Syair Heran
(1)
Aku mendengar engkau berkata tentang kemiskinan
Aku mendengar dengan manisnya engkau berjanji
akan mengentaskan orang-orang
dari kemiskinan mereka
Hatiku lega, meskipun dengan kepercayaan yang
belum sepenuhnya: sesudah 25 tahun, akhirnya
pembangunan yang sejati (mudah-mudahan) dimulai juga
(2)
Tetapi kalau ada seseorang yang kelaparan
dan hingga larut malam tak sejumput
makananan pun ia berhasil dapatkan
Kepada siapakah sebaiknya ia mengeluh? Pintu
rumah siapakah yang boleh ia ketuk?
Kantor manakah yang pernah berpikir untuk
membuka diri terhadapnya?
Orang yang kelaparan, apakah seyogyanya datang
mengadukan keadaannya ke Dinas Sosial?
Ke Kantor Kementerian Dalam Negeri? Atau
mungkin lebih ke Majlis Ulama?
Orang yang sedih dan tidak sanggup membeli
keriangan, orang yang sakit dan tak punya
biaya untuk membeli kesembuhan, ke manakah
harus pergi?
Biasanya mereka bertamu ke rumah Tuhan, tetapi
Tuhan menjawab keluhan mereka: “Lho,
hal-hal seperti itu sudah Kumandatkan kepada
para khalifahKu untuk menanganinya. Alam
anugerahKu telah Kuhamparkan secara
sangat berkecukupan.”
Orang-orang yang lapar, sakit dan kesepian itu
lantas menangis, tetapi adakah pasal dalam
buku hukum atau dalam garis-garis besar
haluan kebangsaan ini yang mengharuskan
seseorang mendengarkan tangis mereka?
Mungkin ada kawan, sahabat-sahabat karib atau
tetangga yang pasti bermurah hati memberi
mereka makan, menghibur hati mereka serta
menyembuhkan sakit mereka
Tetapi apakah sahabat dan para tetangga
bertanggungjawab atas kelaparan mereka?
Dan kalau jumlah orang yang kelaparan, yang
sakit dan kesepian ternyata beribu-ribu,
bahkan berjuta-juta – adakah lembaga yang
bertugas untuk merasa malu? Apakah NU dan
Muhammadiyah bertanggungjawab atas keadaan
orang-orang itu? Bisa jenakkah para
Menteri duduk di kursinya?
(3)
Sangat sukar dipahami bagaimana seseorang bisa
tentetam menjadi pemimpin, sedang
di hadapannya beratus orang kehilangan
sawah nafkahnya demi satu lobang kecil
untuk bola mainan kanak-kanak yang bernama golf
Sangat tidak masuk akal bagaimana masih ada
kata-kata yang bisa muncul dengan mantap
dari mulut seorang pemimpin, tatkala
berjuta-juta orang membayarkan nasibnya
untuk kesejahteraan sejumlah kecil
orang-orang sebangsanya sendiri
Sangat tidak bisa dipercaya bahwa mungkin ada
Menteri yang dipilih karena hatinya tuli
atau karena mata batinnya rabun
Namun juga sangat menakjubkan, bahwa ada rakyat
di suatu negeri, yang memiliki pribadi-
pribadi sedemikian kuat, sehingga ketika
seluruh hidupnya dirampok, mereka tetap
tersenyum dan ikhlas
Para malaikat menegur: “Betapa indahnya
keikhlasan, namun bukan di situ tempatnya.”
(4)
Sangatlah tidak nyaman bahwa terkadang kita
tidak punya kemungkinan untuk
menghalus-haluskan kata
Bangsa ini memiliki ribuan cara untuk bersopan
santun dan menutup-nutupi
Namun hendaknya ada satu hari khusus untuk
berkata apa adanya: misalnya bahwa negeri
ini terlalu banyak maling
Bahwa kita adalah masyarakat miskin yang setiap
(saat) mengintip kemungkinan untuk maling
Agak memalukan bahwa ternyata yang kita pilih
adalah kemiskinan
Sedemikian seriusnya kemiskinan kita
sehingga kita membutuhkan berpuluh
rumah, beratus perusahaan, berjenis-jenis mobil
Semakin tinggi tumpukan kekayaan kita,
semakin serius tingkat kemiskinan kita
Sebab tanda bahwa seseorang miskin ialah
apabila ia butuh
Tanda bahwa seseorang itu melarat, ialah
jika terbukti ia serakah
Tanda bahwa seseorang itu fakir, ialah
jika ia bernafsu untuk merampok,
memonopoli, merebut apa saja yang bukan miliknya
Adapun orang kaya tak terdorong untuk
melakukan hal demikian
Karena hanya orang kaya yang bisa kenyang
oleh kesederhanaan, yang sanggup
memberikan apa saja tanpa segan
tanpa rasa eman
(5)
Jadi, seingatku kita sendirilah
yang merancang kemiskinan
Kemiskinan mutlak berjuta-juta orang
serta kemiskinan yang lebih absolut
lagi dari jiwa kita sendiri
Setahuku kita sendiri
yang menciptakan kesenjangan
Kepada Tuhan bersikap penuh kesombongan,
kepada rakyat kecil penuh sikap merendahkan
Seingatku kita sendiri yang menyelenggarakan
penggusuran-penggusuran
Setahuku kita sendiri yang tak kunjung henti
men-juklak-juknis-kan keserakahan
1993
Sumber: Doa Mohon Kutukan (1995)
Analisis Puisi:
Emha Ainun Nadjib, atau yang lebih dikenal dengan Cak Nun, merupakan salah satu penyair sekaligus pemikir yang karya-karyanya kerap memotret realitas sosial-politik bangsa. Puisi “Syair Heran” adalah salah satu karya pentingnya yang sarat dengan kritik sosial, kemanusiaan, dan refleksi moral. Dengan gaya tutur yang lugas dan menyentuh, Cak Nun menghadirkan suara hati rakyat yang sering terpinggirkan.
Tema Puisi
Tema utama puisi ini adalah kemiskinan struktural dan ketidakadilan sosial. Cak Nun menyoroti kesenjangan antara janji pembangunan dan kenyataan di lapangan. Ia menyinggung betapa rakyat kecil yang lapar, sakit, dan menderita sering kali tidak memiliki tempat untuk mengadu, sementara para pemimpin justru hidup dalam kenyamanan.
Selain itu, tema sampingan yang menguat adalah kritik terhadap kepemimpinan dan moral bangsa. Puisi ini mempertanyakan hati nurani pemimpin yang bisa tenang meskipun rakyat sengsara, serta mengingatkan bahwa kemiskinan bukan hanya materi, melainkan juga kemiskinan jiwa: kerakusan, keserakahan, dan kesombongan.
Puisi ini bercerita tentang realitas kehidupan rakyat kecil yang dilanda kemiskinan dan keterpinggiran. Dari bait ke bait, Cak Nun menggambarkan:
- Bagaimana janji-janji pengentasan kemiskinan terdengar manis, tetapi belum dirasakan nyata oleh rakyat.
- Penderitaan orang-orang lapar, sakit, dan kesepian yang tak tahu harus mengadu kepada siapa.
- Pertanyaan tentang tanggung jawab negara, pemerintah, dan lembaga-lembaga masyarakat atas penderitaan rakyat.
- Ironi para pemimpin yang tetap bisa hidup tenteram meski rakyat kehilangan nafkah demi kepentingan segelintir orang kaya.
- Kritik terhadap keserakahan yang justru melahirkan kemiskinan baru, bahkan di tengah tumpukan kekayaan.
Dengan kata lain, puisi ini bercerita tentang jeritan nurani rakyat dan kekecewaan terhadap sistem yang gagal menunaikan amanat keadilan.
Makna Tersirat dalam Puisi
Makna tersirat yang paling kuat adalah bahwa kemiskinan bukan semata-mata akibat takdir, melainkan hasil dari keserakahan dan sistem yang tidak adil. Cak Nun ingin menunjukkan bahwa bangsa ini secara sadar atau tidak, telah merancang sendiri kemiskinan dan kesenjangan sosialnya.
Selain itu, makna lain yang muncul adalah teguran moral: rakyat boleh ikhlas dan sabar, tetapi ikhlas yang salah tempat justru menormalkan ketidakadilan. Tuhan sudah memberikan anugerah yang cukup, tetapi manusia sendiri yang menciptakan kerusakan dengan kerakusan.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tercermin dalam puisi ini adalah kritik yang getir namun penuh kejujuran. Ada nada keheranan, kekecewaan, dan kemarahan yang terpendam, tetapi disampaikan dengan gaya reflektif dan bernas. Di satu sisi, puisi ini terasa pahit karena menyuarakan penderitaan rakyat. Namun di sisi lain, ada juga nada satir dan ironis yang mengajak pembaca merenung lebih dalam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama yang ingin disampaikan adalah:
- Pemimpin harus peka terhadap penderitaan rakyat. Kekuasaan bukanlah fasilitas untuk bersenang-senang, tetapi amanah untuk menyejahterakan orang banyak.
- Kemiskinan bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga persoalan moral. Rasa serakah, rakus, dan sombong adalah bentuk kemiskinan yang lebih berbahaya.
- Bangsa ini perlu kejujuran untuk mengakui masalah. Menutup-nutupi atau bersopan santun berlebihan hanya akan memperparah keadaan.
- Kesadaran kolektif harus dibangun. Bukan hanya pemerintah, tetapi masyarakat juga perlu kritis agar tidak lagi terjebak dalam sikap pasrah yang salah arah.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini menghadirkan banyak imaji sosial yang konkret, misalnya:
- Gambaran orang yang lapar hingga larut malam tanpa mendapatkan sesuap makanan.
- Suara tangisan rakyat yang tidak didengar oleh hukum maupun kebijakan negara.
- Sawah rakyat yang hilang demi sebuah lapangan golf kecil.
- Kontras antara tumpukan kekayaan segelintir orang dengan berjuta-juta rakyat yang miskin.
Imaji-imaji ini membuat pembaca seakan melihat langsung penderitaan rakyat kecil dan kesenjangan sosial yang nyata di tengah masyarakat.
Majas dalam Puisi
Cak Nun menggunakan beberapa majas untuk memperkuat pesan puisinya, di antaranya:
- Majas personifikasi – “Tuhan menjawab keluhan mereka” seolah-olah Tuhan berdialog langsung dengan rakyat.
- Majas ironi – keikhlasan rakyat yang tetap tersenyum meski dirampok digambarkan sebagai sesuatu yang menakjubkan, padahal itu sindiran getir.
- Majas hiperbola – “kemiskinan yang lebih absolut lagi dari jiwa kita sendiri” menekankan betapa parahnya krisis moral yang dialami bangsa.
- Majas repetisi – penggunaan kata “sangat” berulang-ulang untuk menegaskan kritik, misalnya “Sangat sukar dipahami”, “Sangat tidak masuk akal”, “Sangat tidak bisa dipercaya.”
Puisi “Syair Heran” karya Emha Ainun Nadjib adalah refleksi sosial yang tajam tentang kemiskinan, kesenjangan, dan kegagalan moral bangsa. Dengan tema kemiskinan dan ketidakadilan, puisi ini bercerita tentang penderitaan rakyat kecil, makna tersirat bahwa keserakahan adalah pangkal kemiskinan, serta menghadirkan suasana getir penuh kritik. Pesan yang ingin ditegaskan adalah bahwa pemimpin maupun rakyat harus kembali pada nurani, karena Tuhan telah menyediakan anugerah yang cukup, dan kitalah yang merusaknya. Imaji sosial yang kuat serta majas satir dan ironi membuat puisi ini tetap relevan dibaca hingga kini, sebagai suara nurani bangsa yang tidak boleh diabaikan.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
