta adalah karya reflektif yang menampilkan kerinduan, kesepian, dan pencarian makna spiritual di tengah dunia yang tampak penuh.
Dengan tema tentang kerinduan eksistensial, puisi ini mengajak pembaca menyelami batin manusia yang selalu haus akan makna sejati.
Melalui imaji alam, majas metafora, dan suasana yang melankolis, Eka Budianta berhasil menghadirkan karya yang tidak hanya indah secara bahasa, tetapi juga mendalam secara filosofis. Pesannya sederhana namun universal:
bahkan di tengah “air di mana-mana”, manusia tetap bisa merasa haus — sampai ia menemukan cinta dan makna yang sejati.
