Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Yang Tersisa di Secangkir Kopi (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi “Yang Tersisa di Secangkir Kopi” karya Tjahjono Widarmanto bercerita tentang dua orang yang pernah menjalin hubungan dekat, tetapi kini ....
Yang Tersisa di Secangkir Kopi

masih tersisa senyum dan ragu yang hambar
: sejarah selalu merayap pelan untuk dilupakan.

semalam, sehabis melarutkan malam dengan secangkir kopi
kita tak sempat berdoa agar aroma kopi bisa mengusir sepi

semalaman, kita menuduh kalender tak lagi peduli
: persis puisi pucat yang kabur dari wilayah bahasa.

secangkir kopi dan kita
saling mengintai siapa
lebih dahulu mematikan lampu
menipu cahaya menilap waktu
sebab kita adalah sepasang khianat
yang saling mengejar dan melupa kenangan
pada bibir yang pernah berciuman

: kita tak berdaya
tak sanggup mengekalkan apapun
sebait puisi atau kisah pemberontakan

yang tersisa di cangkir kopi cuma resah yang mengaduh lamat-lamat.

Sumber: Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Yang Tersisa di Secangkir Kopi” karya Tjahjono Widarmanto merupakan sajak reflektif tentang cinta, waktu, dan kenangan yang berangsur pudar. Dengan gaya tutur yang lembut namun sarat makna, Tjahjono menggambarkan pergulatan batin dua insan yang pernah berbagi keintiman, namun kini hanya tinggal sisa resah yang tertinggal di secangkir kopi. Puisi ini terasa sederhana di permukaan, tetapi menyimpan kedalaman emosional dan filsafat tentang kefanaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehilangan dan kefanaan kenangan. Tjahjono Widarmanto mengangkat tema tentang relasi manusia dengan waktu dan cinta yang tak mampu bertahan, meski pernah begitu kuat dan hangat. Secangkir kopi menjadi metafora sentral yang menggambarkan sisa-sisa kenangan dan rasa yang perlahan memudar.

Tema ini menegaskan bahwa dalam setiap hubungan, selalu ada yang tertinggal — bukan kebahagiaan atau kesempurnaan, melainkan resah yang tak terselesaikan.

Puisi ini bercerita tentang dua orang yang pernah menjalin hubungan dekat, tetapi kini terjebak dalam jarak dan kebisuan waktu. Mereka duduk bersama, melarutkan malam dengan kopi, namun tak lagi berbicara dengan kehangatan seperti dulu.

Baris “kita tak sempat berdoa agar aroma kopi bisa mengusir sepi” menunjukkan adanya keheningan yang menyakitkan — kebersamaan fisik yang tak lagi menyatukan batin. Kemudian, di bagian akhir, penyair menegaskan bahwa yang tersisa dari semua itu hanyalah “resah yang mengaduh lamat-lamat”, semacam kegelisahan yang samar namun terus hidup.

Dengan demikian, puisi ini menceritakan perpisahan emosional yang tak diucapkan, tetapi terasa begitu nyata.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang kerapuhan hubungan manusia di hadapan waktu dan kenangan. Tjahjono ingin menyampaikan bahwa tidak ada yang benar-benar abadi, bahkan cinta atau keintiman yang dulu hangat pun bisa memudar menjadi hanya aroma samar di dasar cangkir.

Kalimat “sejarah selalu merayap pelan untuk dilupakan” mengandung makna eksistensial: bahwa waktu tak pernah berhenti menelan setiap kisah, betapapun indahnya. Sementara baris “kita tak berdaya / tak sanggup mengekalkan apapun” menegaskan keterbatasan manusia untuk mempertahankan sesuatu — baik cinta, puisi, maupun pemberontakan batin.

Puisi ini juga menyiratkan pesimisme lembut terhadap makna perjuangan, baik dalam cinta maupun kehidupan. Pada akhirnya, semua yang besar dan membara hanya menyisakan resah dan kenangan samar.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, sunyi, dan reflektif. Nada lirih terasa sejak bait pertama, dengan kata-kata seperti “ragu yang hambar”, “tak sempat berdoa”, hingga “resah yang mengaduh lamat-lamat”.

Ada keheningan yang mencekam namun penuh perenungan. Penyair tidak menjerit atau meratap, melainkan menerima kehilangan dengan pasrah. Suasana seperti ini mencerminkan kedewasaan emosional — kesedihan yang tidak meledak, tetapi mengendap dalam hati.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah bahwa segala sesuatu dalam hidup bersifat sementara, termasuk cinta, kenangan, dan perjuangan batin. Tjahjono seolah mengingatkan pembaca bahwa manusia tidak bisa menahan waktu atau memaksa sesuatu untuk abadi.

Namun, justru dalam kefanaan itu tersimpan nilai kemanusiaan yang dalam: belajar menerima kehilangan dan menghargai momen kecil yang pernah ada. Puisi ini juga mengandung kritik halus terhadap sikap manusia yang ingin “mengekalkan” sesuatu — padahal hakikat kehidupan adalah perubahan dan pelupaan.

Imaji

Puisi ini sarat imaji sensual dan emosional yang berpusat pada pengalaman sehari-hari — secangkir kopi dan malam yang sepi. Beberapa imaji kuat yang muncul antara lain:
  • “sehabis melarutkan malam dengan secangkir kopi” — menghadirkan gambaran suasana sunyi dan reflektif di malam hari.
  • “kita menuduh kalender tak lagi peduli” — menciptakan imaji personifikasi waktu yang berhenti memberi makna.
  • “secangkir kopi dan kita saling mengintai siapa lebih dahulu mematikan lampu” — memperlihatkan ketegangan emosional antara dua orang yang terpisah rasa meski masih bersama.
  • “yang tersisa di cangkir kopi cuma resah yang mengaduh lamat-lamat” — imaji penutup yang kuat, menghadirkan aroma, suara, dan suasana yang berpadu dalam satu simbol kesepian.
Imaji-imaji ini membentuk lanskap batin yang suram namun indah, penuh kepekaan terhadap waktu dan kenangan.

Majas

Tjahjono Widarmanto menggunakan majas metafora, personifikasi, dan repetisi untuk memperkuat nuansa melankolis dalam puisinya:

Metafora:
  • “sejarah selalu merayap pelan untuk dilupakan” — menggambarkan waktu dan kenangan yang terus bergerak menuju lupa.
  • “secangkir kopi” menjadi metafora dari kehidupan dan cinta yang telah tersisa hanya dalam bentuk kenangan pahit.
Personifikasi:
  • “kalender tak lagi peduli”, “puisi pucat yang kabur dari wilayah bahasa” — benda dan konsep abstrak diberi sifat manusia untuk menegaskan hilangnya makna dalam rutinitas dan komunikasi.
Repetisi dan paralelisme:
  • Struktur pengulangan pada frasa seperti “semalam”, “semalaman”, dan “secangkir kopi” menciptakan ritme lirih dan mengikat suasana nostalgia.
Majas-majas ini bekerja lembut, tidak bombastis, tetapi menyatu alami dalam bahasa sehari-hari yang dimaknai ulang secara puitik.

Puisi “Yang Tersisa di Secangkir Kopi” karya Tjahjono Widarmanto adalah refleksi mendalam tentang keterbatasan manusia dalam mempertahankan cinta dan kenangan di hadapan waktu. Dengan simbol sederhana — secangkir kopi — penyair berhasil menghadirkan kompleksitas rasa: antara nostalgia, kehilangan, dan penerimaan.

Tema tentang kefanaan diekspresikan lewat diksi lembut dan imaji yang akrab, membuat puisi ini terasa personal sekaligus universal. Tjahjono tidak sekadar menulis tentang cinta yang berakhir, tetapi juga tentang bagaimana manusia belajar berdamai dengan kehilangan dan menemukan kebijaksanaan di balik rasa pahit yang tertinggal — seperti ampas kopi di dasar cangkir yang menyimpan aroma masa lalu.

Puisi ini menegaskan bahwa yang tersisa dari hidup bukanlah kemegahan atau kemenangan, melainkan resah lembut dan kenangan samar yang terus berdenyut di hati.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Yang Tersisa di Secangkir Kopi
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.