Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bulan di Atas Bukit (Karya Gunoto Saparie)

Puisi “Bulan di Atas Bukit” karya Gunoto Saparie mengangkat tema tentang ketenangan dan keindahan batin di tengah kesunyian malam kemarau.
Bulan di Atas Bukit

ada bulan keemasan bergetar
di atas bukit kelabu itu
ligar bagai bunga mawar
keheningan pun mengambang bisu

aku kini tahu, ini kemarau
dan hampir tengah malam
ada seiris cahaya di kalbu
ada keriangan tak padam-padam

2019

Analisis Puisi:

Puisi “Bulan di Atas Bukit” karya Gunoto Saparie mengangkat tema tentang ketenangan dan keindahan batin di tengah kesunyian malam kemarau. Latar waktu yang digunakan adalah malam hari, saat bulan bersinar di atas bukit yang kelabu. Meskipun suasana kemarau sering dikaitkan dengan kekeringan dan kesepian, penyair justru menemukan keteduhan dan kebahagiaan di dalamnya. Tema ini mencerminkan perenungan batin manusia terhadap alam dan kehidupan yang sederhana namun sarat makna.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang memandangi bulan di atas bukit pada malam hari di musim kemarau. Dalam pandangan penyair, bulan tampak bergetar dan bersinar seperti bunga mawar di langit yang hening. Pemandangan tersebut menimbulkan keheningan dan kedamaian dalam hati. Dari situ, penyair menyadari bahwa di balik kesunyian malam dan kekosongan musim kemarau, masih ada “seiris cahaya di kalbu” — tanda bahwa harapan, kebahagiaan, dan keindahan batin tetap menyala meskipun dunia tampak kering dan senyap.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah renungan tentang bagaimana manusia dapat menemukan ketenangan batin dan kebahagiaan dalam kesederhanaan serta kesunyian hidup. Bulan menjadi simbol pencerahan batin — sinarnya yang lembut dan bergetar di langit kemarau melambangkan harapan yang tetap hidup meski dalam keterbatasan. Musim kemarau yang identik dengan kekosongan justru menghadirkan ruang refleksi untuk menyadari bahwa sumber keriangan sejati ada di dalam diri sendiri, bukan di luar.
Puisi ini juga mengisyaratkan hubungan harmonis antara manusia dan alam, di mana keindahan alam menjadi cermin dari keindahan jiwa manusia yang tenang dan damai.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, damai, dan kontemplatif. Momen malam hari yang diterangi cahaya bulan menciptakan perasaan tenteram dan lembut. Tidak ada hiruk-pikuk, hanya kesunyian yang mengambang, seolah dunia berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi renungan batin. Dari suasana inilah muncul rasa syukur dan bahagia yang sederhana — keriangan yang “tak padam-padam”.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang tersirat dalam puisi ini adalah bahwa ketenangan dan kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam kesederhanaan dan keheningan. Meskipun dunia luar tampak gersang atau sunyi (seperti kemarau), manusia tetap bisa merasakan cahaya dan keriangan di dalam hatinya. Penyair seolah mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap keindahan kecil yang sering luput dari perhatian, seperti sinar bulan di atas bukit atau kesunyian malam yang menenangkan. Dalam setiap keadaan, selalu ada keindahan yang bisa disyukuri.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual. Pembaca dapat dengan jelas membayangkan pemandangan malam yang indah:
  • “ada bulan keemasan bergetar / di atas bukit kelabu itu” menggambarkan pemandangan langit malam dengan bulan berwarna keemasan yang bersinar di atas bukit.
  • “ligar bagai bunga mawar” menambah kekuatan visual dengan membandingkan sinar bulan yang lembut seperti kelopak mawar yang mekar.
Selain imaji visual, ada juga imaji perasaan, terutama ketika penyair menulis: “ada seiris cahaya di kalbu / ada keriangan tak padam-padam”, yang menimbulkan sensasi hangat dan bahagia dalam batin pembaca.

Majas

Gunoto Saparie menggunakan beberapa majas (gaya bahasa) yang memperkaya makna dan suasana puisi, antara lain:
  • Majas personifikasi: “ada bulan keemasan bergetar” — bulan dipersonifikasikan seolah hidup dan bergetar, menggambarkan keindahan cahaya yang berkilau lembut.
  • Majas simile (perbandingan langsung): “ligar bagai bunga mawar” — sinar bulan dibandingkan dengan bunga mawar, menambah kesan lembut dan romantis.
  • Majas metafora: “ada seiris cahaya di kalbu” — cahaya di hati menjadi metafora untuk harapan atau kebahagiaan batin.
Majas-majas tersebut menciptakan keindahan bunyi, memperdalam makna, sekaligus menghidupkan imaji dalam benak pembaca.

Puisi “Bulan di Atas Bukit” karya Gunoto Saparie merupakan puisi yang sederhana namun kaya makna. Melalui citraan alam dan suasana malam yang hening, penyair menghadirkan renungan tentang kehidupan dan ketenangan batin. Tema utama tentang kebahagiaan yang lahir dari kesunyian tercermin kuat dalam diksi yang lembut, imaji yang jernih, dan majas yang halus. Puisi ini mengajarkan bahwa bahkan di tengah “kemarau” — simbol kekeringan atau kekosongan hidup — manusia tetap bisa menemukan cahaya dan keriangan yang tak pernah padam di dalam dirinya.

Photo Gunoto Saparie
Puisi: Bulan di Atas Bukit
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia--Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta.  Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.