Sumber: Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Bilangan dan Keberuntungan” merupakan refleksi puitik mengenai hubungan manusia dengan nasibnya—khususnya melalui simbol bilangan, angka-angka yang sering dianggap sebagai penentu keberuntungan, peluang, dan takdir hidup. Melalui citraan kegelapan, kegaduhan, dan ketidakpastian, penyair mengajak pembaca merenungkan betapa rapuhnya manusia ketika berhadapan dengan nasib yang tak bisa diprediksi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah ketidakpastian nasib dan keberuntungan manusia, yang digambarkan melalui metafora bilangan atau angka. Tema ini berkelindan dengan:
- relasi manusia dengan takdir,
- ketidakstabilan hidup,
- kegelisahan menghadapi masa depan,
- keterbatasan manusia dalam mengetahui apa yang akan terjadi.
Puisi ini bercerita tentang bagaimana manusia melihat bilangan—angka, hitungan, atau simbol matematis—sebagai lambang nasib dan peluang.
Bilangan dianggap bisa menentukan siapa yang menjadi pemenang dan siapa yang jatuh "terjungkal dalam kubangan". Ia bisa menjadi terang yang menandakan keberuntungan, atau gulita yang memekikkan apes dan kesialan.
Namun pada akhirnya, manusia hanya bisa duduk lesu di depan pintu rumah ketika malam membuka lorongnya—sebuah gambaran kesadaran bahwa keberuntungan bukan sesuatu yang bisa dijumlah, diatur, atau ditebak secara pasti.
Makna Tersirat
Puisi ini sarat makna tersirat, antara lain:
Angka sebagai metafora takdir. Bilangan melambangkan:
- keputusan hidup,
- peluang,
- nasib,
- hasil dari sesuatu yang tak sepenuhnya manusia kuasai.
Setiap bilangan “menitipkan kegaduhan”, menandakan bahwa keputusan kecil sekalipun bisa mengubah kehidupan.
Ketidakpastian hidup. Manusia sering berharap keberuntungan dapat dijumlah, dihitung layaknya matematika. Namun, penyair menegaskan bahwa keberuntungan adalah bilangan yang “tak pasti bisa dijumlah”. Artinya:
- nasib tidak linear,
- harapan tidak selalu setara dengan hasil,
- hidup tidak bisa sepenuhnya diramalkan.
Kesendirian manusia menghadapi takdir. Bagian akhir puisi menunjukkan manusia yang “terduduk lesu di depan pintu rumah” ketika malam menghadirkan “lorongnya”. Ini menandakan:
- kelelahan batin,
- kepasrahan,
- kontemplasi,
- atau bahkan kesendirian eksistensial.
Suasana dalam puisi
Suasana puisi ini gelisah, muram, dan penuh ketidakpastian.
- “lampu-lampu berkedip-kedip”,
- “kegaduhan”,
- “terjungkal dalam kubangan”,
- “nasib apes yang memekik”,
- “gulita”,
- “mencekung menjelang subuh”,
- “terduduk lesu”,
membangun atmosfer yang cenderung pesimistis, reflektif, dan gelap. Pembaca diajak merasakan kegamangan tokoh lirik dalam menyikapi nasib yang sulit ditebak.
Amanat / Pesan
Puisi ini menyampaikan beberapa pesan:
- Nasib dan keberuntungan tidak bisa dihitung. Sebagus apa pun manusia mencoba merencanakan hidup, selalu ada ruang ketidakpastian.
- Jangan terlalu menggantungkan hidup pada angka. Entah itu hitung-hitungan untung-rugi, ramalan angka keberuntungan, atau probabilitas hidup—semua itu tidak sepenuhnya menentukan hasil.
- Hidup perlu dipahami dengan lapang hati. Bagian akhir menggambarkan bahwa manusia akhirnya harus menerima ketidakpastian itu dengan kelegaan—meski kadang penuh kelelahan dan pasrah.
- Keberuntungan bisa datang kapan saja, pada lorong malam yang tidak kita sangka. Ada nada kontemplatif bahwa hidup selalu membuka kemungkinan, meski tidak terlihat jelas.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan atmosferik, misalnya:
- “lampu-lampu berkedip-kedip bergantian” → imaji visual menggambarkan ketidakpastian dan kegaduhan.
- “terjungkal dalam kubangan” → imaji visual sekaligus emosional tentang kegagalan.
- “nasib apes yang memekik” → imaji auditorik yang kuat.
- “mencekung menjelang subuh” → imaji waktu yang gelap dan mencekam.
- “terduduk lesu di depan pintu rumah” → imaji visual tentang pasrah dan kelelahan.
Imaji ini membantu memperkuat suasana muram dan cemas.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi:
Metafora
- “bilangan adalah nasib” → angka sebagai simbol takdir.
- “setiap bilangan serupa sinyal keberuntungan” → keberuntungan direpresentasikan sebagai sinyal angka.
Personifikasi
- “nasib apes yang memekik” → seolah-olah kesialan memiliki suara.
- “keberuntungan ... terduduk lesu” → keberuntungan digambarkan seperti manusia.
Simile / perbandingan
- “bilangan ... serupa lampu-lampu berkedip-kedip” → membandingkan bilangan dengan cahaya yang tidak stabil.
Puisi "Bilangan dan Keberuntungan" adalah renungan mendalam tentang hidup manusia yang dibayangi ketidakpastian. Melalui simbol bilangan, Tjahjono Widarmanto menggambarkan bahwa keberuntungan, nasib, dan peluang bukanlah entitas yang bisa ditebak atau dihitung secara matematis. Atmosfer gelap dan imaji kuat menegaskan kegelisahan manusia ketika berhadapan dengan takdir yang cair dan sulit dipahami.
