Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tertegun (Karya Mustofa Bisri)

Puisi “Tertegun” karya Mustofa Bisri bercerita tentang seorang penyair yang merenungi keadaan dunia yang suram dan penuh kerusakan, baik secara ...
Tertegun

Tertegun dalam kelabu
langitku
aku mencoba membayangkan
mentari di balik gemawan
yang sejak lama tak menyinari
rumah-rumah kalbu

Tertegun dalam pengap
udaraku
aku berusaha menghirup
sisa wewangian
yang berguguran
dalam bunga-bunga layu

(Burung-burung berpatahan
sayapnya bahkan
berkaparan
oleh racun dari kemasan
yang menyilaukan)

Tertegun dalam keruh
lautku
aku bertanya-tanya
dalam kesendirian
masihkah batinmu menyimpan
mutiara-mutiara biru?

Tertegun dalam pekat
bumiku
aku memandang kosong
tanah-tanah yang ditinggalkan
atau diperebutkan
orang-orang gagu

(Meraba-raba dalam gelap
negeriku
aku mencari-cari
merahputihku
yang terkoyak tangan sendiri)

Sumber: Gelap Berlapis-lapis (Yayasan Al-Ibriz & Fatma Press, 1998)

Analisis Puisi:

Puisi “Tertegun” karya Mustofa Bisri menghadirkan refleksi yang dalam tentang kondisi manusia dan bangsa yang kehilangan arah moral serta spiritual. Dengan diksi penuh simbol dan suasana muram, puisi ini mengajak pembaca merenungi kehampaan batin dan kerusakan nilai yang melanda kehidupan modern.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keprihatinan terhadap kemerosotan moral, spiritual, dan sosial manusia modern. Penyair menyoroti betapa dunia telah diliputi kegelapan batin akibat keserakahan, kehilangan keindahan jiwa, dan kerusakan lingkungan serta nilai kemanusiaan.

Puisi ini bercerita tentang seorang penyair yang merenungi keadaan dunia yang suram dan penuh kerusakan, baik secara fisik maupun spiritual. Ia menggambarkan langit yang kelabu, udara yang pengap, laut yang keruh, dan bumi yang pekat—semuanya menjadi metafora dari jiwa manusia dan bangsa yang kehilangan cahaya moral.

Penyair tertegun menyaksikan kehancuran nilai kemanusiaan: burung-burung yang berpatahan sayapnya, tanah yang diperebutkan, dan simbol merah putih yang terkoyak oleh tangan sendiri.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap manusia yang telah merusak alam dan kehilangan nurani karena keserakahan dan kebodohan sendiri. Mustofa Bisri ingin menegaskan bahwa kehancuran fisik dan moral yang terjadi bukanlah karena musuh luar, melainkan karena perbuatan manusia itu sendiri.

Puisi ini juga menyiratkan kerinduan akan kesucian, kedamaian, dan nilai spiritual yang telah lama hilang, seperti “mentari di balik gemawan” dan “mutiara-mutiara biru” yang melambangkan harapan dan kebeningan hati.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini muram, reflektif, dan penuh keprihatinan. Nuansa kelabu, pengap, keruh, dan pekat menggambarkan suasana batin yang sesak dan kehilangan arah. Di balik itu, ada nada lirih yang mengandung doa dan kerinduan pada kebaikan yang hilang.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang ingin disampaikan penyair adalah agar manusia kembali menyadari kesalahan dirinya, memperbaiki hubungan dengan sesama, alam, dan Tuhan. Mustofa Bisri mengingatkan bahwa kehancuran bangsa dan lingkungan bukan semata bencana, tetapi akibat dari tangan manusia sendiri, sebagaimana tersirat dalam baris akhir:

“merahputihku yang terkoyak tangan sendiri.”

Imaji

Puisi ini kuat dalam penciptaan imaji visual dan emosional:
  • “langitku yang kelabu” menimbulkan gambaran langit muram dan tanpa harapan.
  • “bunga-bunga layu” menghadirkan kesedihan dan kehancuran keindahan.
  • “burung-burung berpatahan sayapnya” melukiskan penderitaan dan kehilangan kebebasan.
  • “tanah-tanah yang ditinggalkan atau diperebutkan” memberi imaji sosial tentang konflik dan ketamakan manusia.

Majas

Mustofa Bisri menggunakan berbagai majas simbolik dan personifikasi untuk memperkuat makna:
  • Metafora: seperti “mentari di balik gemawan” melambangkan harapan atau nilai spiritual yang tersembunyi.
  • Personifikasi: “langitku”, “lautku”, dan “bumiku” seolah memiliki jiwa, menggambarkan keterikatan batin penyair dengan alam dan tanah air.
  • Ironi: tampak pada kontras antara keindahan yang hilang dan kenyataan pahit yang dihadapi manusia.
Puisi “Tertegun” karya Mustofa Bisri adalah renungan mendalam tentang kehancuran moral, sosial, dan spiritual manusia yang melanda dunia dan bangsa. Melalui simbol alam yang muram dan bahasa puitis yang reflektif, penyair mengajak pembaca untuk merenung, bertobat, dan kembali kepada kesucian hati. Ia mengingatkan bahwa tanda-tanda kehancuran tidak datang dari luar, melainkan dari kebutaan moral manusia sendiri.

Mustofa Bisri
Puisi: Tertegun
Karya: Mustofa Bisri (Gus Mus)

Biodata Mustofa Bisri:
  • Dr. (H.C.) K.H. Ahmad Mustofa Bisri (sering disapa Gus Mus) lahir pada anggal 10 Agustus 1944 di Rembang. Ia adalah seorang penyair yang cukup produktif yang sudah menerbitkan banyak buku.
  • Selain menulis puisi, Gus Mus juga menulis cerpen dan esai-esai keagamaan. Budayawan yang satu ini juga merupakan seorang penerjemah yang handal.
  • Gus Mus adalah seorang kiai yang memiliki banyak profesi, termasuk pelukis kaligrafi dan bahkan terlibat dalam dunia politik.
© Sepenuhnya. All rights reserved.