Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Taharah (Karya Soni Farid Maulana)

Puisi “Taharah” karya Soni Farid Maulana bercerita tentang seseorang yang sedang berupaya menyucikan hatinya sebelum mencapai kesucian spiritual ...
Taharah

sebelum sampai ke Raudhah, ingin kupotong
kegelapan di kalbuku: seperti memotong hewan
kurban. Hati yang karam ke dasar malam
betapa sulit dijangkau. Tinggal kilau mata pisau
di tanganku yang gemetar menuju-Mu

2008

Sumber: Peneguk Sunyi (2009)

Analisis Puisi:

Puisi “Taharah” karya Soni Farid Maulana merupakan salah satu karya religius yang padat makna dan sarat simbolisme spiritual. Dalam kepadatan bahasanya yang singkat, penyair berhasil menghadirkan perenungan mendalam tentang proses penyucian diri dan pergulatan batin manusia dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penyucian diri (spiritual purification) sebagai langkah menuju kesucian rohani. Kata “taharah” sendiri dalam bahasa Arab berarti bersuci, baik secara fisik maupun spiritual. Penyair mengangkat konsep ini bukan hanya dalam makna ritual wudhu atau mandi besar, tetapi sebagai simbol pembersihan hati dan jiwa dari kegelapan dosa dan keraguan. Tema ini menekankan pentingnya introspeksi dan perjuangan batin manusia untuk membersihkan diri sebelum menghadap Sang Pencipta.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang berupaya menyucikan hatinya sebelum mencapai kesucian spiritual — di sini dilambangkan dengan kata “Raudhah”, yang dalam konteks Islam sering diartikan sebagai taman surga di Masjid Nabawi, tempat suci yang penuh kedamaian dan keberkahan.

Penyair menggambarkan tokoh lirik yang berjuang melawan “kegelapan di kalbu”, yaitu segala hal yang mengotori jiwa: dosa, kesombongan, atau keraguan. Ia ingin “memotong” kegelapan itu seperti memotong hewan kurban, sebuah perumpamaan yang mengandung makna pengorbanan dan penyucian diri. Perjalanan spiritual ini penuh ketegangan batin — tangan yang “gemetar menuju-Mu” menunjukkan betapa sulit dan berat proses menuju kesucian sejati.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah perjuangan spiritual manusia dalam mengalahkan sisi gelap dirinya demi mencapai kesucian hati dan kedekatan dengan Tuhan. Penyair tidak menggambarkan perjalanan yang mudah — hati yang “karam ke dasar malam” melambangkan batin yang terjerumus dalam kegelapan dan sulit dijangkau oleh cahaya ilahi. Namun, dalam keputusasaan itu masih ada secercah cahaya — “kilau mata pisau” menjadi simbol tekad dan niat suci untuk memotong segala bentuk keburukan dalam diri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hening, tegang, dan penuh kekhidmatan. Pembaca dapat merasakan keheningan malam yang diwarnai pergulatan spiritual seorang hamba yang sedang melakukan perenungan mendalam. Ada perasaan takut, cemas, namun juga harap. Suasana ini mencerminkan kondisi batin seseorang yang berada di antara kegelapan dan cahaya — antara dosa dan pengampunan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah manusia harus berani melakukan penyucian diri secara spiritual sebelum berjumpa dengan Tuhan. Penyair ingin mengingatkan bahwa taharah sejati bukan hanya membasuh tubuh, tetapi juga membersihkan hati dari segala kotoran batin. Penyucian diri memerlukan keberanian, keikhlasan, dan kesungguhan. Hanya dengan keberanian memotong “kegelapan di kalbu” seseorang dapat benar-benar merasakan makna kedekatan dengan Sang Pencipta.

Imaji

Imaji dalam puisi ini sangat kuat dan simbolis, terutama dalam menggambarkan suasana spiritual dan pergulatan batin. Beberapa imaji yang muncul antara lain:
  • Imaji visual: “memotong kegelapan di kalbuku” menghadirkan gambaran konkret dari proses penyucian batin yang keras dan menyakitkan.
  • Imaji perasaan: “hati yang karam ke dasar malam” menggambarkan perasaan putus asa dan kehilangan arah spiritual.
  • Imaji gerak: “kilau mata pisau di tanganku yang gemetar menuju-Mu” menggambarkan ketegangan batin dan kerendahan hati seseorang dalam menghadapi Sang Pencipta.
Imaji-imaji ini memperkaya nuansa religius puisi dan memperdalam kesan spiritualitasnya.

Majas

Soni Farid Maulana menggunakan berbagai majas untuk memperindah dan memperkuat makna puisi ini, antara lain:

Metafora:
  • “memotong kegelapan di kalbuku” adalah metafora untuk upaya menghapus dosa atau keburukan batin.
  • “hati yang karam ke dasar malam” merupakan metafora bagi jiwa yang tenggelam dalam kegelapan spiritual.
Personifikasi:
  • “kilau mata pisau di tanganku yang gemetar menuju-Mu” seolah memberikan nyawa pada benda mati (pisau) yang berkilau dan ikut bergerak dalam perjuangan spiritual sang aku lirik.
Simbolisme:
  • Raudhah melambangkan kesucian dan tujuan spiritual tertinggi.
  • Pisau melambangkan alat penyucian diri, keberanian, dan tekad untuk memotong keburukan batin.
Majas-majas ini menjadikan puisi terasa hidup dan penuh kekuatan simbolik, memperkuat nuansa religius sekaligus dramatik dari perjalanan spiritual sang penyair.

Puisi “Taharah” karya Soni Farid Maulana merupakan refleksi spiritual yang mendalam tentang perjuangan manusia dalam mencari kesucian hati. Melalui simbol-simbol religius seperti Raudhah, pisau, dan kegelapan hati, penyair menghadirkan suasana batin yang penuh keheningan dan introspeksi.
Tema taharah diangkat bukan sekadar ritual lahiriah, tetapi perjalanan rohani menuju pencerahan.

Dengan imaji yang kuat, majas yang padat makna, serta suasana yang khusyuk, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang pentingnya membersihkan diri — bukan hanya tubuh, tetapi juga hati dan jiwa — sebelum berjumpa dengan Tuhan.

Soni Farid Maulana
Puisi: Taharah
Karya: Soni Farid Maulana

Biodata Soni Farid Maulana:
  • Soni Farid Maulana lahir pada tanggal 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
  • Soni Farid Maulana meninggal dunia pada tanggal 27 November 2022 (pada usia 60 tahun) di Ciamis, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.