Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sajak Perjalanan (Karya Djoko Saryono)

Puisi “Sajak Perjalanan” karya Djoko Saryono adalah karya reflektif yang menggambarkan perjalanan

Sajak Perjalanan

//1//
perkenankan aku, ya, manisku
membangun kubu di ayat-ayatmu
pertahanan pungkasan bagi jiwa
ketika berkemas senjakala usia
menyodorkan berkas catatan purba:
perjanjian sebelum turun ke dunia
perkenankan aku, ya, manisku

//2//
perkenankan aku, ya, manisku
mencipta teduh hutan lestari
dari seratus empat belas suratmu padaku
peristirahatan terakhir bagi
kekalahan yang selalu di ujung penaku sendiri
perkenankan aku, ya, manisku

//3//
perkenankan aku, ya, manisku
merenangi deras arus sungai janjimu
yang berhulu di ayat-ayat kitab suci
dan bermuara di syair samudra surgawi
sebelum waktu membaca kitab nasib ini
yang tersimpan di napasku sendiri
perkenankan aku, ya, manisku

//4//
perkenankan aku, ya, manisku
mengarung luas laut berbatas cakrawala
yang senantiasa terjelma dari sabdamu
di antara deru nafsu ekonomi
yang terjaja di supermarket,
fastfood, dan plaza-plaza di kota
perkenankan aku, ya, manisku

Malang, 1995

Sumber: Arung Diri (2013)

Analisis Puisi:

Puisi “Sajak Perjalanan” karya Djoko Saryono memiliki tema tentang pencarian spiritual dan perjalanan batin manusia menuju makna kehidupan sejati. Melalui ungkapan religius dan simbol-simbol puitis, penyair menggambarkan pergulatan antara jiwa dan dunia modern yang materialistis.

Puisi ini menyoroti bagaimana manusia, di tengah hiruk-pikuk modernitas, berusaha kembali kepada sumber spiritualitas — kepada “ayat-ayat” dan “sabda” yang menjadi sandaran batin.

Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang melakukan perjalanan batin menuju kedamaian dan keabadian. Ia berbicara kepada sosok yang dipanggil “manisku,” yang dapat dimaknai sebagai Tuhan, kitab suci, atau simbol cinta ilahi.

Dalam setiap bagian (//1// hingga //4//), penyair memohon izin untuk melakukan sesuatu yang bersifat rohani:
  • “membangun kubu di ayat-ayatmu” — artinya ingin berlindung dalam firman Tuhan.
  • “mencipta teduh hutan lestari dari seratus empat belas suratmu padaku” — mengacu pada 114 surat dalam Al-Qur’an, melambangkan perlindungan spiritual dari ajaran ilahi.
  • “merenangi deras arus sungai janjimu” — simbol perjalanan iman yang mengalir dari wahyu ke kehidupan.
  • “mengarung luas laut berbatas cakrawala” — perjalanan manusia di dunia modern, di tengah godaan materi dan nafsu ekonomi.
Puisi ini menjadi refleksi religius seorang penyair yang mencoba menjaga kemurnian jiwa di tengah gempuran zaman yang serba duniawi.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari ini adalah ajakan untuk menemukan kembali spiritualitas dan makna hidup sejati. Djoko Saryono menyampaikan pesan bahwa hidup adalah perjalanan yang panjang dan melelahkan, namun pada akhirnya setiap manusia akan mencari perlindungan di “ayat-ayat” — simbol firman Tuhan atau kebenaran hakiki.

Penyair juga menyinggung kegelisahan zaman modern. Baris “di antara deru nafsu ekonomi / yang terjaja di supermarket, fastfood, dan plaza-plaza di kota” menjadi kritik halus terhadap gaya hidup konsumtif yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhan.

Di balik itu, penyair mengajak pembaca untuk kembali pada nilai spiritual, karena hanya dengan itu manusia dapat menemukan makna sejati dari perjalanan hidupnya.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi terasa reflektif, religius, dan kontemplatif. Ada nuansa ketenangan dan kerendahan hati dalam setiap permohonan: “perkenankan aku, ya, manisku.”

Meski berisi kegelisahan terhadap dunia modern, puisi ini tetap menghadirkan suasana damai — seolah penyair sudah menerima bahwa perjalanan hidup adalah bagian dari ujian menuju kebijaksanaan dan kesucian jiwa.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa manusia tidak boleh kehilangan arah spiritual di tengah kehidupan modern. Djoko Saryono menegaskan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan pencarian makna rohani.

Melalui simbol “ayat-ayat,” “sungai janji,” dan “laut berbatas cakrawala,” penyair ingin mengatakan bahwa kehidupan sejati bukan sekadar pencapaian materi, tetapi perjalanan menuju Tuhan dan kebijaksanaan batin.

Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan tentang kerendahan hati dan kesadaran akan kefanaan — bahwa setiap manusia harus bersiap ketika “waktu membaca kitab nasib ini,” saat akhir kehidupan tiba.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji religius dan alamiah yang menggambarkan kedalaman spiritual:
  • “membangun kubu di ayat-ayatmu” menghadirkan imaji perlindungan dan ketenangan di dalam firman Tuhan.
  • “mencipta teduh hutan lestari dari seratus empat belas suratmu padaku” menimbulkan imaji visual tentang hutan suci — teduh, hijau, dan abadi — tempat jiwa beristirahat.
  • “merenangi deras arus sungai janjimu” menampilkan imaji gerak dan arus kehidupan yang terus mengalir menuju muara surgawi.
  • “mengarung luas laut berbatas cakrawala” memberi gambaran betapa luas dan tak terbatasnya perjalanan manusia dalam hidup dan iman.
Setiap imaji berfungsi bukan hanya untuk memperindah, tetapi juga memperdalam makna spiritual puisi.

Majas

Djoko Saryono menggunakan beberapa majas untuk memperkuat makna puitis dan religius puisi ini:
  • Majas Metafora – Seluruh puisi dibangun dengan metafora perjalanan spiritual. Misalnya, “sungai janjimu” sebagai lambang iman dan “laut berbatas cakrawala” sebagai lambang kehidupan dunia.
  • Majas Personifikasi – “sabdamu” dan “ayat-ayatmu” digambarkan seolah-olah memiliki daya hidup yang bisa membimbing dan menenangkan manusia.
  • Majas Repetisi – Kalimat “perkenankan aku, ya, manisku” diulang di setiap bagian untuk mempertegas kerendahan hati dan sikap doa penyair kepada Tuhannya.
  • Majas Simbolik – “seratus empat belas suratmu” jelas merupakan simbol dari 114 surat dalam Al-Qur’an, mewakili kesempurnaan wahyu dan perlindungan spiritual.
Puisi “Sajak Perjalanan” karya Djoko Saryono adalah karya reflektif yang menggambarkan perjalanan spiritual manusia dalam dunia modern. Dengan bahasa lembut, religius, dan simbolik, penyair mengajak pembaca untuk kembali merenungi hakikat hidup, menimbang ulang arah perjalanan, dan menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk materialisme.

Setiap baitnya adalah doa dan perenungan — tentang bagaimana manusia, di ujung senjakala usia, tetap mencari jalan pulang kepada Tuhan melalui “ayat-ayat,” “sabda,” dan “janji” yang abadi.

Djoko Saryono
Puisi: Sajak Perjalanan
Karya: Djoko Saryono

Biodata Djoko Saryono:
  • Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.
© Sepenuhnya. All rights reserved.