Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Adakah Ia Bernama (Karya Ikranagara)

Puisi “Adakah Ia Bernama” karya Ikranagara bercerita tentang sosok yang berada di “taman firdaus” namun merasakan kebosanan, kegelisahan, dan ...
Adakah Ia Bernama

Mondar mandir selalu
Bosan
Di dalam taman firdaus itu-itu juga
Siapa
Adakah ia
Bersama gelisah
Setelah sekian kali
Kerongkongannya dilalui liurnya sendiri
Karena rangsangan buah kuldi
Yang berayun-ayun di tepi kolam

Membising dari dalam dirinya sendiri
Pertanyaan demi pertanyaan
Tentang kemampuan-kemampuannya
Dan kemungkinan-kemungkinan
Kemudian teriakan

                kemudian teriakan
                minta bukti
                tentang kebebasannya
                untuk sekali-kali
                menyatakan bantahan
                di samping seringkali
                menyatakan kepatuhan

(mondar mandir selalu
bosan
di dalam taman firdaus itu-itu juga)

Dalam waktu
Terdepak ia
Dikeluarkan dari taman firdaus
Teja melengkung
        langit senja hari
                            sunyi

Suara-suara langkah kaki
Desah-desah napas
Siapa
Adakah ia
Bernama senyum
Serta kelegaan rasa terima kasih
Ketika bumi membentangkan baginya
Daerah kembara asing dan baru

1969

Sumber: Horison (April, 1970)

Analisis Puisi:

Puisi “Adakah Ia Bernama” karya Ikranagara adalah salah satu teks puitik yang menghadirkan kegelisahan eksistensial manusia di tengah batas-batas yang membelenggu dirinya. Dengan bahasa simbolis dan suasana yang berubah-ubah, puisi ini menampilkan pergulatan batin antara kepatuhan, keinginan untuk bebas, dan pencarian identitas.

Melalui struktur yang berpindah antara repetisi, pertanyaan, hingga gambaran simbolik tentang “taman firdaus” dan “buah kuldi”, Ikranagara seakan menafsir ulang kisah manusia pertama—bukan sebagai mitos religius semata, tetapi sebagai metafora perjalanan batin manusia modern.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian jati diri dan kebebasan manusia. Puisi menyingkap pergulatan antara keterikatan pada aturan—digambarkan melalui taman firdaus yang membosankan—dan dorongan untuk menguji batas-batas keberadaan diri.

Tema tambahan yang menguat:
  • kegelisahan eksistensial,
  • konflik antara kepatuhan dan pembangkangan,
  • kelahiran kembali setelah keterusiran,
  • manusia dan takdirnya menghadapi dunia nyata.
Puisi ini bercerita tentang sosok yang berada di “taman firdaus” namun merasakan kebosanan, kegelisahan, dan hasrat untuk keluar dari kondisi yang serba pasti dan serba tertata.

Ia mempertanyakan dirinya sendiri, mempertanyakan kemampuannya, dan bahkan mempertanyakan kebebasannya untuk membantah dan tidak sekadar patuh.

Dorongan untuk menguji batas membuatnya “terdepak”—sebuah metafora puitik untuk keterusiran atau kejatuhan. Namun keterusiran itu justru menghadirkan pengalaman baru: langkah kaki, napas, senyum, dan kelegaan ketika bumi membentangkan wilayah yang asing namun membebaskan.

Dengan demikian, puisi ini menggambarkan perjalanan batin seseorang dari: ketertiban yang membosankan → kegelisahan → pemberontakan → kejatuhan → penemuan ruang baru untuk menjadi diri sendiri.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat kaya. Beberapa lapisan yang tampak jelas:
  1. Kebebasan tidak selalu lahir dari tempat yang indah. “Taman firdaus” digambarkan sebagai tempat yang membosankan, berulang, tidak memberi ruang bagi pencarian diri. Ini menandakan bahwa kenyamanan tidak selalu berarti kebebasan.
  2. Pemberontakan adalah bagian dari proses menjadi manusia. “teriakan minta bukti tentang kebebasannya” menunjukkan bahwa manusia tak bisa sepenuhnya tunduk tanpa mempertanyakan. Kebutuhan untuk menguji batas adalah bagian dari eksistensinya.
  3. “Kejatuhan” justru menjadi awal lahirnya makna hidup. Saat ia “terdepak” dari firdaus, justru di sanalah ia menemukan: senyum, rasa syukur, ruang baru, kemungkinan tanpa batas. Keluarnya manusia dari keadaan serba tertib dapat dimaknai sebagai kelahiran kesadaran, bukan malapetaka.
  4. Pencarian jati diri adalah perjalanan yang sunyi namun penuh makna. Simbol “teja melengkung”, “langit senja hari”, dan “sunyi” menggambarkan momen kontemplasi ketika seseorang menyadari keberadaan dirinya secara baru.

Suasana dalam Puisi

Jika dilihat dari pembentukan citra dan alurnya, puisi ini memiliki suasana yang berubah-ubah:
  1. Awal – suasana gelisah, bosan, dan terkurung. “mondar mandir selalu / bosan” menunjukkan repetisi tanpa arah.
  2. Bagian tengah – suasana tegang dan berontak. Ada desakan batin: pertanyaan, keraguan, hingga teriakan.
  3. Bagian akhir – suasana lebih hening dan lega. “senyum”, “kelegaan rasa terima kasih”, serta gambaran senja menghadirkan kelegaan setelah pergulatan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat yang tampak dari puisi ini antara lain:
  1. Kebebasan harus diperjuangkan dan dibuktikan. Manusia tak boleh hanya hidup dalam kepatuhan; ia perlu mempertanyakan dan menguji batas dirinya.
  2. Jangan takut keluar dari zona nyaman. Terkadang “firdaus” bukanlah tempat terbaik jika menghilangkan makna diri. Justru dunia yang asing bisa menghadirkan pertumbuhan.
  3. Pencarian jati diri adalah proses yang tak bisa dihindari. Meski melelahkan, perjalanan itu membawa manusia pada wajah dirinya yang lebih utuh.
  4. “Kejatuhan” bukanlah akhir, melainkan awal bagi kesadaran baru. Keterlemparan dari kenyamanan bisa menjadi hadiah keberanian.

Imaji dalam Puisi

Ikranagara menggunakan beberapa imaji:
  • Imaji gerak: “mondar mandir selalu” – menggambarkan kebingungan dan kegelisahan.
  • Imaji perasaan: “gelisah”, “bosan” – memperkuat tekanan batin tokoh.
  • Imaji penglihatan: “buah kuldi yang berayun-ayun”, “teja melengkung”, “langit senja hari”.
  • Imaji suara: “suara-suara langkah kaki”, “desah-desah napas”.
  • Imaji pernapasan / tubuh: “kerongkongannya dilalui liurnya sendiri” – imaji fisik yang kuat untuk menunjukkan kegelisahan intens.
Imaji-imaji ini bekerja menciptakan lapisan suasana yang dinamis dari awal hingga akhir.

Majas yang Digunakan

Beberapa majas yang menonjol:

Metafora
  • “taman firdaus” sebagai metafora ruang nyaman yang membelenggu.
  • “buah kuldi” sebagai simbol godaan untuk memahami atau memberontak.
  • “terdepak ia” sebagai metafora kejatuhan eksistensial.
Repetisi
  • “mondar mandir selalu / bosan” diulang untuk menegaskan kegelisahan yang tak berkesudahan.
Personifikasi
  • “buah kuldi yang berayun-ayun” seolah memiliki gerak dan daya menggoda.
Puisi “Adakah Ia Bernama” adalah puisi yang menyoroti konflik terdalam manusia: antara kepatuhan dan kebebasan, antara kenyamanan dan pencarian diri, antara firdaus yang tenang dan dunia asing yang justru menghadirkan makna.

Dengan simbol-simbol religius yang ditafsir ulang, Ikranagara mengajak pembaca melihat bahwa manusia baru menemukan senyumnya ketika berani keluar dari zona nyaman dan menghadapi “daerah kembara” yang asing—tempat di mana ia akhirnya bisa menamai dirinya sendiri.

Puisi: Adakah Ia Bernama
Puisi: Adakah Ia Bernama
Karya: Ikranagara

Biodata Ikranagara:
  • Ikranagara lahir pada tanggal 19 September 1943 di Loloan Barat, Jembrana, Bali.
© Sepenuhnya. All rights reserved.