Suwung
bukan waktu bukan rindu
tak ragu tak jemu tak lesu
lalu siapa kau tunggu?
["masih lima milyar tahun dunia bersamamu",
ujar Hawking di dalam buku]
bukan semu bukan palsu
tak sendu tak kuyu tak sembilu
lalu sampai kapan kau tunggu?
["sudah pasti menemuimu akhir waktu",
Ihya Ulumuddin al-Ghazali berseru]
Malang, 2006
Sumber: Arung Diri (2013)
Analisis Puisi:
Tema utama puisi “Suwung” karya Djoko Saryono adalah kekosongan eksistensial dan pencarian makna hidup di antara sains dan spiritualitas. Puisi ini menggambarkan benturan antara dua cara manusia memahami dunia — rasionalitas modern yang diwakili oleh Stephen Hawking dan kebijaksanaan religius yang diwakili oleh Imam al-Ghazali. Tema “suwung” (kosong, hampa, atau sunyi dalam bahasa Jawa) menjadi inti dari puisi ini, melukiskan keadaan batin manusia modern yang berada di antara keyakinan dan keraguan, antara sains dan iman, antara waktu dan keabadian.
Puisi ini bercerita tentang pencarian makna di tengah kehampaan spiritual manusia modern. Tokoh lirik dalam puisi ini seolah sedang berdialog dengan dirinya sendiri, mempertanyakan siapa yang sebenarnya ditunggu — apakah harapan, kebangkitan, atau akhir dari perjalanan. Baris-baris seperti “bukan waktu bukan rindu / tak ragu tak jemu tak lesu / lalu siapa kau tunggu?” menggambarkan seseorang yang kehilangan arah, yang sudah melewati berbagai rasa namun masih diliputi kehampaan.
Kutipan dari Stephen Hawking dan al-Ghazali memberi warna filosofis yang kuat: yang satu berbicara tentang alam semesta yang masih akan bertahan miliaran tahun, sementara yang lain menegaskan kepastian akhir dan kematian. Kedua kutipan ini seperti dua kutub yang menarik jiwa manusia — antara rasionalitas ilmiah dan keyakinan spiritual. Dalam pusaran itu, penyair menempatkan manusia sebagai makhluk yang suwung — hampa, meski dikelilingi pengetahuan dan keyakinan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap krisis makna dalam kehidupan modern. Meski manusia telah mencapai puncak sains dan peradaban, masih ada ruang kosong di dalam diri yang tak bisa diisi oleh logika semata. Djoko Saryono ingin menyampaikan bahwa manusia seringkali terjebak dalam paradoks: tahu banyak hal, tetapi kehilangan arah spiritual.
Puisi ini juga menyinggung ketidakpastian eksistensial — bahwa pengetahuan tentang waktu dan akhir dunia tidak memberi jaminan ketenangan. “Suwung” menjadi simbol dari keterasingan batin di tengah hiruk-pikuk modernitas: manusia tahu segalanya, namun tetap tak tahu apa yang sebenarnya dicari.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa kontemplatif, sunyi, dan filosofis. Ada semacam ketenangan yang justru menimbulkan kegelisahan, seperti seseorang yang merenung terlalu lama hingga sadar akan kehampaannya sendiri. Gaya repetitif seperti “bukan waktu bukan rindu” dan “tak ragu tak jemu tak lesu” menambah kesan monoton dan kosong — mencerminkan batin yang berputar di ruang hening tanpa arah.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang tersirat dalam puisi ini adalah perlunya keseimbangan antara pengetahuan rasional dan kebijaksanaan spiritual. Djoko Saryono seolah ingin mengingatkan bahwa manusia tidak cukup hidup hanya dengan sains atau iman saja — keduanya harus saling melengkapi.
Pesan lainnya adalah bahwa kekosongan batin (“suwung”) bukanlah akhir, melainkan ruang refleksi. Dalam kehampaan itu, manusia bisa menemukan makna sejati tentang keberadaan dirinya, tentang waktu, dan tentang Tuhan. Puisi ini mendorong pembaca untuk merenung: siapa sebenarnya yang kita tunggu — masa depan yang dijanjikan sains, atau akhir yang pasti menurut iman?
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji abstrak dan intelektual. Imaji “kayak fisik” hampir tak ada, tetapi pembaca dibawa masuk ke lanskap pikiran.
- Imaji filosofis muncul dari benturan dua tokoh: Hawking dengan visinya tentang waktu dan kosmos, serta al-Ghazali dengan refleksi religius tentang akhir dan keabadian.
- Imaji eksistensial hadir dalam pertanyaan “lalu siapa kau tunggu?” — menciptakan gambaran batin manusia yang menatap ruang kosong, menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang.
- Imaji spiritual terasa melalui penggunaan diksi berulang seperti bukan, tak, lalu yang menciptakan kesan mantra, mengundang pembaca masuk ke ruang sunyi batin.
Majas
Puisi ini menggunakan berbagai majas yang memperkuat nuansa kontemplatifnya, antara lain:
- Majas repetisi: pengulangan kata “bukan” dan “tak” menegaskan kekosongan dan penolakan terhadap segala kepastian duniawi.
- Majas retoris: pertanyaan “lalu siapa kau tunggu?” dan “lalu sampai kapan kau tunggu?” bukan untuk dijawab, melainkan menggugah perenungan pembaca.
- Majas simbolik: “suwung” sendiri merupakan simbol batin manusia yang kosong, sementara Hawking dan al-Ghazali menjadi simbol dua arah pandangan hidup — sains dan spiritualitas.
- Majas antitesis: kontras antara “belum berakhirnya dunia” (Hawking) dan “akhir waktu” (al-Ghazali) menggambarkan paradoks pemahaman manusia tentang kehidupan dan kematian.
Puisi “Suwung” karya Djoko Saryono adalah refleksi mendalam tentang kekosongan batin manusia modern di tengah benturan antara ilmu pengetahuan dan iman. Melalui bahasa yang sederhana namun sarat filosofi, penyair mengajak pembaca merenung tentang eksistensi, waktu, dan akhir kehidupan. Tema kehampaan yang disajikan bukanlah pesimisme, melainkan undangan untuk menemukan makna baru dalam sunyi. Djoko Saryono berhasil menampilkan dialog halus antara dua dunia — rasional dan spiritual — tanpa menghakimi, hanya menempatkan manusia di tengah-tengahnya: sendiri, bertanya, dan menunggu sesuatu yang tak pasti.
Puisi ini mengajarkan bahwa dalam “suwung”, justru di sanalah ruang kesadaran sejati mulai terbentuk — tempat manusia mengenali dirinya dan Tuhannya.
Karya: Djoko Saryono
Biodata Djoko Saryono:
- Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.