Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Cinta yang Tak Tumbuh Tepat Waktu (Karya Rizal De Loesie)

Puisi “Cinta yang Tak Tumbuh Tepat Waktu” bercerita tentang sepasang manusia yang saling mencintai, namun cinta itu hadir pada situasi yang tidak ...

Cinta yang Tak Tumbuh Tepat Waktu

Jika dunia ini
sedikit saja melonggarkan bahunya,
mungkin kita tak perlu memilih
antara cinta dan pulang.
Tapi bumi berputar pada porosnya sendiri.

Begitu pula kita
terlalu muda,
terlalu takut menantang
apa yang telah tercatat sebelum kita lahir.

Mungkin di kelahiran lain
kau akan menemukan aku
tanpa nama, tanpa agama,
tanpa apa pun
yang bisa menghalangi kita.

Namun di dunia ini,
cinta kita tumbuh di tanah
yang terlalu keras
untuk menampung akar.

Bandung, 2025

Analisis Puisi:

Puisi “Cinta yang Tak Tumbuh Tepat Waktu” karya Rizal De Loesie menghadirkan potret getir tentang cinta yang lahir pada kondisi yang tidak mendukung. Cinta dalam puisi ini bukan sekadar perasaan, melainkan sesuatu yang harus berhadapan dengan realitas, batasan sosial, dan waktu yang tidak berpihak.

Tema

Tema utama puisi ini adalah cinta yang terhalang oleh keadaan—baik oleh usia, takdir, aturan sosial, maupun “waktu” yang tidak memberi kesempatan. Puisi ini memperlihatkan bagaimana dua orang saling memiliki rasa, tetapi kondisi dunia dan kemampuan mereka sebagai manusia tidak cukup untuk memperjuangkannya.

Puisi ini bercerita tentang sepasang manusia yang saling mencintai, namun cinta itu hadir pada situasi yang tidak memungkinkan mereka untuk bersatu. Mereka merasa “terlalu muda” dan “terlalu takut” menghadapi apa yang sudah ditetapkan dunia sebelum mereka lahir. Penyesalan yang lembut tampak ketika penyair menyinggung kemungkinan “kelahiran lain” di mana cinta mereka mungkin bisa berkembang tanpa batas-batas sosial dan identitas.

Makna Tersirat

Ada beberapa makna tersirat yang mengalir dalam baris-barisnya:
  1. Cinta butuh ruang — “Jika dunia ini sedikit saja melonggarkan bahunya” menunjukkan bahwa cinta bisa tumbuh jika lingkungan memberi ruang dan kelapangan.
  2. Takdir dan konstruksi sosial membatasi manusia — frasa “apa yang telah tercatat sebelum kita lahir” menyiratkan norma, agama, tradisi, dan batasan sosial yang diwariskan dan harus dihadapi generasi setelahnya.
  3. Cinta tak selalu menang — metafora pada akhir puisi menggambarkan cinta sebagai tanaman yang akarnya tak bisa menembus tanah yang keras. Artinya, cinta sekuat apa pun bisa gagal jika kondisi tidak mendukung.
  4. Keinginan untuk melampaui identitas — bait tentang pertemuan tanpa nama dan agama adalah simbol keinginan untuk mencintai secara murni, tanpa atribut-atribut sosial yang sering menjadi penghalang.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini cenderung melankolis, lirih, dan pasrah, tetapi tidak sepenuhnya putus asa. Ada nada kerinduan dan harapan yang samar, terutama ketika penyair membayangkan “kelahiran lain” sebagai ruang kemungkinan cinta yang lebih bebas.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini antara lain:
  1. Tidak semua cinta bisa diperjuangkan, dan kadang manusia harus menerima bahwa keadaan lebih kuat dari keinginan.
  2. Cinta membutuhkan keberanian, tetapi juga membutuhkan waktu dan ruang yang sesuai.
  3. Kita hidup dalam sistem dan takdir tertentu, sehingga tidak semua hal bisa dipaksakan hanya dengan perasaan.
  4. Harapan tetap penting, meski ia hadir sebagai kemungkinan yang jauh—seperti “kelahiran lain”.

Imaji dalam Puisi

Rizal De Loesie menggunakan beberapa imaji yang kuat dan efektif:
  • Imaji ruang: “dunia melonggarkan bahunya” menggambarkan dunia seakan-akan memiliki tubuh yang bisa memberi kelapangan.
  • Imaji kosmis: “bumi berputar pada porosnya sendiri” menghadirkan gambaran besar tentang keteraturan alam yang tidak bisa diubah, paralel dengan nasib manusia.
  • Imaji tumbuhan: “cinta kita tumbuh di tanah yang terlalu keras untuk menampung akar” menunjukkan cinta sebagai tanaman yang tidak mendapat tanah subur.
  • Imaji kelahiran kembali: memberi gambaran kehidupan lain di mana cinta mungkin lebih bebas.
Imaji-imaji ini memperkuat suasana melankolis dan memberi dimensi universal pada konflik personal dalam puisi.

Majas yang Digunakan

Beberapa majas mencolok dalam puisi ini antara lain:

Personifikasi
  • “Jika dunia ini sedikit saja melonggarkan bahunya” → dunia diperlakukan seperti manusia.
  • “tanah yang terlalu keras untuk menampung akar” → tanah digambarkan seperti memiliki kehendak.
Metafora
  • Cinta sebagai tanaman berakar.
  • Dunia sebagai ruang fisik yang sempit.
Hiperbola
  • Keinginan untuk bertemu “tanpa nama, tanpa agama, tanpa apa pun” memberi kesan pelepasan total dari identitas.
Simbolisme
  • “terlalu muda” dan “terlalu takut” melambangkan ketidaksiapan emosional maupun sosial.
Puisi “Cinta yang Tak Tumbuh Tepat Waktu” merupakan refleksi puitis tentang cinta yang hadir di tempat, waktu, dan kondisi yang tidak mendukung. Lewat perpaduan imaji, majas, dan diksi yang lembut, Rizal De Loesie menegaskan bahwa cinta, betapapun kuatnya, tetap membutuhkan ruang dan kebebasan yang tidak selalu disediakan oleh dunia. Puisi ini mengajak pembaca mengenali keterbatasan manusia sekaligus merawat harapan, meski melalui angan tentang kehidupan lain.

Rizal De Loesie
Puisi: Cinta yang Tak Tumbuh Tepat Waktu
Karya: Rizal De Loesie

Biodata Rizal De Loesie:
  • Rizal De Loesie (nama pena dari Drs. Yufrizal, M.M) adalah seorang ASN Pemerintah Kota Bandung. Penulis puisi, cerpen dan artikel pendidikan. Telah menerbitkan beberapa buku puisi solo dan puisi antologi bersama, serta cerita pendek.
© Sepenuhnya. All rights reserved.