Cermin
1973
Sumber: Suara Kesunyian (1981)
Analisis Puisi:
Puisi “Cermin” karya Korrie Layun Rampan adalah salah satu karya yang kuat secara simbolik dan emosional. Dengan citraan tajam, penuh kegelapan, dan kengerian yang datang dari dalam diri manusia sendiri, puisi ini menampilkan pergulatan identitas, trauma, dan luka batin yang tercermin saat seseorang menghadapi bayangan dirinya.
Melalui metafora serigala, gagak, darah, dan cermin yang pecah, penyair membangun lanskap batin yang suram dan penuh teror psikologis.
Tema
Tema utama puisi ini adalah ketakutan terhadap diri sendiri, atau lebih tepatnya, konfrontasi dengan sisi gelap manusia yang tercermin dalam cermin wajahnya sendiri. Cermin bukan sekadar benda, melainkan pintu menuju kedalaman batin, tempat luka, insting liar, dan keganasan tersimpan.
Tema-tema pendamping:
- luka dan penderitaan batin,
- kehancuran identitas,
- ketakutan eksistensial,
- kerapuhan manusia ketika berhadapan dengan dirinya sendiri.
Puisi ini bercerita tentang seseorang—atau kita semua—yang melihat cermin dan menemukan hal mengerikan di balik wajahnya sendiri.
Dalam bayangan cermin itu, muncul:
- “serigala” yang lapar dan ganas,
- “gagak” yang menyanyi seperti menyayat daging,
- matahari yang meratap dalam pecahan cermin,
- telaga yang mengaca darah hitam,
- luka yang mengucur tanpa henti.
Kemudian, manusia (kita) tiba-tiba “pecah dan terserak” dalam cermin—sebuah gambaran bahwa diri kita tidak lagi utuh. Yang tersisa hanya teriakan “aduh!” dan upaya meraba-raba, mencoba memahami apa yang terjadi.
Makna Tersirat
Puisi ini sarat makna tersirat, antara lain:
- Serigala sebagai simbol sisi liar manusia. Serigala-serigala yang “memburu di cermin wajah kita” melambangkan: nafsu, agresi, amarah, dan sisi gelap yang sering kita sembunyikan. Ketika bercermin, kita melihat bagian diri yang tidak ingin kita akui.
- Gagak sebagai simbol maut dan pertanda buruk. Gagak-gagak “menyayat-nyayat daging kita” menggambarkan: rasa bersalah, trauma masa lalu, dan ingatan gelap yang menghantui.
- Cermin sebagai simbol identitas yang retak. Cermin yang pecah dan wajah yang “pecah dan terserak” menunjukkan: kehilangan jati diri, krisis eksistensial, dan ketidakmampuan menerima kenyataan diri.
- Darah yang mengucur sebagai luka batin. Luka-luka ini bukan fisik, tapi luka: mental, moral, spiritual, yang terus mengalir dan tidak kunjung sembuh.
Suasana dalam puisi
Puisi ini membangun suasana mencekam, gelap, penuh teror, dan penuh rasa gentar. Ada nuansa ketakberdayaan dan kepasrahan, terutama pada bagian:
“Kita tiba-tiba pecah dan terserak dalam cermin wajah-wajah kita”
Suasana semakin pekat dengan bayangan serigala-serigala yang melolong, gagak yang berteriak, dan darah yang terus mengucur—semua menciptakan lanskap psikis yang kelam dan menakutkan.
Amanat / Pesan
Beberapa pesan yang dapat ditafsirkan:
- Manusia harus berani menghadapi sisi gelap dirinya. Lari dari kenyataan hanya membuat diri semakin pecah dan terserak.
- Luka batin tidak hilang jika tidak dihadapi. Bayangan cermin menunjukkan bahwa luka itu nyata, dan harus disadari.
- Identitas manusia rapuh, dan bisa retak jika tidak dipahami.
- Kita sering hanya berteriak dan meraba-raba, tetapi tidak sungguh mencari solusi.
Penyair memberikan kritik lembut terhadap manusia yang hanya “mengeluh” tanpa melihat akar permasalahannya.
Imaji
Puisi ini kaya sekali dengan imaji visual dan auditorik, antara lain:
Imaji visual:
- “Ada sejuta serigala memburu di cermin wajah kita”
- “Telaga mengaca darah hitam”
- “Cermin dingin yang remuk”
- “Luka yang mengucur darah”
Gambaran ini efektif menciptakan sensasi horror psikologis.
Imaji auditorik:
- “Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba”
- “Serigala melulung”
- “Gagak-gagak berteriak”
Imaji suara ini menghadirkan suasana tegang dan liar, seolah pembaca ikut berada dalam rimba batin tokoh.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:
Personifikasi
- “Matahari meratap”
- “Telaga mengaca darah hitam”
Metafora
- serigala = naluri gelap manusia
- gagak = pertanda buruk atau trauma
- cermin = refleksi identitas atau batin
Hiperbola
- “Ada sejuta serigala”
- “Kita tiba-tiba pecah dan terserak”
Puisi "Cermin" adalah karya intens yang mengajak pembaca melihat lebih jauh ke dalam diri. Korrie Layun Rampan menggunakan cermin sebagai medium psikologis untuk mengungkap sisi gelap manusia: naluri liar, trauma, luka batin, dan kehancuran identitas. Dengan imaji kuat dan suasana gelap, puisi ini mengingatkan kita bahwa mengenali diri sendiri adalah perjalanan paling menakutkan—dan paling penting.
Karya: Korrie Layun Rampan
Biodata Korrie Layun Rampan:
- Korrie Layun Rampan adalah seorang penulis (penyair, cerpenis, novelis, penerjemah), editor, dan kritikus sastra Indonesia berdarah Dayak Benuaq.
- Korrie Layun Rampan lahir pada tanggal 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur.
- Korrie Layun Rampan meninggal dunia pada tanggal 19 November 2015 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat.
