Yogyaku
Candradimuka hanya kawah panas seribu panas
tapi Yogyaku apimu membekukan dinginmu memanggang
Di kawah aku mengolah baja namun engkau
menantang keabadianku di antara pijar matahari dan
malaikat salju
Di pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar
detak jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang sebenarnya
Tidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu
karena tahu sang Sutradara hanya menorehkan sepi
Yogyaku senyumanmu linuhung di belakang
punggung beribu orang yang mengigau pernah ketemu dan
bercakap-cakap denganmu
Anak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratus
gelar, menabur janji, menancapkan papan-papan ikrar
dan menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalai
Kata-kata macet di tengah pidato silang tindih,
nilai-nilai undur diri kepadamu di tengah program bingung
dan gerak yang serba rancu, ruh anak-anakmu terguncang
oleh kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atas
danau-danau jalan rayamu
Kemudian sekian ratus di antara mereka,
mati rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya tanpa mereka
pernah kepadamu membukakannya
Yogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagai
hamparan langit yang mahasabar, Yogyaku engkau
memaafkan para pelacur dan maling di jalan dan di singgasana
Di jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji
sunyi, di singgasana engkau menaruh rasa iba hati, karena jika
engkau dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya engkau tak
kan pernah bisa digadaikan atau dicuri
Yogyaku engkau diangkut dari sungai masa silam
dengan truk hari depan, Yogyaku engkau direbut dari masa
datang dan tergesa dilempar ke museum ke alam abad silam,
waktu tak di dalam ruang, juga tak di luarnya,
tak di sela garis batasnya ...
1984
Sumber: Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
Analisis Puisi:
Puisi "Yogyaku" karya Emha Ainun Nadjib merupakan karya yang padat dengan simbol, refleksi sejarah, dan rasa cinta terhadap kota Yogyakarta. Dengan bahasa yang kaya imaji dan struktur bebas, puisi ini tidak hanya menghadirkan deskripsi fisik kota, tetapi juga menyingkap keabadian budaya, nilai-nilai sosial, dan jiwa manusia yang hidup di dalamnya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah hubungan antara manusia, kota, dan waktu. Kota Yogyakarta digambarkan sebagai entitas hidup yang menyimpan sejarah, mimpi, penderitaan, dan keabadian. Kota ini menjadi saksi bisu bagi kehidupan warganya, simbol ketahanan, dan sumber inspirasi spiritual bagi penyair.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan pengalaman dan pengamatan penyair terhadap Yogyakarta, mulai dari panasnya kehidupan sehari-hari, perjuangan warga, hingga keheningan yang memberi keteduhan batin. Penyair menggambarkan kota sebagai entitas yang mampu memeluk sejarah, merawat generasi, memaafkan ketidakadilan, dan menghadirkan ketenangan meski di tengah kekacauan.
Beberapa hal yang disorot dalam puisi ini:
- Sejarah dan tragedi: Banyak warga yang “mati rahasia”, simbol kehilangan atau penderitaan yang tak terlihat secara kasat mata.
- Perjuangan dan dinamika sosial: Jalan-jalan, gang sempit, program pemerintah, dan aktivitas manusia digambarkan penuh kontradiksi, namun tetap diwadahi oleh Yogyakarta.
- Keabadian dan pengampunan: Kota ini digambarkan mampu memaafkan “pelacur dan maling”, menandai kesabaran dan keterbukaan terhadap kehidupan manusia.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah penghormatan terhadap Yogyakarta sebagai simbol ketahanan budaya dan moralitas. Kota ini bukan hanya ruang fisik, tetapi juga ruang batin dan sejarah yang memelihara ingatan kolektif. Penyair menegaskan bahwa meski dunia berubah, Yogyakarta tetap menjadi sumber ketenangan, keabadian, dan pengakuan atas sejarah manusia yang tinggal di dalamnya.
Puisi ini juga menyingkap konflik antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, di mana kota menjadi medium yang menyeimbangkan waktu tanpa kehilangan jati dirinya.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi terasa campuran antara ketegangan, keheningan, dan kekaguman:
- Ketegangan hadir melalui gambaran “candradimuka”, “kawah panas”, dan “anak-anakmu terguncang oleh kendaraan yang kesurupan”, yang memberi nuansa penuh tantangan dan dinamika kehidupan.
- Keheningan muncul lewat istilah “Tidur abadi, sunyi segala sunyi” dan kesabaran kota menghadapi penderitaan manusia.
- Kekaguman tampak dari cara penyair menulis Yogyakarta sebagai entitas yang mampu memeluk sejarah dan warga dengan pengampunan dan keteduhan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya menghargai sejarah, budaya, dan ketahanan moral suatu kota. Yogyakarta digambarkan sebagai model kota yang mampu mengayomi warganya, menyeimbangkan kekacauan dan ketertiban, serta menjaga nilai-nilai spiritual di tengah dinamika kehidupan modern.
Selain itu, puisi ini juga mendorong pembaca untuk menghargai waktu, kesabaran, dan keberlanjutan budaya, karena kota tidak hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat hidupnya kenangan, nilai, dan keabadian.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual, auditori, dan simbolik:
- Visual: “Candradimuka hanya kawah panas seribu panas”, “anak-anak kecil menabur janji, menancapkan papan-papan ikrar”. Imaji ini menghadirkan kota sebagai ruang fisik yang hidup dan sarat pengalaman.
- Auditori: “kata-kata macet di tengah pidato silang tindih”, menghadirkan suara hiruk-pikuk sosial yang menekan, namun masih ditata oleh keteduhan kota.
- Simbolik: Yogyakarta diibaratkan sebagai entitas yang memaafkan, menahan waktu, dan menyeimbangkan masa lalu dan masa depan—menjadi simbol ketahanan dan pengampunan.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:
- Personifikasi: Kota Yogyakarta digambarkan sebagai makhluk hidup yang bisa memaafkan, menanam janji, dan menampung sejarah.
- Metafora: “Tidur abadi, sunyi segala sunyi” menggambarkan ketenangan spiritual yang diberikan kota.
- Repetisi: Pengulangan kata “Yogyaku” menegaskan rasa cinta dan kekaguman penyair terhadap kota.
- Kontras / Antitesis: Perbedaan antara panas kehidupan dan keteduhan kota, kesurupan kendaraan dan senyuman linuhung kota, memperkuat pesan tentang dinamika dan keseimbangan.
Puisi "Yogyaku" karya Emha Ainun Nadjib adalah karya reflektif yang memperlihatkan cinta penyair terhadap kota, warga, dan sejarahnya. Dengan imaji kuat, majas yang kreatif, dan nuansa yang kompleks, puisi ini menghadirkan Yogyakarta sebagai simbol keabadian, pengampunan, dan ketahanan moral.
Melalui puisi ini, pembaca diajak merenungkan hubungan antara manusia dan kotanya: bagaimana sejarah, penderitaan, perjuangan, dan budaya saling terkait, serta bagaimana kota menjadi saksi sekaligus pelindung nilai-nilai kehidupan. Yogyakarta bukan hanya ruang geografis, tetapi juga ruang batin yang memayungi kehidupan warganya, menampung sejarah, dan tetap abadi di tengah arus waktu yang terus bergerak.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
