Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tujuh Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (Karya Melki Deni)

Puisi “Tujuh Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil” karya Melki Deni mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan iman, pengalaman sosial, dan ...
Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (1)

Saya meninggalkan Tuhan masa kecil di rumah ibadat, yang hari demi hari jumlah pengunjung makin berkurang dan berkabung, ketika saya mulai belajar jalan menuju kebijaksanaan. Saya pernah bersembahyang khusuk di sana sampai lupa pulang ke musim kemarau panjang. Meski relikui, gambar, dan patung-patung yang digantung menertawakan kekonyolan saya dan Tuhan masa kecil itu.

Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (2)

Bapak bilang jalan menuju Tuhan adalah telapak kaki ibu. Tetapi ibu bilang Tuhan adalah keringat darah yang menjelma sejarah mengalir dari mata bapak, yang tak pernah berpeluh keletihan.

Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (3)

Kadang, ketika letih kecapaian, Tuhan masa kecil duduk di sudut, di kepala yang remang-remang. Ingin sekali menghibur Tuhan masa kecil, tapi kesibukan tarik-ulur, dan menyembunyikan waktu dari jalan.

Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (4)

Saya pernah dibantai habis-habisan oleh sakit yang suka berparasit dalam tubuh ini, Tuhan masa kecil memberi resep: “1 X Saya Mengaku, 1 X Doa Tobat, 1 X Bapa Kami, dan 3 X Salam Maria. Obat-obat ini mesti sekali tenggak.” Saya pun mengerti Tuhan masa kecil adalah obat mujarab.

Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (5)

Ketika saya dilanda paceklik, Tuhan masa kecil berbisik: “bukalah kepalamu! Buanglah bintik-bintik hitam kemalasan dan keegoisan ke tempat sampah! Dan juallah sedikit otakmu kepada penguasa-penguasa superkaya itu!” Akhirnya saya bisa makan dan minum sampai muntah darah. Saya pun mengerti Tuhan masa kecil adalah penguasa superkaya superbaik hati.

Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (6)

Ketika saya sibuk mengurus negara yang proteksionis, otoriter, dan agama yang perfeksionis, Tuhan masa kecil meletihkan saya. Tuhan masa kecil berkata: “Negara dan agama bekerja sama menguras usiamu demi kepentingan”. Ia menamainya uang dan keabadian. Saya pun mengerti Tuhan masa kecil bukanlah kepentingan.

Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil (7)

Suatu hari saya berjalan keluar, seketika sudah mulai besar, seperti pelancong ke sana kemari. Ke mana pun saya pergi, Kanak-kanak dalam diri membawa Tuhan masa kecil itu. Kanak-kanak dan Tuhan masa kecil pun menari kecil-kecil dan bersorak-sorai. Itu sebabnya saya tidak ingin mati cepat-cepat. Saya pun mengerti Kanak-kanak dan Tuhan masa kecil adalah jalan menuju kebijaksanaan.

Ledalero, Minggu 3 April 2022

Analisis Puisi:

Puisi “Tujuh Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil” karya Melki Deni merupakan rangkaian refleksi yang sangat personal tentang hubungan penyair dengan figur “Tuhan masa kecilnya.” Dalam tujuh bagian pleidoi (pembelaan), penyair mengurai pengalaman spiritual, sosial, dan emosionalnya sejak kecil hingga dewasa. Puisi ini terasa seperti catatan perjalanan batin yang memadukan ingatan, kritik sosial, humor getir, dan kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman hidup.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan spiritual manusia dari masa kecil hingga dewasa. Melki Deni menghadirkan “Tuhan masa kecil” sebagai simbol dari iman yang polos, lugu, penuh harapan, namun seiring waktu diuji oleh realitas dunia. Puisi ini juga mengangkat tema pergeseran iman — dari keyakinan yang diajarkan di rumah ibadat, menjadi pemahaman baru yang lahir dari pengalaman hidup, penderitaan, dan pemikiran kritis.

Di balik itu, ada tema pencarian kebijaksanaan. Melalui pleidoi-pleidoi ini, penyair menunjukkan bahwa manusia belajar menemukan Tuhan bukan hanya di tempat ibadah, tapi juga di peluh, sejarah, sakit, krisis, bahkan di dalam kanak-kanaknya sendiri.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman aku liris dengan “Tuhan masa kecil” yang dulu ia kenal, lalu ia tinggalkan, kemudian ia pahami kembali dengan cara baru.
  • Dalam Pleidoi 1, aku liris mengingat masa kecilnya beribadah khusyuk di rumah ibadat, namun tempat itu makin sepi.
  • Pleidoi 2 menghadirkan tafsir keluarga: ayah melihat Tuhan lewat telapak kaki ibu, ibu melihat Tuhan lewat keringat darah ayah.
  • Pleidoi 3 menggambarkan keletihan batin: Tuhan masa kecil duduk remang-remang di sudut kepala.
  • Pleidoi 4 menampilkan Tuhan masa kecil sebagai obat mujarab bagi sakit yang diderita.
  • Pleidoi 5 menggambarkan Tuhan masa kecil sebagai “penguasa superkaya” yang baik hati, saat aku liris dilanda paceklik.
  • Pleidoi 6 menyinggung politik dan agama yang bekerja sama menguras usia; Tuhan masa kecil bukanlah kepentingan.
  • Pleidoi 7 menjadi puncak: aku liris berjalan keluar, semakin besar, tapi masih membawa kanak-kanak dan Tuhan masa kecil dalam dirinya, dan ia mengerti bahwa keduanya adalah jalan menuju kebijaksanaan.
Keseluruhan puisi ini adalah kisah transformasi iman dan kedewasaan spiritual yang dialami penyair.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah pergeseran dan pendewasaan pandangan manusia tentang Tuhan dan hidup.

Tuhan masa kecil dalam puisi ini bukan sekadar sosok ilahi, melainkan representasi dari keyakinan masa kanak-kanak yang polos, penuh ritual, dan penuh harapan. Seiring waktu, keyakinan itu diuji oleh penderitaan (sakit, paceklik), realitas sosial (negara otoriter, agama perfeksionis), hingga kritik diri.

Namun pada akhirnya, aku liris menyadari bahwa Tuhan masa kecil itu tidak hilang, melainkan ikut tumbuh bersamanya. Ia tetap hadir sebagai bagian dari kanak-kanak dalam diri yang menuntun ke arah kebijaksanaan.

Makna tersiratnya: iman yang tulus tidak pernah benar-benar mati; ia berevolusi bersama kesadaran manusia.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini campuran antara melankolis, reflektif, dan ironis.
  • Ada nuansa nostalgia saat mengingat masa kecil di rumah ibadat.
  • Ada nuansa kritik sosial saat menggambarkan Tuhan masa kecil yang seperti obat atau penguasa superkaya.
  • Ada nuansa haru dan damai di akhir puisi saat kanak-kanak dan Tuhan masa kecil menari kecil-kecil.
Perpaduan suasana ini membuat puisi terasa hidup — bukan sekadar renungan spiritual, tapi juga rekaman pengalaman manusia yang penuh warna.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah:
  • Iman masa kecil bukan untuk ditinggalkan sepenuhnya, melainkan dipahami kembali dengan kebijaksanaan orang dewasa.
  • Tuhan tidak hanya ditemukan di rumah ibadat, tetapi juga di peluh orang tua, dalam sakit, krisis, bahkan dalam pengalaman hidup yang pahit.
  • Menyimpan kanak-kanak dalam diri adalah jalan menuju kebijaksanaan — artinya, jangan kehilangan ketulusan dan keluguan hati meski kita bertumbuh.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji keseharian yang konkret sekaligus simbolis:
  • “Relikui, gambar, dan patung-patung yang digantung menertawakan kekonyolan saya” → imaji visual tentang rumah ibadat yang sepi dan dingin.
  • “Tuhan masa kecil duduk di sudut, di kepala yang remang-remang” → imaji abstrak yang memberi kesan kesepian batin.
  • “Obat-obat ini mesti sekali tenggak” → imaji rasa sakit dan pengobatan.
  • “Kanak-kanak dan Tuhan masa kecil pun menari kecil-kecil dan bersorak-sorai” → imaji perayaan batin yang hangat dan puitis.
Imaji-imaji ini membangun dunia puisi yang terasa nyata sekaligus reflektif.

Majas

Beberapa majas yang menonjol:

Metafora:
  • “Tuhan masa kecil” → bukan sosok literal, tetapi simbol iman masa kecil yang polos.
  • “Menjual sedikit otakmu kepada penguasa-penguasa superkaya” → metafora kritik sosial tentang kompromi demi bertahan hidup.
Personifikasi:
  • “Relikui, gambar, dan patung-patung menertawakan kekonyolan saya” → benda mati diberi sifat manusia.
  • “Tuhan masa kecil duduk di sudut” → Tuhan digambarkan seperti manusia yang letih.
Ironi dan Satire:
  • Menyebut Tuhan masa kecil sebagai “penguasa superkaya superbaik hati” → kritik terhadap pandangan religius yang sempit atau materialistis.
Simbolisme:
  • “Kanak-kanak” sebagai simbol ketulusan batin.
  • “Obat-obat doa” sebagai simbol pencarian kesembuhan rohani dan jasmani.
Puisi “Tujuh Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil” karya Melki Deni adalah karya yang kuat, reflektif, dan menyentuh. Melalui tujuh bagian pleidoi, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan iman, pengalaman sosial, dan pertemuan kembali dengan kebijaksanaan batin yang lahir dari kanak-kanak.

Dengan tema pencarian spiritual, imaji keseharian yang simbolik, majas yang ironis sekaligus lirih, serta amanat tentang pentingnya menyimpan ketulusan masa kecil dalam hati, puisi ini menjadi catatan berharga tentang bagaimana manusia bernegosiasi dengan Tuhan, agama, dan hidupnya sendiri.

Puisi Melki Deni
Puisi: Tujuh Pleidoi Terhadap Tuhan Masa Kecil
Karya: Melki Deni

Biodata Melki Deni:
  • Melki Deni adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
  • Melki Deni menjuarai beberapa lomba penulisan karya sastra, musikalisasi puisi, dan sayembara karya ilmiah baik lokal maupun tingkat nasional.
  • Buku Antologi Puisi pertamanya berjudul TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik (Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2022).
© Sepenuhnya. All rights reserved.