Variasi pada Tema Maut (1)
Kerinduan menusuk sampai ke sungsum
yang menyebabkan mataku basah berlinang
Sungguh aku tak mau jadi cengeng
Biar bahagia melumatkan segala rasa
dan aku lupa kepada kehadiran
Aku mabuk kepayang dalam maut
Kenikmatan terdapat dalam kekosongan
yang melarutkan sayang dalam keabadian
Variasi pada Tema Maut (2)
Yang menakutkan hanya air
--bukan kematian--
yang menetes di bak mandi sepanjang malam
(dari keran yang lama karatan)
Berapa lama masih tidur terganggu
oleh air itu
yang menghitung umur
sampai tak terdengar tiba-tiba suatu pagi
tanpa aku tahu
mengapa tak menetes lagi
air yang tak bisa diam itu
air yang menakutkan
Variasi pada Tema Maut (3)
Pada hari terakhir
setiap nyawa jadi penting
bahkan bunga tanpa nama
yang gugur dari tangkainya
dipungut dari pasir.
Gamelan menyambut dari jauh
lembut seperti tak pernah terdengar oleh telinga.
Yatim, kau akan berjumpa lagi dengan bapa.
Variasi pada Tema Maut (4)
Petualangan menimbulkan muak
pada selera. Sudah berpuluh
perempuan kucampakkan
dekat jendela yang habis kuhisap
lezat madunya. Hanya di alam maut
barangkali ada perempuan sempurna
-- dengan rambut bergelombang saja
menutupi telanjangnya --
yang bisa melipur aku dalam pelukannya
sehingga aku terlena.
Variasi pada Tema Maut (5)
Bagimu orang tua ini
masih anak, Tuhan. Begitu
takut aku kepada maut
dan aku lupa garis nasib
sudah tersurat di tanganku.
Aku telah bersembunyi di kolong
ranjang, tapi akhirnya ketahuan
juga. Aku main kucing-kucingan
dengan dia dan tak kusangka
kukunya menerpa ke dadaku
tepat di mana jantungku
berdentang. Yang berhutang janji
harus segera melunasi.
Sampai aku tak sempat
melambaikan tangan
untuk menyampaikan salam
berpisah. Inna lillah!
Variasi pada Tema Maut (6)
Kesunyian menggedor-gedor pintu hatiku
minta diperhati
Aku bukan dewa atau hewan yang
sanggup hidup sendiri
Kurenggut kasih dari pangkuan
yang menyerah
Tapi perempuan hanya mampu mengorbankan
darah sepi
Bayangan maut membuntuti aku dari dini
Bisakah ia menjadi kawan berbincang
mengusir sunyi?
Variasi pada Tema Maut (7)
Jariku meraba buku yang berderet
sepanjang dinding.
Banyak yang belum selesai kubaca
dan sepenuhnya mengerti:
Iqbal, Wittgenstein, Ronggowarsito.
Kalau aku mati, kalau aku mati
aku akan menyesal tidak sempat
mengenal kebudayaan masa kini.
Dan negeri-negeri di dunia
begitu banyak yang belum pernah kukunjungi:
Mexico, Rusia, Nepal.
Kalau aku mati, kalau aku mati
aku akan menyesal tidak sempat
memasuki daerah-daerah asing
di atas bumi.
Dan rahasia perempuan yang menghimbau
sebelum habis kujelajahi.
Kalau aku mati, kalau aku mati
aku boleh kembali ke dunia lagi
Variasi pada Tema Maut (8)
Perempuanlah yang melahirkan
aku di bumi. Perempuan juga
yang mengajar aku
menikmati nafsu tak terkendali.
Tapi perempuan yang membuat
aku putus asa dan mendorong
melakukan bunuh diri. Perempuan
yang mengajak aku tidur
abadi tanpa kawatir apa yang
bakal terjadi esok hari
Perempuan adalah ilham untuk
hidup dan ilham untuk mati
Variasi pada Tema Maut (9)
Langkah lelah tertampung
di kampung tak berhuni. Tak terdengar tangis bayi.
Berita duka yang tertayang
tidak menentukan bila malam panjang
akan berakhir.
Tinggal menyerah tanpa bertanya atau mencari.
Makna sudah lama terkubur. Hilang semua anti.
Nafsu hidup telah berhenti
bersama nyanyian anak
yang surut tatkala nyala bulan redup mati.
"Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis semilir "
Sumber: Horison (November, 1989)
Analisis Puisi:
Puisi "Variasi pada Tema Maut" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah karya yang mengeksplorasi tema kematian dari berbagai sudut pandang. Melalui sembilan bagian yang penuh perasaan, puisi ini menyajikan refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan maut, kenikmatan, dan keputusasaan. Setiap bagian memberikan perspektif yang unik dan sering kali kontradiktif, menciptakan sebuah mozaik kompleks tentang cara manusia menghadapi dan merasakan kematian.
Kerinduan dan Kekosongan
Bagian pertama mengungkapkan kerinduan yang mendalam dan bagaimana ia dapat menyebabkan kesedihan. "Kerinduan menusuk sampai ke sungsum / yang menyebabkan mataku basah berlinang" menunjukkan intensitas perasaan yang hampir menyakitkan. Kematian di sini digambarkan sebagai sebuah keadaan kekosongan yang melarutkan segala rasa dalam keabadian, memberikan sentuhan melankolis pada konsep kematian yang menyakitkan namun misterius.
Ketidakpastian dan Keterikatan
Pada bagian kedua, "Yang menakutkan hanya air / --bukan kematian--" menunjukkan ketidakpastian dan keterikatan manusia pada hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti air yang menetes. Kontras antara ketakutan terhadap kematian dan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh air yang terus-menerus menetes menggambarkan bagaimana hal-hal sepele bisa menimbulkan kegelisahan, sementara kematian itu sendiri tampak lebih abstrak.
Kepentingan dan Makna
Bagian ketiga memperlihatkan bagaimana segala sesuatu menjadi penting pada hari terakhir, termasuk hal-hal yang tampaknya sepele, seperti bunga tanpa nama. Gamelan yang menyambut dari jauh menambah kesan bahwa pada saat-saat akhir, bahkan keindahan yang sederhana memiliki makna yang mendalam, dan janji untuk bertemu kembali dengan orang yang telah pergi menciptakan rasa penghiburan.
Pencarian Kepuasan
Bagian keempat mencerminkan pencarian kepuasan dalam kehidupan dan kematian. "Petualangan menimbulkan muak / pada selera" menunjukkan kelelahan dari pengalaman hidup yang terus-menerus. Pencarian untuk menemukan perempuan sempurna di alam maut menjadi simbol dari usaha untuk menemukan kedamaian dan kepuasan akhir, meskipun ini tetap bersifat ideal dan tidak realistis.
Ketakutan dan Penyerahan
Bagian kelima menyampaikan ketakutan yang mendalam terhadap maut. "Bagimu orang tua ini / masih anak, Tuhan" mengekspresikan rasa takut dan penyerahan diri terhadap maut yang tidak bisa dihindari. Penggunaan metafora "sembunyi di kolong ranjang" menunjukkan usaha yang sia-sia untuk menghindari kematian, yang akhirnya tetap datang tanpa ampun.
Kesepian dan Pencarian
Dalam bagian keenam, kesepian dijadikan sebagai tema utama. "Kesunyian menggedor-gedor pintu hatiku" mencerminkan rasa kekosongan yang mendalam. Meskipun manusia berusaha mencari penghiburan dan kasih dari orang lain, kesepian tetap mengikutinya. Maut di sini tampak sebagai teman potensial yang bisa mengusir kesepian, menawarkan alternatif untuk hubungan manusia yang sering kali tidak memadai.
Penyesalan dan Keinginan
Bagian ketujuh menggambarkan penyesalan dan keinginan yang muncul menjelang akhir hidup. Keinginan untuk memahami lebih banyak tentang kebudayaan dan mengunjungi tempat-tempat baru, serta menjelajahi rahasia perempuan, menunjukkan bahwa ada banyak hal yang ingin diketahui dan dilakukan sebelum waktu berakhir. Penyesalan akan hal-hal yang tidak sempat dijalani menjadi inti dari perasaan ini.
Perempuan sebagai Ilham
Bagian kedelapan mengaitkan perempuan dengan kedua aspek kehidupan: sebagai ilham untuk hidup dan kematian. Perempuan di sini bukan hanya sebagai sumber kenikmatan tetapi juga sebagai penyebab keputusasaan. Gambaran perempuan yang mengajak tidur abadi menunjukkan paradoks antara kehidupan dan kematian yang saling berhubungan.
Penyerahan dan Akhir
Bagian terakhir menunjukkan penyerahan akhir dan hilangnya makna dalam kehidupan. "Langkah lelah tertampung / di kampung tak berhuni" mencerminkan akhir dari perjalanan hidup dan penyerahan diri tanpa pertanyaan lagi. Lagu anak yang surut dan bulan yang redup menggambarkan akhir yang damai dan penerimaan akhir dari segala sesuatu.
Puisi "Variasi pada Tema Maut" adalah sebuah karya yang mendalam dan kompleks, yang mengeksplorasi berbagai aspek kematian melalui lensa perasaan manusia. Setiap bagian memberikan pandangan yang berbeda, mulai dari kerinduan dan kekosongan hingga penyesalan dan penyerahan. Subagio Sastrowardoyo menyajikan maut tidak hanya sebagai akhir kehidupan tetapi sebagai tema yang mempengaruhi berbagai aspek eksistensi manusia, menyoroti kedalaman perasaan dan pemikiran yang berkisar di sekitar konsep kematian.
Karya: Subagio Sastrowardoyo
Biodata Subagio Sastrowardoyo:
- Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
- Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.