Yogyakarta, Once Upon a Time (3)
untuk ADW & SEA
Hari itu aku bangun pagi. Sudah lama aku merindukan Jadah Tempe, Kripik Paru, Sate Klathak, Gudeg Kendil, Lodeh Terong, atau Brongkos. Selama ini aku diajar hidup serba cepat. Keluarga terbiasa keluar masuk Kentucky, McD, JCo, Hoka Hoka Bento atau Tepanyaki. Bahkan tak hanya bisa makan cepat, kami juga terbisa makan lahap sambil asyik bercakap. Sehingga nasi, chicken, donat, french fries atau apa saja yang kami makan terbiasa dikunyah dalam mulut bersama kata-kata. Begitu juga gagasan dan hasil renungan pun selalu kami kunyah bersama dan seketika. Makan menjadi pekerjaan berat yang menguras energi. Begitu beratnya, sehingga selama –dan terutama setelah— makan, tubuh kami pun berkeringat.
Jadi, hari itu aku bangun pagi; dan ingin benar makan gule kental dengan kluwek yang disebut Brongkos. Dari jauh, warung Brongkos itu terasa hangat. Aroma got menyengat. Penjualnya sudah tua. Bangku-bangkunya tua. Di atas plafon, ada sarang laba-laba. Di bawah meja, dekat irisan daging sengkel, ada seekor kucing mengintai. Tikus kecil berlarian dekat gule, semut berkerumun dekat potongan buncis dan tahu. Bangku berkeriut ketika aku duduk. Tapi seperti Yu Mul penjual Brongkos itu, aku cuek saja.
Jadi, hari itu aku menghabiskan dua piring nasi, semangkuk Brongkos dan segelas teh Nasgitel. Bahagianya hatiku, di mulut dan di perut, Brongkos, nasi dan Nasgitel itu tahu tempatnya sendiri-sendiri. Mereka tak perlu merebut kebahagiaanku cepat-cepat dengan mencampurkan kata-kata, impian dan gagasan dalam kunyahan mulutku. Aroma kemiri, asam jawa, lengkuas, jahe dan ketumbar masuk ke dalam perut seperti nyanyian. Pelahan dan berirama.
Sekarang sambil melonggarkan gesper, aku ingin bercerita padamu tanpa buru-buru. Kata Yu Mul: Hidup tak perlu grusa-grusu. Sareh Pikoleh. Orang sabar justru akan memperoleh.
Yogyakarta, 11 Januari 2011
Sumber: Sepasang Bibir di Dalam Cangkir (2011)
Catatan:
Grusa-grusu = tergesa-gesa.
Analisis Puisi:
Puisi "Yogyakarta" karya Kurniawan Junaedhie menghadirkan pengalaman sehari-hari yang sederhana namun sarat makna tentang kehidupan, kuliner, dan filosofi kesabaran. Dengan bahasa naratif yang mudah dicerna, puisi ini mengajak pembaca merenungi hubungan antara ritme hidup modern dan kenikmatan sederhana yang sering terlupakan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kenikmatan hidup sederhana, kesabaran, dan pengalaman budaya lokal. Kurniawan Junaedhie menekankan pentingnya menghargai hal-hal kecil, seperti makanan tradisional, dan menemukan kebahagiaan melalui kesadaran serta perlambatan ritme hidup.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman pribadi narator menikmati kuliner khas Yogyakarta setelah terbiasa hidup dengan gaya modern yang cepat dan praktis. Narator membandingkan kebiasaan makan cepat di restoran internasional dengan pengalaman makan perlahan di warung tradisional yang hangat dan penuh aroma rempah. Selain itu, puisi ini juga bercerita tentang penghayatan terhadap kesabaran dan menikmati momen dengan penuh kesadaran, yang disimbolkan melalui makan Brongkos dan interaksi sederhana dengan lingkungan sekitar.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah penghargaan terhadap ritme hidup yang lebih lambat dan kesederhanaan. Narator menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada kecepatan atau kuantitas, melainkan pada kesadaran akan momen yang sedang dialami. Filosofi sareh pikoleh—hidup tak perlu tergesa-gesa, orang sabar akan memperoleh—menjadi inti pesan yang tersirat dalam puisi ini. Selain itu, puisi ini menyinggung perbedaan antara kehidupan modern yang serba cepat dan kearifan lokal yang menekankan kesabaran serta keterikatan dengan budaya tradisional.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini hangat, santai, dan penuh aroma nostalgia. Pembaca diajak merasakan lingkungan warung yang sederhana namun hidup: aroma rempah, keberadaan kucing dan tikus, serta bangku tua yang berderit. Suasana ini menekankan kenikmatan dalam kesederhanaan dan memberi rasa nyaman, intim, dan perlahan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji sensorik:
- “Aroma kemiri, asam jawa, lengkuas, jahe, dan ketumbar masuk ke dalam perut seperti nyanyian” menimbulkan imaji olfaktori dan gustatori yang kuat.
- Gambaran tentang bangku tua, sarang laba-laba, dan tikus kecil berlarian menciptakan imaji visual yang hidup, menggambarkan realitas sehari-hari yang sederhana namun autentik.
- Perbandingan antara makan cepat di restoran modern dan makan perlahan di warung menciptakan imaji ritme hidup yang berbeda, menekankan ketenangan dan kesadaran.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “Brongkos, nasi dan Nasgitel itu tahu tempatnya sendiri-sendiri” memberikan kesan bahwa makanan memiliki karakter dan kesadaran.
- Metafora: Pengalaman makan menjadi metafora untuk filosofi hidup: menikmati proses, bukan terburu-buru pada hasil.
- Repetisi: Pengulangan “hari itu aku bangun pagi” memperkuat ritme naratif dan kesadaran akan momen sederhana.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan yang disampaikan puisi ini adalah pentingnya kesabaran, menikmati momen, dan menghargai kesederhanaan hidup. Kurniawan Junaedhie mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam hal-hal sederhana dan ritme hidup yang perlahan, bukan dalam kesibukan dan kecepatan yang menuntut segalanya secara instan.
Puisi "Yogyakarta" menunjukkan kemampuan Kurniawan Junaedhie dalam menghadirkan pengalaman sehari-hari sebagai refleksi kehidupan yang lebih luas. Melalui makanan, aroma, dan ritme makan yang lambat, pembaca diajak merenungi filosofi hidup sederhana dan menenangkan diri, serta menemukan kebahagiaan dalam kesabaran dan kesadaran akan momen yang sedang dialami.
Karya: Kurniawan Junaedhie
Biodata Kurniawan Junaedhie:
- Kurniawan Junaedhie lahir pada tanggal 24 November 1956 di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.
