Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Catatan Ciganjur Tembang Hati yang Peduli (Karya Diah Hadaning)

Puisi “Catatan Ciganjur Tembang Hati yang Peduli” adalah seruan puitik untuk kembali menghidupkan hati nurani, memungut harapan-harapan kecil yang ...
Catatan Ciganjur:
Tembang Hati yang Peduli

Yang ngalir dari arah mata angin
yang menggenang dari lubuk mata air
tembang hati yang peduli
tembang rasa yang mengerti
bagi yang lama terdera
di pelosok negeri.

Harapan dari sisa kenyataan
lama diterpa prahara kehidupan
pungutilah wahai
insan yang diberkahi ketulusan
orang-orang lama menunggu
ikrar prasetiamu itu.

Luka sudah menganga
darah sudah tertumpah
kampus sering ditinggalkan.

Diikhlaskan sambil cari genggammu
diikhlaskan sambil cari suaramu
lembutkanlah keangkuhan yang batu.

November, 1998

Analisis Puisi:

Puisi “Catatan Ciganjur Tembang Hati yang Peduli” karya Diah Hadaning merupakan salah satu karya yang sarat nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial. Melalui rangkaian larik puitik yang lembut tetapi tegas, penyair menghadirkan suara bagi mereka yang terluka, tersisih, dan lama menunggu uluran tangan dari siapa pun yang masih memiliki kemurnian hati. Puisi ini tidak hanya memotret kondisi sosial, tetapi juga menyerukan kepekaan dan tanggung jawab moral.

Tema

Tema inti puisi ini adalah kepedulian sosial dan seruan moral untuk membantu mereka yang terdera oleh kehidupan. Penyair menyoroti bagaimana banyak orang di pelosok negeri hidup dalam luka dan penderitaan, tetapi tetap meletakkan harapan pada hati yang tulus.

Tema tambahan yang turut hadir meliputi:

  • solidaritas kemanusiaan,
  • tuntutan etis kepada generasi berpendidikan,
  • luka sosial dan ketimpangan hidup,
  • kerinduan terhadap komitmen nyata.

Puisi ini bercerita tentang sebuah seruan dari hati yang peduli—“tembang hati yang peduli”—yang mengalir dari penjuru negeri sebagai harapan bagi mereka yang telah lama menderita. Penyair menunjuk adanya kelompok masyarakat di pelosok yang lama “terdera”, diterpa “prahara kehidupan”, dan tetap menunggu seseorang yang berketulusan hati untuk menghadirkan perubahan.

Di bagian selanjutnya, puisi ini menggambarkan betapa luka sosial telah “menganga”, darah telah “tertumpah”, namun mereka tetap menanti “ikrar prasetia” dari orang-orang yang memiliki pendidikan dan kesempatan hidup lebih baik. Bahkan penyair menyinggung “kampus sering ditinggalkan”, menegaskan adanya harapan bahwa kaum terpelajar seharusnya menjadi agen perubahan, bukan menjauh dari realitas sosial.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat kuat, antara lain:

  1. Kritik sosial terhadap ketidakpedulian. Larik-larik seperti “kampus sering ditinggalkan” dan “lembutkanlah keangkuhan yang batu” menyiratkan bahwa penyair mengkritik sikap sebagian orang—terutama golongan terdidik—yang enggan turun tangan membantu mereka yang membutuhkan. Keangkuhan dan ketidakpekaan harus dilembutkan.
  2. Kesadaran kolektif yang diharapkan. Penyair mendorong tumbuhnya kesadaran dari mereka yang memiliki kesempatan hidup lebih baik untuk memungut “harapan dari sisa kenyataan” dan memberikan sesuatu yang nyata bagi rakyat kecil.
  3. Harapan yang tidak padam. Meskipun “luka sudah menganga” dan “darah sudah tertumpah”, penyair ingin menyampaikan bahwa kaum kecil tetap menyalakan harapan. Namun harapan itu hanya bisa bertemu kenyataan jika seseorang hadir dengan ketulusan.
  4. Tanggung jawab moral kaum terdidik. Kemunculan kata “kampus” tidak hanya menunjuk tempat, tetapi melambangkan kelompok intelektual. Penyair mengisyaratkan bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial, bukan sekadar mengutamakan kepentingan pribadi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini dapat digambarkan sebagai:

  • pedih,
  • haru,
  • memanggil empati,
  • penuh luka tetapi tetap menyimpan harapan,
  • menegur namun lembut.

Ada semacam nada elegi sosial, di mana kesedihan dan harapan bercampur menjadi satu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang ingin disampaikan oleh penyair sangat jelas dan penuh nilai kemanusiaan:

  1. Kepedulian adalah kewajiban moral, terutama bagi mereka yang dianugerahi pendidikan, suara, dan kesempatan.
  2. Jangan biarkan kesombongan atau “keangkuhan yang batu” membuat kita tuli terhadap jeritan mereka yang menderita.
  3. Harapan orang-orang kecil tidak boleh dibiarkan menggantung; ikrar dan janji harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
  4. Realitas sosial yang penuh luka harus direspons dengan ketulusan, bukan acuh tak acuh.
  5. Masyarakat harus saling menguatkan dalam menghadapi prahara kehidupan.

Imaji

Puisi ini menghadirkan sejumlah imaji kuat:

Imaji alam:

  • “yang ngalir dari arah mata angin”,
  • “menggenang dari lubuk mata air”,

menggambarkan kepedulian sebagai sesuatu yang murni, mengalir, dan menyentuh relung hati.

Imaji penderitaan:

  • “luka sudah menganga”,
  • “darah sudah tertumpah”,

menciptakan gambaran pedih dari sebuah realitas sosial.

Imaji harapan:

  • “harapan dari sisa kenyataan”—menggambarkan harapan yang kecil, tetapi tetap berharga.

Imaji sosial:

  • “kampus sering ditinggalkan” menimbulkan gambaran mahasiswa atau kaum intelektual yang menjauh dari kenyataan rakyat.

Majas

Beberapa majas yang tampak dominan dalam puisi:

Metafora:

  • “tembang hati yang peduli” (kepedulian sebagai nyanyian hati),
  • “beternak luka” secara konseptual dalam makna puisi-puisi sejenis.

Personifikasi:

  • Kepedulian digambarkan mengalir dan menggenang seperti makhluk hidup.

Hiperbola:

  • “luka sudah menganga”, “darah sudah tertumpah” untuk menekankan intensitas penderitaan.

Anaphora:

  • Pengulangan pada bagian “diikhlaskan sambil cari...” menciptakan irama ajakan.

Simbolik:

  • “Kampus” sebagai simbol kaum intelektual.
  • “Keangkuhan yang batu” sebagai simbol kerasnya hati manusia.

Puisi “Catatan Ciganjur: Tembang Hati yang Peduli” adalah seruan puitik untuk kembali menghidupkan hati nurani, memungut harapan-harapan kecil yang ditinggalkan di pelosok negeri, dan melembutkan hati yang keras oleh kesibukan atau ego. Diah Hadaning menggunakan bahasa yang jernih sekaligus tajam untuk memperlihatkan luka sosial, sambil tetap mengajak pembacanya menghidupkan kembali sikap peduli dan komitmen kemanusiaan.

"Puisi: Catatan Ciganjur Tembang Hati yang Peduli (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Catatan Ciganjur Tembang Hati yang Peduli
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.