Waktu
Waktu menapaki tanah
Waktu bersijingkat, amat perlahan, di jalanan desaku
Jika saja diperkenankan,
Waktu pengin tinggal abadi padanya,
Waktu tak akan pergi darinya
Sedangkan di kota-kota Waktu melintas sesaat dan
bernapsu cepat-cepat minggat
Karena kota lupa padanya
Karena kota merengkuh Waktu,
mengepaknya dalam paket-paket
Karena kota menghinakannya,
menyamakannya dengan lempengan mata uang!
Waktu hinggap di pucuk-pucuk pepohonan,
menggerakkan dedaunan
Waktu bernyanyi di paruh burung-burung
Waktu mengaliri sungai-sungai, sampai ke seribu muara,
menjadikan samudera bergolak,
beribu samudera menjadi lingkaran sungai-sungai
Waktu berlompatan dari planet ke planet, dari galaksi ke galaksi
Pada langkahnya yang kedua ilmu pengetahuan manusia
mulai diejeknya, lantas pada langkah ketiga
kesombongan peradabanmu
akan sudah sangat memuakkannya
Waktu melewatimu, menyentuh tengkukmu dan
saat itu juga meninggalkanmu
Waktu mengucapkan salamnya kepadamu setiap
sepertakterhingga detik, menjadikanmu berusia setahun, dua
tahun, tiga tahun
Berusia setahun, dua tahun, tiga tahun,
tanpa pernah usia itu menjadi milikmu,
karena pertambahan kehadiran
Waktu padamu adalah pengurangan jatahnya atas hakmu
Waktu hadir di malam pesta ulang tahunmu,
untuk mengingatkan bahwa yang bisa ia ucapkan kepadamu
hanyalah selamat tinggal yang pedih
Waktu berpapasan dengan usiamu: Siapakah engkau?
Engkau adalah tegangan yang muncul
tatkala mereka bersalaman
Waktu bertegur sapa dengan usiamu:
Siapakah namamu? Ialah sekelebatan
bayangan yang melintas ketika sorot mata mereka bertemu
Waktu berderak-derak menghambur ke satu arah,
dan usiamu melaju berlari ke arah yang sebaliknya
Waktu senantiasa mengucapkan janji kepadamu
untuk bertemu pada suatu hari
di halaman rumah Tuhan, namun belum pernah didengarnya
sungguh-sungguh dari mulutmu jawaban atas janji itu
Waktu senantiasa mengulangi sumpah cintanya
Jika dari mulutmu ia cium bau harum karena kemuliaan hatimu,
maka dijunjungnya engkau
Jika dari badanmu ia hirup bau busuk
karena ambisi dan keserakahan,
maka usiamu menjadi sampah,
ia campakkan ke ruang-ruang kehinaan
1993
Sumber: Doa Mohon Kutukan (1995)
Analisis Puisi:
Puisi "Waktu" karya Emha Ainun Nadjib adalah karya reflektif yang mendalam tentang perjalanan waktu, kehidupan manusia, dan hubungan manusia dengan alam serta peradaban. Dengan bahasa simbolik dan naratif, Emha menghadirkan pandangan filosofis tentang sifat waktu yang abadi, sekaligus pedih dalam interaksinya dengan manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah waktu, kefanaan manusia, dan refleksi terhadap eksistensi serta peradaban. Puisi ini menekankan perbedaan pengalaman waktu di desa yang tenang dan kota yang cepat, serta bagaimana manusia sering salah menafsirkan atau menyalahgunakan waktu.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu dan interaksi manusia dengannya. Penyair menyoroti:
- Waktu yang bergerak perlahan di desa, mengalir alami bersama alam, dan seolah ingin abadi.
- Waktu di kota yang cepat, serba paket, dan disalahgunakan oleh manusia yang terlena oleh kesibukan dan ambisi.
- Kehidupan manusia yang diukur oleh waktu, termasuk usia yang bertambah namun tidak benar-benar dimiliki oleh manusia.
- Janji waktu yang abadi dan kesadaran manusia terhadap kefanaan serta pilihan moral—apakah hidup dijalani dengan kemuliaan hati atau keserakahan.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah kritik terhadap kesombongan peradaban dan ketidakpedulian manusia terhadap waktu yang sesungguhnya bernilai. Waktu bukan sekadar ukuran usia atau jam, melainkan medium yang menyentuh alam, manusia, dan peradaban. Kehadiran waktu mengingatkan manusia akan kefanaan, tanggung jawab moral, dan pentingnya hidup dengan hati yang mulia.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini kontemplatif, reflektif, sekaligus melankolis. Ada nuansa kekaguman terhadap keabadian waktu di alam, tetapi juga rasa pedih ketika manusia lalai, serakah, dan memperlakukan waktu secara salah. Kontras antara ketenangan desa dan hiruk-pikuk kota menciptakan dinamika antara harmoni dan keserakahan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual, auditori, dan simbolik:
- “Waktu hinggap di pucuk-pucuk pepohonan, menggerakkan dedaunan” menghadirkan imaji alam yang hidup dan harmonis.
- “Waktu berlompatan dari planet ke planet, dari galaksi ke galaksi” memberikan imaji kosmik yang luas, menekankan keabadian dan universalitas waktu.
- “Waktu hadir di malam pesta ulang tahunmu” menciptakan imaji emosional tentang kefanaan manusia dan momen perayaan yang dipenuhi kesadaran tentang waktu.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: Waktu digambarkan seolah hidup, bergerak, bersumpah, dan berinteraksi dengan manusia.
- Metafora: Usia manusia sebagai jatahnya waktu, yang bisa dijunjung atau dicampakkan tergantung sikap moral manusia.
- Hiperbola: Eksagerasi perjalanan waktu dari desa ke kota, dari bumi ke galaksi, menekankan keagungan dan dominasi waktu atas manusia.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan utama puisi ini adalah pentingnya kesadaran terhadap waktu, kehidupan, dan pilihan moral manusia. Emha Ainun Nadjib mengingatkan bahwa waktu terus bergerak, menyentuh setiap aspek kehidupan, dan menilai manusia berdasarkan sikap hati dan tindakan. Hidup yang dijalani dengan keserakahan akan menjadi sampah bagi sejarah, sedangkan kemuliaan hati akan dijunjung oleh waktu.
Puisi "Waktu" karya Emha Ainun Nadjib menekankan sifat waktu yang abadi, kosmik, dan sekaligus pedih dalam hubungannya dengan manusia. Melalui simbolisme desa, kota, alam, dan kosmos, puisi ini menghadirkan refleksi mendalam tentang kefanaan, moralitas, dan tanggung jawab manusia terhadap setiap detik kehidupannya. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung, menghargai waktu, dan menjalani hidup dengan kesadaran penuh.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
