Bosnia (1)
bosnia, bosnia, bosnia...
di manakah dirimu di peta?
: bikinan eropa dan amerika
bom-bom terus memakamkan kota-kota:
bihac, sarajevo, sebrenica, dan zepa
menanam aroma angkara, menanam durjana:
"serbia... serbia... serbia... serbia", terbantun gema
di tiap napas yang menderu ke ruang baka
dan lihat, lihatlah, dunia terbata-bata mengeja
bahasa yang telah lunglai makna dan daya
apa nama tindak keji dan bengis serbia
(boleh jadi, di sini bahasa telah dimangsa kuasa)
dan lihat, lihatlah, chirac, major, clinton, dan ghali
bersama kharadzic, mladic, dan milosevic menari
memainkan tarian hamlet yang gamang nurani
di atas peta bumi yang hendak dibagi-bagi
(barangkali, di sini pikiran telah jadi rahang gergasi)
bosnia, bosnia, bosnia...
masih adakah dirimu di peta?
: bikinan eropa dan amerika
(tak ada, tak ada bahasa, semesta duka
desing peluru cuma – melumat peta
tetes darah ganih cuma – membakakan cinta)
bosnia, bosnia, bosnia...
masih adakah dirimu di peta?
(dunia berkemas – pulang ke negeri sunyi
terus serbia buas – ranggas raga dan hati)
bosnia, bosnia, bosnia....
masih adakah dirimu di peta?
(anak-anak eropa dan amerika
konon belajar sejarah resmi dunia
"tapi, tapi, bosnia tak ada di sana",
ujarnya kepada anak-anak expatriate bosnia)
Bosnia (2)
ingin, ingin benar, kukirim ke kotamu:
sarajevo, bihac, sebrenica, zepa
badai zikir beraroma semerbak narwastu
yang meninabobokan para serdadu
yang menidurkan segala hamburan mesiu
dan melelapkan dunia yang letih oleh gairah nafsu
(dan sunyi semesta
istirah setelah sengit berbantah)
"jangan berkhayal melulu", sergah seorang ibu,
(mengokang senapan tua, sisa perang dunia kedua)
"sebrenica juga perlu peluru — bukan cuma zikirmu —
untuk perang yang tuli dari suara hati kami"
ingin, ingin benar, kukirim ke kotamu:
sarajevo, bihac, sebrenica, zepa
badai zikir beraroma selaksa harum cendana
yang melumerkan pikiran durjana para tentara
yang melelehkan segala kokang senjata
dan menidurkan dunia yang letih oleh rakus angkara
(dan dingin menyekap balkan)
"kalian cuma bisa bicara", hardik ibu tua sebrenica,
(ringkih tubuhnya, kuat ditopang bara harap merdeka)
"bosnia juga perlu keadilan dunia — tak zikirmu saja —
bagi perang yang sengaja dibiakkan di negeri kami punya"
(dan dingin menyekap balkan
dan mortir tetap berdentuman
dan korban-korban terus berjatuhan
dan mayat-mayat terus dikuburkan
dan dunia masih terus kebingungan)
Malang, 1995
Sumber: Arung Diri (2013)
Analisis Puisi:
Puisi “Bosnia” karya Djoko Saryono merupakan salah satu karya monumental yang menyoroti tragedi kemanusiaan di Bosnia pada dekade 1990-an. Melalui diksi yang kuat, simbolik, dan sarat kritik, Djoko Saryono menyuarakan luka dunia yang diabaikan oleh kekuasaan global. Puisi ini terbagi menjadi dua bagian — Bosnia (1) dan Bosnia (2) — yang masing-masing memotret sisi berbeda dari penderitaan rakyat Bosnia: kehancuran akibat perang dan ketidakadilan dunia, serta harapan spiritual yang berhadapan dengan realitas kekerasan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah tragedi kemanusiaan dan kemunafikan dunia terhadap penderitaan Bosnia.
Djoko Saryono mengangkat perang Bosnia sebagai simbol dari penderitaan umat manusia yang ditinggalkan oleh nurani global. Tema ini juga menyentuh hipokrisi politik internasional, di mana negara-negara besar seperti Amerika dan Eropa tampak lebih sibuk menjaga citra dan kepentingan geopolitik dibanding menolong korban yang tertindas.
Di sisi lain, bagian kedua puisi juga memunculkan tema spiritualitas dan perlawanan batin, ketika doa dan zikir berhadapan dengan peluru dan kekerasan. Tema ini menegaskan kontras antara iman dan perang, cinta dan kebiadaban, doa dan darah.
Puisi ini bercerita tentang penderitaan rakyat Bosnia yang menjadi korban kekejaman perang dan kemunafikan politik dunia.
Dalam Bosnia (1), penyair menggambarkan kehancuran kota-kota seperti Sarajevo, Sebrenica, dan Zepa yang luluh lantak oleh bom. Ia menyoroti betapa dunia hanya menonton — “dunia terbata-bata mengeja bahasa yang telah lunglai makna dan daya” — menggambarkan lumpuhnya moral dan empati global. Nama-nama pemimpin dunia seperti Clinton, Chirac, Major, Ghali disebut dengan nada sindiran, karena mereka “menari di atas peta bumi yang hendak dibagi-bagi”.
Sementara dalam Bosnia (2), penyair menghadirkan suara batin yang ingin mengirim “badai zikir” ke Bosnia — simbol doa dan kedamaian — namun segera dibenturkan dengan kenyataan pahit. Seorang ibu tua berkata tegas, “Sebrenica juga perlu peluru — bukan cuma zikirmu”. Bagian ini menggambarkan perdebatan antara spiritualitas dan realitas perang: bahwa doa saja tidak cukup jika dunia tetap diam terhadap ketidakadilan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat mendalam dan berlapis. Djoko Saryono tidak hanya menulis tentang Bosnia, tetapi tentang krisis kemanusiaan global yang lahir dari politik, keserakahan, dan kemunafikan moral dunia modern.
Puisi ini mengandung kritik terhadap imperialisme dan kapitalisme global yang menciptakan peta dunia berdasarkan kepentingan, bukan kemanusiaan. Kalimat “bosnia, bosnia, bosnia... masih adakah dirimu di peta?” menjadi metafora tentang hilangnya eksistensi kemanusiaan di tengah tatanan dunia yang dikuasai kekuatan besar.
Selain itu, makna spiritual juga muncul: doa dan zikir menjadi simbol perlawanan batin terhadap kejahatan, meski akhirnya penyair pun sadar bahwa spiritualitas tanpa keadilan hanya menjadi utopia. Dalam hal ini, Ai Lundeng mengingatkan kita bahwa keimanan sejati menuntut keberanian melawan ketidakadilan, bukan sekadar doa dalam keheningan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini gelap, tragis, dan penuh duka. Kata-kata seperti bom-bom terus memakamkan kota-kota, desing peluru cuma – melumat peta, dan mayat-mayat terus dikuburkan membangun nuansa penderitaan yang mendalam.
Namun di balik suasana muram itu, ada pula suasana spiritual dan reflektif, terutama dalam Bosnia (2) ketika penyair berbicara tentang zikir, narwastu, dan cendana. Unsur ini memberi keseimbangan emosional: di tengah kehancuran, masih ada harapan dan doa — walau kecil, namun tetap menjadi cahaya bagi kemanusiaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah seruan kemanusiaan universal: jangan biarkan tragedi seperti Bosnia terulang, dan jangan biarkan dunia bungkam terhadap kezaliman. Djoko Saryono menegaskan bahwa kemanusiaan seharusnya tidak tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi. Ia mengajak pembaca untuk tidak menjadi penonton, melainkan bagian dari suara nurani dunia yang menolak kekerasan.
Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan spiritual: iman sejati tidak berhenti pada doa, tetapi diwujudkan dalam perjuangan nyata untuk menegakkan keadilan. Seperti kata ibu tua dalam puisi: “Bosnia juga perlu keadilan dunia — tak zikirmu saja.”
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditif yang kuat, menggambarkan kehancuran dan keheningan yang menyedihkan.
- Imaji visual tampak pada baris: “bom-bom terus memakamkan kota-kota”, “mayat-mayat terus dikuburkan”, dan “desing peluru cuma – melumat peta”. Pembaca seolah bisa melihat puing, darah, dan peta dunia yang koyak.
- Imaji auditif hadir lewat kata-kata seperti “gema”, “dentuman”, “zikir”, dan “tasbih” — menghadirkan kontras antara suara perang dan suara doa.
- Imaji spiritual juga muncul dalam “badai zikir beraroma narwastu” dan “harum cendana”, menciptakan suasana sakral di tengah perang, sekaligus menggambarkan keinginan penyair untuk memulihkan dunia lewat spiritualitas.
Imaji dalam puisi ini bekerja seperti film dokumenter dan doa sekaligus — memperlihatkan realitas getir dan harapan lembut yang hidup berdampingan.
Majas
Djoko Saryono menggunakan berbagai majas yang memperkuat pesan moral dan estetika puisinya, antara lain:
- Repetisi – Pengulangan kata “bosnia, bosnia, bosnia...” memberi efek emosional mendalam, seperti ratapan dan doa yang terus diulang.
- Metafora – “bahasa telah dimangsa kuasa” menggambarkan bahwa kekuasaan politik telah membunuh kebenaran dan kemanusiaan.
- Personifikasi – “dunia terbata-bata mengeja” dan “pikiran telah jadi rahang gergasi” memberikan sifat manusia pada konsep abstrak, menegaskan kebingungan dan kebiadaban global.
- Sarkasme dan Ironi – penyair menyebut nama-nama pemimpin dunia yang “menari di atas peta bumi” sebagai sindiran tajam atas kelalaian mereka.
- Simbolisme – zikir, narwastu, cendana menjadi simbol spiritualitas, sedangkan peluru, mortir, dan darah menjadi simbol kehancuran moral dunia.
Puisi “Bosnia” karya Djoko Saryono adalah seruan nurani bagi kemanusiaan yang terluka. Melalui diksi yang tajam dan penuh simbol, penyair menelanjangi kemunafikan dunia modern yang membiarkan tragedi kemanusiaan terjadi di depan mata.
Dengan tema penderitaan dan keadilan, makna tersirat yang menggugat nurani global, imaji yang kuat antara perang dan doa, serta majas yang penuh daya retoris, puisi ini menjadi karya yang bukan hanya menyentuh emosi, tetapi juga menggugah kesadaran moral pembacanya.
Puisi ini bukan hanya tentang sebuah negara yang hilang di peta, melainkan tentang hilangnya nurani manusia di tengah peta dunia modern.
Karya: Djoko Saryono
Biodata Djoko Saryono:
- Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.