Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Suriman di Pedalaman Pasaman (Karya Hartojo Andangdjaja)

Puisi “Suriman di Pedalaman Pasaman” karya Hartojo Andangdjaja bercerita tentang kehidupan masyarakat keturunan Suriname yang tinggal di pedalaman ...

Suriman di Pedalaman Pasaman


Ini setumpuk dusun yang cantik
di tanah Minang. Dan bukan Surinam di pantai Atlantik
tapi di sini kita dengar
bunyi bongo dan petikan gitar

Di sini garis-garis pun bertanam faja-lobie
kembang merah yang cinta matahari
dan emak memasak bieta-wierie
bapak pun suka minum sopie

Keramahan terbuka di rumah-rumah
keramahan putih eropa
kegigihan menderam di bunyi bongo
kegigihan hitam Negro

Siang di ladang-ladang hidup terganggang
hitam dibakar matahari
malam di pesta-pesta verjarie hidup terkembang
menjulang di api nyanyi

Di ladang orang bertani
di sodro disimpan padi
Dari ladang ke rumah kembali
sering cinta pun terjanji

Hidup di sini bekerja dan berlupa
bersengketa dan bercinta
dan kadang juga berdoa
di mesjid di gereja

Ini setumpuk dusun yang cantik
di tanah Minang. Dan bukan Surinam di pantai Atlantik
Ini Surinam di pedalaman Pasaman
Surinam-Pasaman. Dilingkung bukit dan hutan

Sumber: Kumpulan Puisi (2019)
Catatan:
  1. Faja-lobie = Cinta-api = Nama bunga berwarna merah seperti menyala di sinar matahari.
  2. Bieta-wierie = Daun pahit = Daun yang biasa dimasak sebagai sayur.
  3. Sopie = Minuman keras.
  4. Verjarie = Hari ulang tahun.
  5. Sodro = Loteng rumah.
  6. Kelima kata di atas adalah bahasa Negro-Suriname.

Analisis Puisi:

Puisi “Suriman di Pedalaman Pasaman” karya Hartojo Andangdjaja merupakan karya yang kaya akan warna budaya, sejarah, dan makna kemanusiaan. Puisi ini menghadirkan perpaduan unik antara suasana Nusantara—khususnya tanah Minangkabau—dengan jejak identitas Afro-Suriname yang terbawa ke pedalaman Pasaman, Sumatera Barat. Hartojo Andangdjaja, dengan sensibilitas humanistiknya, menulis puisi ini bukan sekadar sebagai potret etnografis, melainkan juga refleksi tentang pertemuan budaya dan makna kemanusiaan yang universal.

Tema

Tema utama puisi ini adalah asimilasi budaya dan kemanusiaan di tengah perbedaan etnis. Hartojo menggambarkan bagaimana kelompok keturunan Suriname (Negro-Suriname) yang berada di Pasaman hidup berdampingan dengan masyarakat Minangkabau dalam harmoni. Mereka tidak lagi sekadar “pendatang” atau “diaspora”, melainkan bagian dari kehidupan setempat yang menyatu dalam kerja, cinta, dan doa.

Namun di balik itu, terdapat pula tema identitas dan pencarian makna tempat berpijak. Puisi ini memperlihatkan bahwa di mana pun manusia berada, mereka akan membangun rumah, tradisi, dan cinta. Suriname bukan lagi hanya negeri jauh di seberang Atlantik, melainkan telah menjelma menjadi “Surinam di pedalaman Pasaman”.

Puisi ini bercerita tentang kehidupan masyarakat keturunan Suriname yang tinggal di pedalaman Pasaman, Sumatera Barat. Mereka hidup di dusun-dusun yang cantik, di tengah alam Minangkabau yang subur dan berbukit, sambil mempertahankan sebagian budaya asal mereka seperti musik bongo, masakan khas dengan bieta-wierie (daun pahit), atau bunga faja-lobie (bunga cinta-api).

Kehidupan mereka digambarkan berwarna: bekerja di ladang, berpesta di malam hari, bercinta, bersengketa, hingga berdoa di masjid atau gereja. Semua itu mencerminkan keberagaman aktivitas manusia yang tetap mengandung semangat hidup, kerja keras, dan cinta kasih.

Puisi ini tidak hanya menggambarkan kehidupan sehari-hari, tetapi juga menegaskan bahwa manusia, di mana pun mereka berada, akan berusaha menemukan makna keberadaan dan kebahagiaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat yang mendalam dari puisi ini adalah tentang universalitas kemanusiaan dan kebersamaan di tengah perbedaan.
Hartojo ingin menunjukkan bahwa identitas bukan sesuatu yang kaku, melainkan dapat berbaur, tumbuh, dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan esensinya.

Ketika penyair menulis:

“Ini setumpuk dusun yang cantik
di tanah Minang. Dan bukan Surinam di pantai Atlantik”

ia sebenarnya menegaskan bahwa tempat bukan sekadar geografi. Surinam kini hidup di tanah Minang karena manusia membawanya lewat budaya, tradisi, dan ingatan.

Makna tersirat lainnya adalah perayaan terhadap ketekunan manusia dalam bekerja dan bertahan hidup. Baris-baris seperti:

“Di ladang orang bertani
di sodro disimpan padi
Dari ladang ke rumah kembali
sering cinta pun terjanji”

menggambarkan keindahan keseharian dan kehangatan yang muncul dari kerja keras dan cinta sederhana.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hangat, hidup, dan berwarna budaya. Ada suasana pedesaan yang damai namun berdenyut oleh energi manusia yang penuh semangat.
Ketika penyair menggambarkan pesta verjarie dengan “hidup menjulang di api nyanyi”, kita merasakan kegembiraan dan gairah hidup masyarakat yang bersukacita meski hidup di pedalaman.

Di sisi lain, ada pula suasana reflektif dan tenang, terutama di bagian penutup, ketika puisi kembali menyebut:

“Ini Surinam di pedalaman Pasaman
Dilingkung bukit dan hutan.”

Nada ini membawa kesan damai, seolah penyair ingin menutup dengan perasaan syukur dan penerimaan terhadap kehidupan yang telah berbaur dengan alam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat utama dari puisi ini adalah pentingnya penerimaan dan harmoni dalam keberagaman.
Penyair ingin menunjukkan bahwa kebudayaan, warna kulit, dan asal-usul tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama.

Puisi ini juga menyampaikan pesan kemanusiaan tentang kerja keras, cinta, dan kebersamaan. Orang-orang Suriname di Pasaman tetap berjuang, mencintai, bersenang-senang, dan berdoa—semua itu menggambarkan kesatuan nilai-nilai universal manusia.

Selain itu, Hartojo seolah ingin mengatakan bahwa setiap tempat bisa menjadi rumah, asalkan di sana ada cinta, kerja, dan pengakuan terhadap sesama.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji auditif.

Imaji visual muncul dalam deskripsi lingkungan:

“Ini setumpuk dusun yang cantik di tanah Minang”
“Faja-lobie kembang merah yang cinta matahari”
“Di ladang orang bertani, di sodro disimpan padi.”

Gambaran ini menampilkan panorama alam pedesaan yang indah, berpadu dengan warna merah bunga dan padi yang disimpan di loteng rumah (sodro).

Imaji auditif hadir lewat bunyi-bunyian khas budaya Afro:

“bunyi bongo dan petikan gitar”

Suara musik menjadi simbol kehidupan yang berdenyut, perpaduan ritme Afrika dan harmoni Minangkabau.

Imaji dalam puisi ini memperkaya suasana dan membantu pembaca membayangkan kehidupan nyata di pedalaman Pasaman dengan sentuhan lintas benua.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkuat daya puitik:
  • Metafora – Misalnya pada kata “kerajaan batu-batu” dan “hidup menjulang di api nyanyi”, menggambarkan kekokohan, semangat, dan kegembiraan tanpa menggunakan perbandingan langsung.
  • Repetisi – Frasa “Ini setumpuk dusun yang cantik” diulang di awal dan akhir puisi, memberikan kesan siklus dan penegasan makna.
  • Personifikasi – Alam dan benda seolah memiliki jiwa, seperti dalam “faja-lobie kembang merah yang cinta matahari”, yang memberi nyawa pada bunga tersebut.
  • Kontras (antitesis) – Perbandingan antara “keramahan putih eropa” dan “kegigihan hitam Negro” menunjukkan pertemuan dua dunia yang berbeda namun saling mengisi.
Majas-majas tersebut memperindah diksi dan menegaskan tema utama: keberagaman yang hidup dalam harmoni.

Puisi “Suriman di Pedalaman Pasaman” karya Hartojo Andangdjaja bukan sekadar potret etnografis tentang komunitas Afro-Suriname di Indonesia, melainkan renungan mendalam tentang kemanusiaan yang menembus batas ras dan geografi. Dengan tema tentang kebersamaan lintas budaya, imaji yang kaya, serta amanat universal tentang cinta dan kerja keras, puisi ini mengajarkan bahwa dunia bisa menjadi rumah yang damai ketika manusia saling menghargai perbedaan.

Hartojo Andangdjaja melalui puisi ini berhasil memadukan keindahan bahasa dengan pesan sosial yang kuat — menjadikan Surinam di pedalaman Pasaman bukan sekadar tempat, melainkan simbol harmoni manusia di tengah keberagaman dunia.

Hartojo Andangdjaja
Puisi: Suriman di Pedalaman Pasaman
KaryaHartojo Andangdjaja

Biodata Hartojo Andangdjaja:
  • Hartojo Andangdjaja (Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya) lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.