Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Socrates (Karya Hartojo Andangdjaja)

Puisi “Socrates” karya Hartojo Andangdjaja bercerita tentang seorang tokoh jenius yang rela menjadi korban demi mempertahankan kebenaran.

Socrates


Genius,
jika kau harus menjadi korban
layakkah dunia terkatakan:
bagai Rumah Gila
tempat insan-setan jelmaan?

Dalam kemarau panas terik,
engkau: sebatang Beringin
tetap subur, daun merimbun
naungan kelana manusia susila

1952

Sumber: Kumpulan Puisi (2019)

Analisis Puisi:

Puisi “Socrates” karya Hartojo Andangdjaja merupakan salah satu puisi reflektif yang menggambarkan sosok filsuf Yunani Kuno, Socrates, sebagai simbol kebijaksanaan, keteguhan moral, dan pencarian kebenaran di tengah dunia yang rusak secara moral. Dengan bahasa yang padat dan sarat makna, penyair menampilkan pergulatan antara manusia bijak dan masyarakat yang gagal memahami nilai-nilai luhur.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pengorbanan seorang bijak demi kebenaran dan kemanusiaan. Socrates digambarkan sebagai tokoh yang harus menjadi korban karena keberaniannya mempertahankan prinsip moral di dunia yang “gila”. Tema ini juga menyiratkan kritik terhadap masyarakat yang tidak mampu menghargai kebijaksanaan dan kebenaran.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh jenius yang rela menjadi korban demi mempertahankan kebenaran. Dunia yang ia hadapi digambarkan seperti “Rumah Gila” — tempat manusia kehilangan akal budi dan bertindak tidak manusiawi.

Melalui gambaran itu, penyair menghadirkan kontras antara Socrates sebagai simbol kebijaksanaan dan masyarakat sebagai lambang kekacauan moral. Dalam bait kedua, penyair menegaskan keteguhan Socrates melalui metafora “sebatang Beringin”, yang tetap rindang meskipun diterpa panas kemarau, menggambarkan kekuatan spiritual dan keteguhan hati.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah seruan moral agar manusia tetap teguh pada prinsip kebenaran meskipun dunia tidak lagi waras. Socrates dijadikan lambang manusia ideal — yang berani berpikir, berkata benar, dan hidup dengan integritas meski harus mati.

Puisi ini juga dapat dibaca sebagai kritik terhadap masyarakat modern yang sering menyingkirkan orang jujur dan memuja kepalsuan. Dengan kata lain, penyair ingin menyampaikan bahwa dunia akan selalu mengorbankan orang-orang bijak karena mereka menyingkap kebodohan yang disembunyikan banyak orang.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini bernuansa tragis dan reflektif. Ada nada kesedihan, kekaguman, sekaligus keprihatinan.

Kata-kata seperti “korban”, “Rumah Gila”, dan “kemarau panas terik” menimbulkan suasana getir dan gersang — baik secara fisik maupun batin. Namun di sisi lain, muncul pula nuansa kekaguman spiritual terhadap keteguhan sang bijak yang tetap subur di tengah penderitaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat utama puisi ini adalah bahwa kebenaran sering kali menuntut pengorbanan, dan hanya orang yang teguh moral seperti Socrates yang mampu menjalaninya dengan lapang dada.
Penyair seolah mengingatkan pembaca agar tidak larut dalam kegilaan dunia, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan sejati. Dalam konteks yang lebih luas, puisi ini juga menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kebodohan kolektif yang menindas suara kebenaran.

Imaji

Puisi ini mengandung imaji visual dan emosional yang kuat.
  • Imaji visual tampak pada baris “Dalam kemarau panas terik”, yang menggambarkan situasi keras dan gersang.
  • Imaji alam terlihat dalam metafora “sebatang Beringin tetap subur, daun merimbun” — melukiskan keteguhan moral di tengah kesulitan.
  • Imaji emosional muncul pada kata “korban” dan “Rumah Gila”, yang menimbulkan rasa iba, marah, dan kagum terhadap perjuangan sang filsuf.
Imaji-imaji ini membantu pembaca merasakan pertentangan antara kesucian jiwa dan kegilaan dunia secara konkret dan mendalam.

Majas

Hartojo Andangdjaja menggunakan beberapa majas (gaya bahasa) yang memperkuat daya ungkap puisi, di antaranya:
  • Metafora: “Dunia bagai Rumah Gila” → menggambarkan dunia yang kacau dan tidak rasional. “Engkau: sebatang Beringin” → melambangkan keteguhan dan kebijaksanaan.
  • Personifikasi: Dunia digambarkan seolah memiliki sifat manusia yang bisa “gila” dan kehilangan akal.
  • Hiperbola: Ungkapan “maha dahaga” dan “maha sukma” (jika dibandingkan dengan gaya puisinya yang lain) merupakan bentuk penekanan emosional untuk menggambarkan keadaan ekstrem atau spiritualitas tinggi.
  • Pertanyaan retoris: “Layakkah dunia terkatakan: bagai Rumah Gila?” — menegaskan sindiran dan refleksi moral tanpa mengharapkan jawaban langsung.
Puisi “Socrates” karya Hartojo Andangdjaja adalah karya yang sarat dengan renungan filosofis dan kritik moral. Melalui tokoh Socrates, penyair menggambarkan dilema abadi antara kebijaksanaan dan kebodohan massal, antara kebenaran dan pengorbanan. Puisi ini tidak sekadar mengenang tokoh sejarah, tetapi juga menjadi cermin bagi zaman modern — di mana orang jujur kerap tersingkir, dan suara kebenaran sering tenggelam di tengah kegilaan sosial.

Dengan bahasa yang sederhana namun simbolik, penyair berhasil membangun imaji kuat dan suasana mendalam, menghadirkan figur Socrates sebagai ikon keteguhan moral yang relevan sepanjang masa.

Hartojo Andangdjaja
Puisi: Socrates
KaryaHartojo Andangdjaja

Biodata Hartojo Andangdjaja:
  • Hartojo Andangdjaja (Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya) lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.