Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Syair Maling (Karya Emha Ainun Nadjib)

Puisi “Syair Maling” karya Emha Ainun Nadjib bercerita tentang perjalanan syair dalam masyarakat—dari kelahiran, penerimaan, hingga penyalahgunaan.

Syair Maling

Perjuangan utama sebuah syair, hanyalah
Untuk tak menjadi slogan
Atau kembang plastik

Dari Tuhan lahir seorang bayi
Dituding sebagai subversi, atau dipupuk
Menjadi hostes para priyayi

Syair-syair diagung-agungkan
Hingga menjadi barang kerajinan
Yang menggelikan

Cukuplah ia – kata seorang teman
Lahir dari angin
Tapi sahabat lagi mengklaim
-- syair ialah berak

Berak nasib
Orang-orang terpilin

Maka kita bertengkar
Buntu dan gagap
Dari hari ke hari
Sambil membiarkan maling-maling

1983

Sumber: Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)

Analisis Puisi:

Puisi “Syair Maling” karya Emha Ainun Nadjib adalah karya yang sarat kritik sosial dan refleksi budaya sastra. Dengan bahasa yang lugas namun penuh sindiran, puisi ini mengangkat tema tentang nilai, fungsi, dan komodifikasi karya sastra dalam masyarakat.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap komersialisasi dan kehilangan makna karya sastra, terutama syair. Puisi ini membahas bagaimana karya yang seharusnya menjadi sarana ekspresi dan refleksi justru sering diperlakukan sebagai barang dagangan atau alat status sosial, sehingga kehilangan esensi asli dan fungsinya sebagai medium komunikasi yang jujur dan mendalam.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan syair dalam masyarakat—dari kelahiran, penerimaan, hingga penyalahgunaan. Bagian awal menekankan perjuangan syair agar tidak menjadi slogan atau kembang plastik, artinya syair ingin tetap otentik dan hidup, bukan sekadar dekorasi atau alat kepentingan pihak tertentu.

Bagian tengah puisi menggambarkan bagaimana syair sering diagung-agungkan secara berlebihan sampai menjadi “barang kerajinan yang menggelikan,” mencerminkan penghargaan yang dangkal terhadap karya seni. Kemudian muncul kritik pedas tentang klaim teman dan sahabat: syair “lahir dari angin” namun diklaim sebagai “berak,” simbol perdebatan dan kontestasi nilai yang absurd.

Bagian akhir menyoroti kondisi masyarakat yang membiarkan ketidakadilan atau tindakan salah (“maling-maling”) terjadi, sambil mereka sendiri tersesat dalam kebuntuan dan ketidakpastian. Puisi ini menyiratkan bahwa masyarakat sering kehilangan fokus pada nilai hakiki karya dan moral, sehingga ketidakadilan menjadi lumrah.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini menyampaikan beberapa pesan penting:
  • Syair atau karya seni sejati harus bebas dari klaim komersial atau kepentingan elit, agar tetap hidup dan relevan.
  • Masyarakat dan pelaku budaya sering salah mengapresiasi karya, mengagungkannya secara formal tanpa memahami esensi dan nilai moral di baliknya.
  • Kehilangan makna karya dapat memunculkan kekacauan moral, seperti tergambar pada metafora “maling-maling” yang dibiarkan bebas.
Dengan demikian, puisi ini adalah kritik sosial dan budaya yang subtil namun tajam, menunjukkan kesenjangan antara nilai ideal karya sastra dan praktik sosial di sekitarnya.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini bersifat sindiran, kritis, dan reflektif. Ada rasa kecewa terhadap kondisi masyarakat dan dunia sastra yang kehilangan arah, sekaligus humor satir yang menyelinap dalam penggambaran “syair ialah berak.” Kejutan dalam metafora-metafora yang tak terduga menambah nuansa ironis dan menggugah pembaca untuk berpikir kritis.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji konseptual dan simbolik. Beberapa imaji penting antara lain:
  • “Kembang plastik” → melambangkan karya yang hanya hiasan tanpa makna.
  • “Berak” → simbolisasi penghinaan terhadap klaim-klaim absurd dan komersialisasi karya.
  • “Maling-maling” → imaji sosial tentang ketidakadilan dan perilaku moral yang salah dibiarkan.
Imaji-imaji ini memperkuat kritik sosial dan refleksi estetika yang dibawa oleh puisi.

Majas

Majas yang menonjol adalah metafora, ironi, dan personifikasi. Syair diperlakukan seolah memiliki perjuangan, lahir dari angin, dan menjadi objek klaim—ini personifikasi yang memberi kedalaman pada puisi. Ironi terlihat dari kontras antara nilai ideal syair dan praktik sosial, misalnya klaim sahabat yang merendahkan syair menjadi “berak.”

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan puisi ini adalah pentingnya menghargai karya sastra secara otentik, bukan hanya sebagai simbol status, alat propaganda, atau komoditas. Emha Ainun Nadjib mengajak pembaca untuk merenungkan nilai moral dan sosial dari karya seni, serta menyoroti bagaimana masyarakat harus lebih kritis agar “maling-maling” dalam berbagai bentuk tidak dibiarkan merajalela.

Puisi “Syair Maling” adalah karya yang kaya kritik sosial dan refleksi budaya. Dengan metafora dan bahasa satir yang kuat, Emha Ainun Nadjib mengingatkan kita tentang esensi seni yang sejati, nilai moral, dan ketidakadilan sosial yang sering terabaikan. Meskipun tampak sederhana, puisi ini menyimpan lapisan makna yang kompleks dan relevan untuk setiap generasi pembaca.

Emha Ainun Nadjib
Puisi: Syair Maling
Karya: Emha Ainun Nadjib

Biodata Emha Ainun Nadjib:
  • Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.