Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Suatu Siang di Demangan, Yogyakarta (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Suatu Siang di Demangan, Yogyakarta" karya Gunoto Saparie bercerita tentang pengalaman penulis ketika kembali ke Demangan, Yogyakarta, ...
Suatu Siang di Demangan, Yogyakarta

kutemukan kenangan itu
di sebuah rumah tua, di demangan
namun tak ada lagi tertulis namaku
di pintu masuk kusam kecoklatan

ingat saat perantau mengabaikan waktu
ketika memboroskan jam-jam membaca
ketika sembunyi-sembunyi menonton film biru
dan meminjam novel-novel stensilan lama

sumur pompa itu ternyata masih ada
benarkah kamar-kamar masih seperti dulu?
kutemukan buku tafsir alqurtubi itu
namun namaku dihapus entah oleh siapa

2020

Analisis Puisi:

Puisi "Suatu Siang di Demangan, Yogyakarta" karya Gunoto Saparie menampilkan nuansa nostalgia dan pengamatan personal terhadap ruang kota yang telah berubah. Dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna, penyair mengajak pembaca menyelami kenangan masa lalu yang tersimpan di rumah dan lorong-lorong kota Yogyakarta.

Tema

Tema utama puisi ini adalah nostalgia dan perubahan ruang kehidupan. Puisi ini menyoroti interaksi manusia dengan tempat yang pernah menjadi saksi pengalaman pribadi, serta bagaimana waktu dan perubahan meninggalkan jejak pada memori dan benda-benda di sekitar.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman penulis ketika kembali ke Demangan, Yogyakarta, sebuah tempat yang sarat dengan kenangan masa lalu:
  • Penulis menemukan rumah tua yang masih menyimpan jejak masa lalunya, namun identitas pribadinya seperti terhapus (“namun tak ada lagi tertulis namaku”).
  • Ia mengenang masa-masa perantau yang mengabaikan waktu, membaca, menonton film, dan meminjam buku lama.
  • Beberapa benda seperti sumur pompa dan buku tafsir al-Qurtubi masih ada, tetapi namanya sudah dihapus, menandakan perubahan dan hilangnya keterikatan masa lalu dengan ruang fisik.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini meliputi:
  • Waktu membawa perubahan, baik pada tempat maupun hubungan manusia dengan ruang tersebut.
  • Kenangan dan memori memiliki nilai emosional yang kuat, meskipun fisik tempat itu berubah.
  • Hilangnya identitas pribadi pada ruang (“namaku dihapus entah oleh siapa”) mencerminkan keterasingan atau kehilangan jejak masa lalu.
  • Puisi ini juga bisa dibaca sebagai refleksi perantau yang menghadapi nostalgia sekaligus realitas perubahan kota.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini sunyi, melankolis, dan penuh nostalgia. Ada perasaan rindu dan kehilangan, serta keterasingan saat menyadari bahwa masa lalu tidak lagi sepenuhnya dapat dimiliki atau dikenali. Kehadiran benda-benda lama seperti sumur dan buku menambah nuansa temporal dan emosional.

Imaji

Beberapa imaji yang dapat ditemukan dalam puisi ini:
  • Imaji visual: rumah tua, pintu kusam kecoklatan, sumur pompa, kamar-kamar, buku tafsir al-Qurtubi.
  • Imaji temporal: perantau yang “memboroskan jam-jam membaca”, menandakan pengalaman waktu yang intens namun telah berlalu.
  • Imaji emosional: kehilangan identitas di ruang fisik, keterasingan, dan kenangan masa lalu yang tersimpan di benda-benda.

Majas

Beberapa majas yang digunakan:
  • Personifikasi – “namaku dihapus entah oleh siapa” memberikan kesan bahwa ruang atau benda dapat “menghapus” identitas, seolah memiliki kehendak.
  • Metafora – rumah tua dan sumur pompa sebagai simbol kenangan yang masih hidup meski waktu telah mengubahnya.
  • Hiperbola ringan – penyebutan berbagai aktivitas masa lalu menekankan kedalaman pengalaman dan keterikatan emosional dengan tempat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini antara lain:
  • Kenangan masa lalu tetap hidup dalam ingatan, meski fisik tempat itu berubah.
  • Waktu dan perubahan kota tidak bisa dihindari, sehingga penting untuk menghargai dan mengingat pengalaman yang membentuk identitas.
  • Ruang kehidupan manusia selalu menyimpan cerita, dan pengalaman perantau menjadi refleksi hubungan antara manusia dan kota.
Puisi "Suatu Siang di Demangan, Yogyakarta" karya Gunoto Saparie menghadirkan pengalaman nostalgia yang intim dan reflektif. Dengan imaji yang kuat dan nuansa melankolis, puisi ini menekankan hubungan manusia dengan tempat dan waktu, serta bagaimana perubahan fisik kota meninggalkan jejak pada memori dan identitas pribadi. Rumah tua, sumur, dan buku-buku lama menjadi saksi bisu masa lalu yang tetap hidup dalam kenangan penulis.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Suatu Siang di Demangan, Yogyakarta
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.

Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.