Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Surat (Karya Djoko Saryono)

Puisi “Surat” karya Djoko Saryono bercerita tentang seseorang yang menerima surat-surat dari Tuhan sejak kecil, tetapi lama tak membacanya.

Surat (1)

surat-suratmu telah kuterima
dari kecil dulu, disampaikan bunda tercinta
tatkala waktu tiba, tatkala adzan bergema

ampuni, begitu lama tak kusempatkan baca
: menumpuk di antara reruntuhan masjid di dada
kubiarkan bahasanya meronta-ronta
: kegerahan hidup bersama nafsu, dusta, dan angkara
kuceraikan cintanya dari hidup penuh warna
: wahai, betapa, wahai... ia tetap memanggil dalam cinta

Surat (2)

seratus empat belas surat telah kau kirim padaku
berisi peta perjalanan nasib agar sampai padamu:
peta bersahaja, mudah membacanya
peta bersahaja, mudah melaksanakannya
bila hidup disucikan dari tamak, loba, dan angkara

Surat (3)

ketika kubaca surat-suratmu
bah pun melanda denyut nadiku
seperti kapas, aku pun lepas
terdampar di padang mahaluas:
tak bernama karena mendahului bahasa
tak fana sebelum akhir kiamat tiba

Malang, Juni 1996

Sumber: Arung Diri (2013)

Analisis Puisi:

Puisi “Surat” karya Djoko Saryono merupakan salah satu karya reflektif yang sarat makna spiritual dan filosofis. Dalam tiga bagian (Surat (1), Surat (2), dan Surat (3)), penyair mengekspresikan hubungan batin antara manusia dengan Tuhan melalui simbol “surat”. Kata “surat” di sini bukan sekadar teks biasa, melainkan wahyu, pesan ilahi, atau pedoman hidup yang diturunkan kepada manusia.

Puisi ini menggambarkan perjalanan batin seorang manusia yang tersadar bahwa dirinya telah lama melupakan pesan-pesan suci tersebut. Melalui bahasa yang lembut namun tajam, Djoko Saryono mengajak pembaca untuk merenungkan hakikat keimanan, dosa, dan penebusan diri.

Tema

Tema utama puisi Surat adalah kesadaran spiritual dan kerinduan terhadap Tuhan. Dalam keseluruhan larik, tampak bahwa penyair mengangkat persoalan manusia yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan dan baru menyadari betapa pentingnya “surat-surat” atau wahyu Ilahi dalam membimbing kehidupan.

Tema tambahan yang tampak adalah pertobatan dan pencarian makna hidup. Tokoh lirik dalam puisi ini menyadari bahwa selama ini ia “menumpuk surat-surat” itu di antara reruntuhan masjid di dadanya—sebuah pengakuan simbolis bahwa ia telah menelantarkan keimanan dan ajaran Tuhan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menerima surat-surat dari Tuhan sejak kecil, tetapi lama tak membacanya. Surat-surat itu adalah simbol dari wahyu atau kitab suci. Dalam Surat (1), ia mengakui kelalaiannya dan menggambarkan betapa ia tenggelam dalam kehidupan duniawi yang penuh “nafsu, dusta, dan angkara”.

Pada bagian Surat (2), penyair menyebut jumlah “seratus empat belas surat”—jumlah yang sama dengan total surat dalam Al-Qur’an—menandakan bahwa yang dimaksud adalah pesan-pesan Ilahi yang berisi “peta perjalanan nasib agar sampai padamu”, yaitu petunjuk hidup menuju Tuhan.

Sementara pada Surat (3), tokoh lirik akhirnya membaca kembali surat-surat itu. Momen ini menimbulkan pengalaman spiritual yang mendalam—seolah-olah jiwanya dibersihkan dan melayang dalam kedamaian. Ia merasakan ketenangan yang tak dapat diungkapkan dengan bahasa, sebagaimana larik “tak bernama karena mendahului bahasa, tak fana sebelum akhir kiamat tiba”.

Puisi ini menggambarkan perjalanan jiwa manusia: dari lalai, menuju kesadaran, lalu mencapai pengalaman spiritual yang mendalam.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi Surat adalah ajakan untuk kembali pada nilai-nilai ketuhanan dan membaca ulang pesan-pesan suci yang sering kita abaikan dalam hiruk-pikuk dunia.

Ketika penyair menulis “menumpuk di antara reruntuhan masjid di dada”, maknanya bukan masjid fisik yang runtuh, tetapi hati manusia yang kehilangan kekhusyukan dan kesucian. Dada yang seharusnya menjadi tempat bersemayamnya iman kini porak-poranda karena keserakahan dan kesombongan.

Selain itu, ada makna spiritual yang lebih dalam: manusia sering merasa cukup dengan ilmu, kekuasaan, dan kenikmatan dunia, hingga lupa membaca “surat” yang sesungguhnya ditujukan untuk dirinya. Puisi ini menyadarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat diraih jika manusia kembali membuka, membaca, dan menghayati isi “surat” Tuhan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi Surat terasa reflektif, religius, sekaligus penuh penyesalan dan harapan. Bagian pertama menggambarkan suasana duka dan rasa bersalah: “ampuni, begitu lama tak kusempatkan baca”. Ada nada penyesalan dan kesedihan karena telah menelantarkan pesan suci.

Namun, pada bagian akhir, suasana bergeser menjadi tenang dan penuh pencerahan spiritual, saat tokoh lirik membaca kembali surat-surat itu dan merasakan ketenangan yang melampaui bahasa. Keseluruhan suasana membentuk perjalanan batin dari gelap menuju terang.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang disampaikan Djoko Saryono dalam puisi ini adalah bahwa manusia tidak boleh melupakan ajaran Tuhan. Wahyu atau pesan Ilahi yang diturunkan melalui kitab suci bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Puisi ini juga mengingatkan bahwa kesucian hati adalah syarat utama untuk memahami kebenaran spiritual. Dalam Surat (2) disebutkan: “peta bersahaja, mudah melaksanakannya / bila hidup disucikan dari tamak, loba, dan angkara.” Artinya, petunjuk hidup sebenarnya mudah dipahami, asal hati manusia tidak tertutup oleh keserakahan.

Dengan demikian, pesan moral puisi ini adalah ajakan untuk kembali ke jalan spiritual, menyucikan diri, dan menjadikan ajaran Tuhan sebagai peta hidup menuju keselamatan.

Imaji

Puisi Surat menghadirkan imaji religius dan imaji batin yang kuat, yang menggerakkan perasaan pembaca untuk ikut merenung. Beberapa contoh imaji yang menonjol:
  • “Surat-suratmu telah kuterima dari kecil dulu” — membangkitkan imaji masa kecil dan kedekatan spiritual yang polos.
  • “Menumpuk di antara reruntuhan masjid di dada” — imaji visual yang sangat kuat; menggambarkan hati yang hancur, tempat suci yang dibiarkan rusak.
  • “Bah pun melanda denyut nadiku” — imaji fisik yang menggambarkan pengalaman spiritual begitu dalam hingga terasa secara jasmani.
  • “Terdampar di padang mahaluas” — menghadirkan rasa kebebasan dan kedamaian spiritual setelah penyesalan panjang.
Imaji-imaji tersebut menegaskan kekuatan bahasa Djoko Saryono dalam memadukan spiritualitas dengan keindahan puitik.

Majas

Puisi ini menggunakan berbagai majas (gaya bahasa) untuk memperkaya makna dan memperdalam emosi pembaca.

Metafora
  • “Surat-suratmu” sebagai metafora wahyu atau pesan Tuhan.
  • “Masjid di dada” sebagai metafora bagi hati manusia, tempat iman bersemayam.
  • “Peta perjalanan nasib” menggambarkan petunjuk hidup menuju keselamatan.
Personifikasi
  • “Kubiarkan bahasanya meronta-ronta” — surat digambarkan seperti makhluk hidup yang gelisah karena diabaikan.
Simbolisme
  • Angka “seratus empat belas” adalah simbol dari jumlah surat dalam Al-Qur’an.
  • “Padang mahaluas” melambangkan kebebasan spiritual, tempat jiwa yang terbebas dari dosa.
Hiperbola
  • “Bah pun melanda denyut nadiku” — memperbesar intensitas emosi yang dirasakan ketika membaca kembali surat-surat Tuhan.
Puisi "Surat" karya Djoko Saryono merupakan karya kontemplatif yang menggabungkan kekuatan bahasa, spiritualitas, dan kesadaran moral. Melalui simbol “surat”, penyair menyampaikan perjalanan batin manusia dari kelalaian menuju pencerahan. Dengan tema keagamaan yang mendalam, makna tersirat tentang kesadaran spiritual, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini menjadi refleksi tentang hubungan manusia dengan Tuhan dalam dunia modern yang kerap melupakan dimensi batin.

Pesan yang bisa diambil dari puisi ini adalah bahwa setiap manusia memiliki “surat” dalam dirinya—pesan suci yang menuntun pada kebenaran. Hanya dengan kesadaran dan kerendahan hati, surat itu dapat dibaca dan dihayati kembali.

Djoko Saryono
Puisi: Surat
Karya: Djoko Saryono

Biodata Djoko Saryono:
  • Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.
© Sepenuhnya. All rights reserved.