Seperti Sebuah Doa
Lalu melambailah daun-daun bunga kemboja
meraih sepinya pada tanah
Angin yang sekarang. Dan kita yang membuat ruang
bangku kecil di halaman. Memencilkan malam
Kita tidak tahu: kemana arah bunyi-bunyian
yang menggema di desa jauh. Tetapi arah waktu
yang terjun ke laut, pergi ke benua
Tetapi arah langit yang ke bumi
Lain berkejaranlah kita, mencari buah apel
dan berhenti, matahari di depan jendela
membuka pintu rumah
seperti yang dulu juga. Tapi yang sekarang hanya ada
seperti doa dalam abstraksi
seperti tiada dalam nyanyi
1968
Sumber: Horison (Mei, 1970)
Analisis Puisi:
Puisi “Seperti Sebuah Doa” karya Abdul Hadi WM merupakan salah satu karya puitis yang khas dengan suasana kontemplatif dan spiritual. Penyair yang dikenal sebagai salah satu tokoh utama puisi sufistik Indonesia ini menghadirkan permenungan tentang waktu, kenangan, dan kesunyian hidup manusia. Meskipun berangkat dari pengalaman yang tampak sederhana, puisi ini menyentuh dimensi batin yang lebih dalam—antara kehadiran dan kehilangan, antara realitas duniawi dan makna rohaniah.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perenungan tentang waktu dan kefanaan hidup manusia. Abdul Hadi WM menyoroti bagaimana manusia berada dalam arus waktu yang terus bergerak, di antara kenangan masa lalu dan kekosongan masa kini. Unsur spiritual terasa kental—seolah penyair ingin menegaskan bahwa segala yang fana hanya menjadi bayangan, sementara doa dan kesadaran batin adalah sesuatu yang abadi.
Selain itu, tema kesendirian dan pencarian makna hidup juga terasa kuat. Penyair menghadirkan gambaran suasana sunyi, sepi, dan memencil, yang justru menjadi ruang bagi manusia untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Puisi ini bercerita tentang dua orang—“kita”—yang berada dalam suasana hening dan mengenang masa lalu. Mereka duduk di bangku kecil di halaman, mungkin di bawah pohon kemboja, sambil menyadari perubahan waktu yang tidak bisa dikendalikan.
Bunyi-bunyian dari desa jauh, laut, benua, dan langit menjadi simbol perjalanan waktu dan kehidupan. Semua bergerak, sementara manusia hanya bisa diam dan merenung. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah doa dan ingatan yang samar—“seperti doa dalam abstraksi, seperti tiada dalam nyanyi”.
Puisi ini bisa dibaca sebagai refleksi atas kehidupan yang sementara, di mana hal-hal yang dulu nyata kini tinggal kenangan yang abstrak, seperti doa yang tak lagi bersuara namun masih terasa getarannya di hati.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran eksistensial manusia terhadap kefanaan dan keterbatasannya di hadapan waktu dan Tuhan.
Abdul Hadi WM tampaknya ingin mengungkapkan bahwa segala yang kita alami—baik kebersamaan, kenangan, maupun keindahan—akhirnya akan memudar. Namun, di balik kefanaan itu, terdapat nilai rohaniah yang abadi: doa, ketulusan, dan kesadaran diri.
Baris “seperti doa dalam abstraksi, seperti tiada dalam nyanyi” mengandung makna mendalam: bahwa doa bukan sekadar ucapan, melainkan kesadaran akan keberadaan yang melampaui kata-kata. Dalam kesunyian dan keterasingan, manusia menemukan Tuhan melalui keheningan batin.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah hening, sepi, dan melankolis. Pembaca seolah diajak memasuki ruang batin yang penuh kenangan dan keheningan malam. Ada kesan tenang sekaligus getir—karena kesadaran akan kehilangan dan perubahan waktu yang tak terelakkan.
Gambaran seperti “daun-daun bunga kemboja meraih sepinya pada tanah” memperkuat suasana duka yang lembut. Kemboja sering diasosiasikan dengan kematian atau makam, sehingga menghadirkan nuansa spiritual dan reflektif.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang ingin disampaikan dalam puisi ini adalah pentingnya kesadaran diri terhadap kefanaan hidup dan perlunya menumbuhkan nilai spiritual dalam setiap perjalanan waktu.
Abdul Hadi WM seolah ingin mengatakan bahwa kehidupan terus berubah dan meninggalkan jejak kenangan, tetapi manusia tidak boleh larut dalam kehilangan. Justru dalam kesunyian dan kesepian, kita diajak untuk menemukan doa yang sejati—doa yang tidak diucapkan dengan kata-kata, melainkan dirasakan dalam hati yang sadar akan kehadiran Tuhan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji alam dan ruang batin. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
- “daun-daun bunga kemboja meraih sepinya pada tanah” — menggambarkan suasana hening dan duka yang halus.
- “matahari di depan jendela membuka pintu rumah” — melukiskan pagi atau perubahan waktu yang membawa makna transisi dari masa lalu ke masa kini.
- “arah waktu yang terjun ke laut” — menghadirkan gambaran pergerakan waktu menuju keabadian.
Imaji-imaji ini tidak hanya visual, tetapi juga menyentuh perasaan dan spiritualitas, sejalan dengan karakteristik puisi sufistik yang sering digarap Abdul Hadi WM.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi — memberi sifat manusia pada benda mati, seperti: “daun-daun bunga kemboja meraih sepinya pada tanah” → daun digambarkan memiliki rasa sepi dan gerak meraih, menggambarkan suasana batin manusia yang sepi dan pasrah.
- Metafora — penggunaan perbandingan simbolis: “arah waktu yang terjun ke laut” → waktu disamakan dengan sesuatu yang jatuh ke dalam keabadian. “seperti doa dalam abstraksi” → menggambarkan sesuatu yang spiritual, tidak terdefinisi, namun tetap hadir dan bermakna.
- Repetisi — pengulangan kata “tetapi” dan “kita” yang menegaskan ritme dan makna reflektif.
Puisi “Seperti Sebuah Doa” karya Abdul Hadi WM adalah perenungan spiritual tentang waktu, kehilangan, dan makna doa dalam kehidupan manusia. Dengan bahasa yang halus dan simbolis, penyair menuntun pembaca untuk merenungi makna eksistensi, bahwa segala yang nyata akan hilang, tetapi doa dan kesadaran akan tetap abadi.
Tema keheningan, suasana melankolis, dan simbol-simbol alam seperti bunga kemboja, laut, dan matahari memperkuat kesan spiritual yang khas dalam karya ini. Melalui puisi ini, Abdul Hadi WM tidak hanya menulis tentang kehidupan, tetapi juga mengajak pembaca untuk mendengar suara batin dan mengenal Tuhan dalam kesunyian—sebuah doa yang tidak diucapkan, melainkan dirasakan.
Karya: Abdul Hadi WM
Biodata Abdul Hadi WM:
- Abdul Hadi WM (Abdul Hadi Widji Muthari) lahir di kota Sumenep, Madura, pada tanggal 24 Juni 1946.
- Abdul Hadi WM adalah salah satu tokoh Sastrawan Angkatan '66.
