Tembang Selatan
Kutinggalkan rumah di tepi lain Pasifik itu
Dan kembali ke Pulau Jawa
Yang kecil, serta bukan main pengapnya
"Mengapa kampung ini kotor, Ayah?"
Seperti mau tak mau anakku
Harus menerima kemiskinan bangsanya,
"Kita mesti kerja keras.
Beri orang miskin itu rumah bagus,
makanan sehat, pendidikan dan pekerjaan"
Ia berseru dari atas jembatan Ciliwung
Ayahnya membisu. Mengenang senja di Gurun Mojave
Ketika rembulan di atas pokok-pokok kurma
Tak bisa menyelamatkan kelinci muda
Dari sebutir peluru seorang pemburu
"Hei, mengapa kau lakukan itu
Terhadap bangsa merdeka seperti aku?
Berbondong-bondong kami pergi ke Kalifornia
Seperti semut-semut merah
Mencari rejeki di sebuah benua
Dengan tangguh dan berani sengsara
Di Beverly Hills dengan heli di atas kantornya
Di Beverly Hills dengan heli di atap kantornya
Para eksekutif mengeruk ribuan dolar sehari
Sementara di kebun dan di gudang-gudang mereka
Kami diperas untuk tiga dolar sejam
Tapi kelinci-kelinci dari selatan gembira
Mengabdi untuk kemulyaan
"Sayang saudara, kami tak perlu punakawan.
Memperkerjakan orang di bawah standard upah
adalah perbudakan. Lagi pula kalian tak bergreencard
visa sudah habis dan keterangan lain tak ada,"
kata FBI kemudian. Kami ditangkap
Dijadikan bahan bukti pengadilan
Mengapa kau lakukan itu saudara?
berjuta-juta tenaga mengalir dari selatan
Meninggalkan Guatemala, Mexico, Costarica,
Filipina, Equador, El Salvador dan Korea
Tapi kenapa cuma Indonesia diributkan?
Sekarang di atas jembatan Ciliwung
Si upik berseru lagi, "Bekerjalah Ayah,
Bekerja seperti di Amerika. Sampai malam
Sampai tubuhmu berotot baja."
Sumber: Horison (September, 1983)
Analisis Puisi:
Puisi “Tembang Selatan” karya Eka Budianta adalah salah satu karya penting yang menggambarkan pergulatan batin dan sosial seorang anak bangsa yang merantau ke luar negeri demi kehidupan yang lebih baik, namun tetap terikat dengan nasib bangsanya yang miskin dan terbelakang. Melalui diksi yang tajam, naratif, dan reflektif, puisi ini menyuarakan kritik sosial dan kemanusiaan yang relevan lintas generasi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial global, terutama antara negara-negara selatan (negara berkembang) dan negara-negara utara (maju). Selain itu, terdapat tema nasionalisme dan keprihatinan moral, di mana penyair menyoroti realitas pahit tenaga kerja migran Indonesia yang bekerja keras di negeri orang, tetapi tetap menjadi korban ketidakadilan ekonomi dunia.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman seorang ayah yang kembali ke Indonesia setelah merantau di Amerika Serikat, serta refleksinya tentang ketimpangan antara dunia maju dan dunia miskin.
Puisi dimulai dengan suasana kepulangan dari “rumah di tepi lain Pasifik” — sebuah metafora bagi kehidupan di luar negeri yang serba maju dan nyaman — menuju realitas Pulau Jawa yang sempit dan penuh kemiskinan.
Anaknya yang polos bertanya, “Mengapa kampung ini kotor, Ayah?” — sebuah pertanyaan sederhana namun menghujam, menggambarkan generasi muda yang tak mengerti mengapa bangsanya tertinggal.
Sang ayah hanya bisa terdiam, merenungkan masa lalunya di gurun Mojave, Amerika, tempat ia pernah menyaksikan ketidakadilan—seekor kelinci muda ditembak tanpa alasan, simbol dari manusia kecil yang ditindas oleh sistem besar.
Selanjutnya, penyair menceritakan pengalaman para pekerja migran dari negara-negara selatan (Guatemala, Filipina, Indonesia, dll.) yang mencari nafkah di Amerika, namun ditindas dengan sistem perburuhan tidak adil dan diskriminatif.
Pada akhirnya, suara anak di atas jembatan Ciliwung menjadi simbol harapan baru: dorongan untuk bekerja keras dan membangun bangsa sendiri.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi “Tembang Selatan” adalah kritik terhadap ketidakadilan global dan kesadaran nasional yang lahir dari penderitaan di perantauan.
Penyair ingin menyampaikan bahwa eksploitasi tenaga kerja dari negara-negara miskin oleh negara-negara kaya adalah bentuk perbudakan modern, yang dibungkus dengan istilah ekonomi dan kebebasan kerja.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan panggilan moral kepada bangsa Indonesia: agar tidak terus bergantung pada luar negeri, tetapi belajar dari ketekunan dan etos kerja dunia maju untuk membangun negeri sendiri.
Larik terakhir — “Bekerjalah Ayah, bekerja seperti di Amerika. Sampai malam, sampai tubuhmu berotot baja” — menjadi semacam ejekan dan harapan sekaligus: ejekan pada bangsa yang malas berubah, dan harapan agar semangat kerja keras bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, getir, namun penuh kesadaran sosial. Di satu sisi, terdapat rasa sedih dan kecewa terhadap kondisi bangsa sendiri; di sisi lain, muncul semangat untuk memperbaikinya.
Nada lirih dalam perenungan sang ayah berpadu dengan semangat muda dari suara sang anak, menciptakan suasana yang kompleks: antara keputusasaan dan optimisme.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji lintas geografis dan sosial, yang menghubungkan dua dunia: Amerika dan Indonesia. Beberapa imaji menonjol antara lain:
- “Rumah di tepi lain Pasifik” – gambaran kehidupan di luar negeri, penuh kemajuan.
- “Jembatan Ciliwung” – simbol kemiskinan dan kehidupan rakyat kecil di Jakarta.
- “Rembulan di atas pokok-pokok kurma” dan “kelinci muda ditembak peluru pemburu” – citraan alam dan kekerasan yang melambangkan nasib rakyat tertindas.
- “Para eksekutif mengeruk ribuan dolar sehari, sementara kami diperas untuk tiga dolar sejam” – imaji sosial yang konkret tentang ketimpangan ekonomi dunia.
Dengan imaji semacam ini, Eka Budianta membawa pembaca untuk “melihat” dua dunia dalam satu bingkai: kemajuan yang tak adil, dan kemiskinan yang terus diwariskan.
Majas
Beberapa majas yang tampak kuat dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “Tembang Selatan” sendiri merupakan metafora bagi suara rakyat dunia selatan — lagu perjuangan, derita, dan harapan bangsa-bangsa miskin.
- Personifikasi: “Kampung ini kotor” dan “Bangsa merdeka seperti aku” memberi sifat manusia pada benda atau konsep abstrak.
- Sarkasme: Dalam larik “Sayang saudara, kami tak perlu punakawan” penyair menyindir sistem kerja yang menindas tenaga kerja asing.
- Ironi: Negara maju disebut “memuliakan kerja keras”, tetapi justru memperbudak pekerja migran dengan upah rendah.
- Simbolisme: “Jembatan Ciliwung” menjadi simbol persimpangan moral antara kemiskinan dan harapan akan kebangkitan.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Amanat yang ingin disampaikan oleh Eka Budianta melalui puisi ini adalah seruan untuk bekerja keras membangun bangsa sendiri dan melawan ketimpangan sosial global. Penyair menegaskan bahwa penderitaan tenaga kerja di luar negeri seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk memperkuat semangat nasionalisme dan solidaritas sosial di tanah air.
Puisi ini juga mengingatkan bahwa kemajuan tidak datang dari eksploitasi, melainkan dari kerja keras, keadilan, dan kemanusiaan. Di balik sindiran-sindiran getirnya, ada pesan moral yang kuat: bahwa setiap bangsa, terutama bangsa “selatan”, harus bangkit dengan keringat dan keberanian sendiri, bukan sekadar menjadi penonton di dunia yang timpang.
Puisi “Tembang Selatan” karya Eka Budianta merupakan refleksi sosial dan politik yang tajam tentang nasib bangsa-bangsa miskin dalam sistem global yang tidak adil. Dengan gaya naratif yang mengalir, penyair menggabungkan pengalaman personal, realitas sosial, dan suara kemanusiaan universal.
Karya: Eka Budianta
Biodata Eka Budianta:
- Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo.
- Eka Budianta lahir pada tanggal 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur.
