Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sjahrir, di Sebuah Sel (Karya Goenawan Mohamad)

Puisi "Sjahrir, di Sebuah Sel" karya Goenawan Mohamad mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana penjara, baik secara fisik maupun mental, dapat ...
Sjahrir, di Sebuah Sel
(untuk Rudolf Mrazek)

Dari jendela selnya,
(kita bayangkan ini Jakarta,
Februari 1965, dan ruang itu lembap,
dan jendela itu rabun),
ia merasa siluet pohon
mengubah diri jadi Des,
anak yang berjalan dari selat
memungut cangkang nyiur,
dan melemparkannya
ke ujung pulau.

"Aku selalu berkhayal tentang selat,
atau taman kembang, atau anak-anak."

Itu yang kemudian ditulisnya
di catatan harian.

Maka ditutupkannya daun jendela
dan ia kembali ke meja,
ke peta dengan warna laut
yang tak jelas lagi.

Ia cari kapal Portugis.

Tapi Banda begitu pekat, dan laut
menyembunyikan ingatannya.

(Seorang pemetik pala
pernah mengatakan itu
di sebuah bukit
kepada Hatta)

Kini ia mengerti: juga peta
menyembunyikan ingatannya,
seperti malam Rusia
menyembunyikan sebuah kota.
Tiap pendarat tak akan
mengenali letak dangau,
jejak ketam pasir,
batang rambai yang terakhir,
di mana sisa hujan
agak disamarkan.

"Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?"

Seekor ular daun pernah menyusup
ke sandalnya dan ia ingat ia berkata,
"Mungkin. Mungkin aku tak akan mati."

Esoknya ia berlayar.
Di jukung itu anak-anak mengibarkan
bendera negeri yang belum mereka kenal.

"Lupa adalah..."

"Jangan kau kutip Nietzsche lagi!"

"Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu
sejauh mana kita merdeka."

Di beranda rumah Tjipto,
di tahun 1936 itu,
percakapan sore,
di antara pohon-pohon Naira,
selalu menentramkan.
"Jangan beri kami attar
dan tuhan imperial."
seseorang menirukan doa.

"Tapi kita dipenjarakan, bukan?"

Ya, tapi ini penjara yang pertama,
yang memisahkannya dari ingin
dan kematian.

"Ah, lebih baik kita diam,"
kata tuan rumah.
"Abad ke-20 adalah abad
yang memalukan."

Di sana, di beranda rumah Tjipto,
menjelang malam, di tahun 1936,
mereka selalu tertawa
mengulang kalimat itu.

Di sini, (kita bayangkan di Jakarta,
Rumah Tahanan Militer, 1965),
ia tak pernah merasa begitu sendiri.

Hanya ada suara burung tiung
(atau seperti suara burung tiung)
ketika siang diam.

Tapi ia takut duduk.

Ia tak ingin menghadap ke laut,
(andaikan ada laut),
seperti patung Jan Pieterszoon Coen,
seperti pengintai di menara benteng
yang menunggu kapal-kapal
di dekat langit
sebelum perang.

Ia tak ingin duduk.

"Siapa yang menatap jurang dalam,
jurang dalam akan menatapnya."

Mungkinkah ia sendiri
yang mengucapkannya di sel itu?

2014

Analisis Puisi:

Puisi "Sjahrir, di Sebuah Sel" karya Goenawan Mohamad menawarkan sebuah eksplorasi mendalam tentang perasaan, memori, dan isolasi yang dialami oleh seorang tokoh sejarah terkemuka, Sutan Sjahrir, di dalam penjara.

Tema dan Pesan Puisi

  • Isolasi dan Kesendirian: Tema utama dari puisi ini adalah isolasi dan kesendirian. Puisi ini menggambarkan Sjahrir yang terkurung dalam sel penjara di Jakarta pada Februari 1965, merasakan isolasi emosional dan fisik. Jendela sel yang lembap dan rabun simbolik menggambarkan keterasingan dan keterbatasan pandangannya, yang juga mencerminkan keterasingannya dari dunia luar.
  • Memori dan Kesan Historis: Puisi ini juga membahas tentang memori dan kesan historis. Melalui imajinasi dan refleksi Sjahrir, kita melihat bagaimana masa lalu dan sejarah terus menghantuinya, bahkan di dalam penjara. Peta yang tak jelas dan ingatan yang tersembunyi menggambarkan betapa sejarah dan kenangan bisa menjadi sesuatu yang sulit diakses dan dipahami.
  • Pencarian dan Kerinduan: Ada tema pencarian dan kerinduan dalam puisi ini, di mana Sjahrir berusaha mencari kapal Portugis dan merindukan masa lalu. Kerinduan untuk memahami sejarah dan identitas diri, serta keinginan untuk melarikan diri dari penjara, menjadi pusat refleksinya.
  • Ketidakpastian dan Ketidaktahuan: Puisi ini juga mengangkat tema ketidakpastian dan ketidaktahuan. Melalui berbagai referensi tentang laut, peta, dan sejarah, kita melihat betapa sulitnya untuk mengerti dan mengetahui segala sesuatu dengan pasti. Ini menunjukkan bagaimana penjara tidak hanya memisahkan fisik tetapi juga membatasi pemahaman dan pengetahuan.

Gaya Bahasa dan Struktur

  • Imajinasi dan Metafora: Goenawan Mohamad menggunakan metafora dan imajinasi untuk menggambarkan perasaan dan refleksi Sjahrir. Metafora seperti "awan putih berobah warna menjadi biru" dan "awan jingga berpita pelangi" memberikan gambaran yang kuat tentang perubahan dan kerinduan. Selain itu, gambaran "seekor ular daun" dan "peta dengan warna laut yang tak jelas lagi" menambahkan lapisan makna yang mendalam.
  • Bahasa yang Reflektif dan Melankolis: Bahasa dalam puisi ini sangat reflektif dan melankolis. Pilihan kata yang digunakan untuk menggambarkan penjara, kesendirian, dan memori memberikan nuansa yang mendalam dan emosional. Frasa seperti "Tuhan, aku angkat tangan gemetar ini" dan "di mana sisa hujan agak disamarkan" mengungkapkan kerentanan dan keputusasaan.
  • Struktur Naratif dan Dialogis: Puisi ini memiliki struktur naratif dan dialogis yang menciptakan alur cerita dan refleksi. Dialog internal Sjahrir dan percakapan dengan tokoh-tokoh lain memberikan wawasan tentang perasaan dan pemikirannya. Struktur ini membantu pembaca memahami konflik internal dan eksternal yang dialami oleh Sjahrir.

Makna dan Interpretasi

  • Isolasi dan Kesendirian: Puisi ini menggambarkan bagaimana isolasi dan kesendirian mempengaruhi seseorang, terutama ketika mereka terkurung dalam ruang yang sempit dan terpisah dari dunia luar. Isolasi ini memperdalam refleksi Sjahrir tentang masa lalu, identitas, dan perjuangannya.
  • Kerinduan akan Masa Lalu: Kerinduan akan masa lalu dan pencarian makna adalah tema sentral dalam puisi ini. Sjahrir merindukan masa lalu dan mencoba memahami sejarah dan identitasnya melalui refleksi dan imajinasi. Ini mencerminkan bagaimana penjara bukan hanya fisik tetapi juga metaforis, membatasi pemahaman dan kebebasan.
  • Keterbatasan Pengetahuan: Puisi ini juga menunjukkan bagaimana keterbatasan pengetahuan dan ketidakpastian dapat mempengaruhi seseorang. Peta yang tak jelas dan ingatan yang tersembunyi menggambarkan betapa sulitnya untuk memahami dan mengetahui segala sesuatu dengan pasti, terutama dalam situasi tertekan.
  • Pertanyaan Existensial: Pertanyaan tentang makna merdeka dan kebebasan di akhir puisi mencerminkan ketidakpastian eksistensial. Sjahrir bertanya-tanya sejauh mana kemerdekaan dapat dicapai dan seberapa bebas seseorang bisa merasa di tengah-tengah belenggu fisik dan mental.
Puisi "Sjahrir, di Sebuah Sel" karya Goenawan Mohamad adalah sebuah karya yang mendalam dan kompleks, yang mengeksplorasi tema isolasi, memori, kerinduan, dan ketidakpastian. Dengan menggunakan metafora yang kuat, bahasa yang reflektif, dan struktur naratif, puisi ini menggambarkan perasaan dan pemikiran Sjahrir selama berada di penjara. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana penjara, baik secara fisik maupun mental, dapat membatasi pemahaman dan kebebasan, serta bagaimana kerinduan dan pencarian makna tetap hidup meskipun dalam keterbatasan.

Puisi Goenawan Mohamad
Puisi: Sjahrir, di Sebuah Sel
Karya: Goenawan Mohamad

Biodata Goenawan Mohamad:
  • Goenawan Mohamad (nama lengkapnya Goenawan Soesatyo Mohamad) lahir pada tanggal 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah.
  • Goenawan Mohamad adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.