Analisis Puisi:
Puisi “Windradi” karya Gunawan Maryanto merupakan karya kontemplatif yang kental dengan nuansa eksistensial dan spiritual. Dengan diksi sederhana namun penuh makna simbolik, penyair menampilkan sosok “aku lirik” yang memilih menjadi batu—sebuah lambang keheningan, keteguhan, dan kesadaran atas kefanaan. Puisi ini menghadirkan perenungan tentang diri, cinta, dan kehidupan yang terus bergerak menuju kesia-siaan, namun tetap dihayati dengan tenang dan pasrah.
Tema
Tema utama puisi ini adalah keheningan batin dan kesadaran akan kefanaan hidup. Gunawan Maryanto menggambarkan perjalanan batin seseorang yang menolak hiruk-pikuk dunia, memilih diam seperti batu, dan menyaksikan kehidupan yang terus menua. Dalam keheningan itu, muncul pemahaman bahwa segala sesuatu di dunia ini — cinta, waktu, dan tubuh — akan berakhir pada kesia-siaan.
Tema ini juga memuat sisi spiritual dan mistik, karena di dalam diam, tokoh lirik menemukan sesuatu yang “tak pernah mati”. Artinya, ada kesadaran bahwa di balik kefanaan, tersimpan kekekalan — entah berupa ruh, jiwa, atau kesadaran sejati.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang memilih diam dan merenungi makna hidup dalam kesunyian. Ia menyebut dirinya “batu” — simbol keteguhan sekaligus keheningan mutlak. Dalam larik awal:
“Sebut aku batu sebab kau tahu tak ada lagi suaraku tak kubagi cintaku bahkan kepadamu”
terlihat bahwa sang aku telah menutup diri dari keramaian dan relasi emosional. Ia tidak lagi berbagi cinta, bahkan kepada orang yang mungkin paling dekat dengannya. Keputusan itu bukan karena kebencian, tetapi karena kesadaran — bahwa segala sesuatu pada akhirnya “menjadi sia-sia”.
Pada bagian berikutnya, penyair menulis:
“dalam diam kuhayati apa yang tak pernah mati berdiri antara luar-dalam siang dan malam”
Bagian ini memperlihatkan pergulatan eksistensial: sang aku berada “antara luar-dalam, siang dan malam” — posisi liminal, di ambang batas antara dunia material dan spiritual. Ia menyadari keberadaan dirinya sebagai saksi dari perjalanan waktu yang tak pernah berhenti.
Puisi kemudian beralih kepada sosok “kau”, yang “berendam di telaga sumala”.
“selembar daun akan jatuh tepat di mulutmu sesuatu akan tumbuh menjadi setapak jalanku mencair. membahasimu.”
Bagian ini menghadirkan citra puitik yang lembut sekaligus metaforis. Sosok “kau” bisa ditafsirkan sebagai manusia lain, cinta, atau simbol kehidupan itu sendiri. Daun yang jatuh, air yang beriak, dan jalan yang terbentuk menandakan siklus abadi — dari kematian tumbuh kehidupan baru. Dengan demikian, puisi ini bukan hanya tentang penolakan terhadap dunia, melainkan juga penerimaan terhadap keterhubungan antara alam, manusia, dan waktu.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah pencarian makna di tengah kefanaan dan kesadaran akan keterbatasan manusia. Ketika penyair berkata, “tak ada lagi suaraku, tak kubagi cintaku”, ia sebenarnya tidak sedang menolak hidup, melainkan sedang menyadari bahwa segala perasaan manusiawi pada akhirnya bersifat sementara. Dalam diam dan keterasingan, justru ia menemukan sesuatu yang “tak pernah mati” — mungkin kesadaran spiritual, mungkin keabadian ruh.
Makna lain yang tersirat adalah penerimaan terhadap perubahan dan kehilangan. Larik “semua menua dan sia-sia” menunjukkan pandangan yang pasrah terhadap perjalanan waktu. Namun, di balik kepasrahan itu, ada juga harapan: daun yang jatuh dan sesuatu yang “tumbuh menjadi setapak jalanku” menandakan kelahiran baru — bahwa dari kefanaan selalu muncul kehidupan baru.
Puisi ini juga dapat dibaca sebagai refleksi eksistensial: manusia pada akhirnya akan menyatu dengan alam. Menjadi batu, menjadi air, menjadi jalan. Tidak lagi terikat pada ego atau keinginan, melainkan melebur ke dalam keseimbangan semesta.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi “Windradi” terasa hening, murung, tetapi juga khusyuk dan meditatif. Ada kesunyian yang dalam, namun bukan kesepian. Keheningan itu justru membawa kedamaian dan kesadaran. Kata-kata seperti “batu”, “diam”, “menua”, dan “sia-sia” menciptakan suasana kontemplatif yang mengajak pembaca berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia.
Namun di akhir, suasana itu bertransisi menjadi lembut dan penuh harapan, seperti dalam larik:
“selembar daun akan jatuh tepat di mulutmu sesuatu akan tumbuh...”
Nuansa ini membawa keseimbangan antara kematian dan kehidupan, antara keheningan dan gerak, antara kesia-siaan dan kelahiran kembali.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini dapat ditafsirkan sebagai ajakan untuk merenungi makna hidup dengan kesadaran dan ketenangan batin. Gunawan Maryanto ingin menyampaikan bahwa manusia sering terjebak dalam hiruk-pikuk cinta, ambisi, dan kesenangan, padahal semuanya akan berlalu dan menua. Dengan menerima keheningan dan diam, manusia bisa menemukan hakikat yang “tak pernah mati”.
Selain itu, puisi ini juga mengajarkan penerimaan terhadap perubahan alamiah. Daun yang jatuh dan tumbuh kembali menggambarkan siklus kehidupan. Manusia, seperti alam, juga harus belajar melepas — karena dari pelepasan itulah sesuatu yang baru bisa tumbuh.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji alam dan spiritual, yang membentuk kekuatan visual sekaligus batin:
Imaji visual:
- “Sebut aku batu” — menggambarkan kekakuan dan keteguhan.
- “Selembar daun akan jatuh / tepat di mulutmu” — membangun citra yang konkret, lembut, dan simbolik.
- “Telaga sumala” — menggambarkan kedalaman batin dan ketenangan air yang sunyi.
Imaji pergerakan:
- “Sesuatu akan tumbuh / menjadi setapak jalanku / mencair. membahasimu.”
- Gerak “mencair” dan “membasahi” memberikan kesan transisi dari diam menuju kehidupan.
Imaji spiritual:
- “Dalam diam kuhayati apa yang tak pernah mati” — menghadirkan kedalaman kontemplasi dan pencarian makna di luar batas fisik.
Majas
Gunawan Maryanto menggunakan sejumlah majas simbolik dan metaforis yang memperkaya makna puisi:
Metafora:
- “Sebut aku batu” adalah metafora tentang keheningan, keteguhan, dan penolakan terhadap dunia fana.
- “Telaga sumala” menjadi metafora bagi jiwa, kedalaman batin, atau tempat renungan spiritual.
Personifikasi:
- “Selembar daun akan jatuh tepat di mulutmu” — daun digambarkan seolah memiliki kehendak dan peran dalam kehidupan manusia.
Antitesis:
- “Berdiri antara luar-dalam, siang dan malam” — memperlihatkan kontradiksi yang mencerminkan keseimbangan hidup dan dualitas eksistensi.
Simbolisme:
- Air, daun, dan batu masing-masing menjadi simbol kehidupan, perubahan, dan keteguhan spiritual.
Puisi “Windradi” karya Gunawan Maryanto adalah meditasi puitik tentang keheningan, kefanaan, dan kesadaran. Dengan tema tentang ketenangan batin dan makna eksistensial, penyair mengajak pembaca merenungi perjalanan hidup yang tak terelakkan: semua akan menua dan sia-sia, namun di balik itu, ada sesuatu yang tak pernah mati — kesadaran, ruh, atau cinta sejati.
Melalui imaji alam yang lembut, majas simbolik, dan suasana meditatif, Gunawan Maryanto membangun puisi yang mengalir seperti doa diam. Dan ketika larik terakhir berbunyi, “menjadi setapak jalanku, mencair. membahasimu,” ia seolah menyampaikan bahwa hidup dan cinta, meski diam, tetap mengalir — perlahan, abadi, dan suci.
Puisi: Windradi
Karya: Gunawan Maryanto
Karya: Gunawan Maryanto
Biodata Gunawan Maryanto:
- Gunawan Maryanto lahir pada tanggal 10 April 1976 di Yogyakarta, Indonesia.
- Gunawan Maryanto meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2021 (pada usia 45 tahun) di Yogyakarta, Indonesia.
