Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Telepon (Karya Hamid Jabbar)

Puisi "Telepon" karya Hamid Jabbar mengeksplorasi makna dari suara yang sering kali kita anggap sepele namun penuh misteri dan kemungkinan.
Telepon

yang dia itu siap deringkan sekeranjang kring panjang

kriing!
siaplah.

barangkali itulah kring penghabisan yang akan menghabiskan telingamu jadi kaku dan tak ku-asa lagi menangkap sealit pun suara jarum jatuh yang menancap di daun telingamu...

kriing!
jangan terburu.

barangkali itulah kabar kedatangan dia yang ka-mu tunggu, atau bisa jadi ucapan maaf dari musuh di balik kelambu atau lagi-lagi salah sam-bung seperti kemaren dulu...

kriing!
halo, di sini saya, di situ siapa?
nah, tebaklah....
halo! di sini saya, di situ siapa?
nan inilah mautmu...
apa? kurang jelas!
dengarkan: m tambah a tambah u tambah t
maut, milikmu, tolol...
ohh?
nah, jangan gugup
ba..., baiklah, selamat siang
selamat petang!
dan..., dan apa kabar?
dan tunggu aku di situ
dan jangan lupa siapkan sepatumu
dan sebentar lagi aku siap di sisimu
dan kemudian aku siap di itumu
dan akhirnya aku kirim kamu ke sesuatu!
nah, jelas bukan?
ya.. ya.., sebentar ya...
ya, tak usah repot-repot
sebentar, sebentar saja...
yak! sebentar lagi!
klaak!
yang diam itu telah bicara padamu:

Padang, 1974

Sumber: Wajah Kita (1981)

Analisis Puisi:

Puisi "Telepon" karya Hamid Jabbar mengangkat tema komunikasi modern dan eksistensi manusia. Dengan gaya yang unik dan simbolis, puisi ini mengeksplorasi makna dari suara yang sering kali kita anggap sepele namun penuh misteri dan kemungkinan.

Tema Utama

  • Komunikasi dan Kesalahpahaman: Puisi ini mengangkat tema komunikasi, terutama melalui telepon, sebagai medium yang dapat membawa berbagai macam pesan—dari yang dinanti hingga yang mengejutkan. Tema kesalahpahaman juga tercermin dalam bagian yang menggambarkan kemungkinan salah sambung atau pesan yang tidak diharapkan.
  • Eksistensi dan Kehidupan: Tema eksistensi dan kehidupan terwujud melalui metafora tentang maut. Percakapan di telepon bukan hanya sekedar komunikasi biasa tetapi juga menyiratkan pertemuan dengan kematian, yang membuat pembaca merenungkan keberadaan dan tujuan hidup mereka.
  • Harapan dan Kecemasan: Puisi ini juga mengandung elemen harapan dan kecemasan, seperti harapan akan kabar baik dari orang yang ditunggu, atau kecemasan tentang berita buruk yang mungkin diterima. Ini mencerminkan dualitas dari komunikasi yang dapat membawa kebahagiaan sekaligus ketakutan.

Gaya Bahasa dan Teknik Puitis

  • Onomatope: Penggunaan kata "kriing" meniru suara dering telepon, memberikan efek auditori yang membuat pembaca bisa "mendengar" situasi yang digambarkan dalam puisi ini. Hal ini menambah kedekatan dan realisme pada tema komunikasi.
  • Dialog: Puisi ini menggunakan format dialog untuk menampilkan percakapan telepon antara dua pihak. Dialog ini menciptakan ketegangan dan misteri, karena identitas pihak kedua tidak diketahui sampai akhir percakapan.
  • Repetisi: Pengulangan kata "kriing" dan "halo" menekankan pentingnya setiap dering telepon dan respon yang diberikan, menunjukkan ketidakpastian dan antisipasi yang datang dengan setiap panggilan.
  • Ironi: Puisi ini penuh dengan ironi, terutama dalam percakapan yang tampaknya biasa tetapi berubah menjadi percakapan tentang maut. Ironi ini menyoroti ketidakpastian hidup dan bagaimana sesuatu yang sederhana seperti telepon bisa membawa pesan yang mengubah hidup.

Makna dan Interpretasi

  • Ketidakpastian Hidup: Puisi ini menggambarkan ketidakpastian hidup melalui metafora telepon. Setiap panggilan bisa membawa kabar baik atau buruk, yang mencerminkan bagaimana kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hidup kita.
  • Eksistensi dan Kesadaran: Dialog tentang maut dalam puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan eksistensi mereka sendiri dan apa arti hidup. Percakapan tentang maut dengan nada yang hampir santai menunjukkan bagaimana manusia sering kali menghadapi hal-hal yang tak terhindarkan dengan kebingungan dan ketidakpastian.
  • Kesadaran dan Respons: Respons terhadap panggilan telepon dalam puisi ini juga mencerminkan bagaimana manusia merespons situasi yang tak terduga dalam hidup. Dialog yang menunjukkan kebingungan dan akhirnya penerimaan mengajarkan tentang bagaimana kita sering kali harus menerima apa yang tidak bisa kita ubah.
Puisi "Telepon" karya Hamid Jabbar adalah puisi yang kompleks dan penuh makna. Melalui penggunaan simbol telepon dan dialog yang cerdas, puisi ini mengeksplorasi tema komunikasi, eksistensi, dan ketidakpastian hidup. Hamid Jabbar berhasil menggambarkan bagaimana sesuatu yang tampaknya sederhana seperti telepon bisa menjadi metafora yang mendalam untuk kehidupan dan kematian. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup dan bagaimana kita merespon hal-hal yang tidak terduga dalam perjalanan hidup kita.

Puisi: Telepon
Puisi: Telepon
Karya: Hamid Jabbar

Biodata Hamid Jabbar:
  • Hamid Jabbar (nama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar) lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat.
  • Hamid Jabbar meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 2004.
© Sepenuhnya. All rights reserved.