Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Destinasi Pagi (Karya I Nyoman Wirata)

Puisi “Destinasi Pagi” karya I Nyoman Wirata bercerita tentang perjalanan manusia dari awal kehidupan menuju kesadaran diri dan nilai kemanusiaan.
Destinasi Pagi

Pagi adalah warna kuning
Siang belum juga terang
Kekuasaan berangkat mencari pembunuhnya sendiri
Menunggu pejuang lahir
Dari rahim ibu waktu

Pagi adalah cahaya
Kugubah lagu
Agar anak-anak memiliki nyanyian 
Agar kelak selalu bertanya: apa aku akan sampai
Di tujuan 
Menjadi manusia?

17/07/2017

Analisis Puisi:

Puisi “Destinasi Pagi” karya I Nyoman Wirata adalah karya yang sarat dengan simbol, renungan, dan semangat eksistensial. Penyair menggunakan diksi-diksi yang sederhana namun bermakna dalam, menyingkap hubungan antara waktu, perjuangan, dan kemanusiaan. Dalam dua bait pendek, puisi ini menggambarkan perjalanan manusia dari kelahiran hingga pencarian makna hidupnya, dengan “pagi” sebagai lambang awal perjalanan tersebut.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian makna hidup dan kebangkitan kemanusiaan. Melalui metafora “pagi”, penyair menggambarkan momen awal yang penuh harapan, tetapi juga mengandung pertanyaan tentang arah dan tujuan kehidupan. “Pagi” di sini bukan sekadar waktu, melainkan simbol permulaan perjuangan menuju kesadaran manusiawi dan moral.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan manusia dari awal kehidupan menuju kesadaran diri dan nilai kemanusiaan.

Baris pertama, “Pagi adalah warna kuning”, mengisyaratkan sinar, semangat, dan kehidupan baru. Warna kuning adalah warna cahaya matahari yang hangat, melambangkan harapan dan awal perjalanan. Namun, bait berikutnya mengandung nada ambigu:

“Siang belum juga terang / Kekuasaan berangkat mencari pembunuhnya sendiri.”

Baris ini menggambarkan ironi: meskipun pagi sudah datang (awal kehidupan dan harapan telah muncul), dunia belum benar-benar terang—masih ada kegelapan moral, kekuasaan yang menghancurkan dirinya sendiri, dan kehilangan arah nilai kemanusiaan.

Baris selanjutnya, “Menunggu pejuang lahir / Dari rahim ibu waktu”, mengandung makna simbolik yang kuat: dunia sedang menanti lahirnya generasi baru—pejuang yang membawa perubahan, lahir dari rahim “ibu waktu”, yakni perjalanan sejarah.

Bait kedua menunjukkan peralihan dari suasana kontemplatif menuju pernyataan yang lebih personal dan humanistik:

“Pagi adalah cahaya / Kugubah lagu / Agar anak-anak memiliki nyanyian.”

Baris ini menunjukkan usaha penyair untuk menciptakan harapan melalui karya (lagu/puisi) bagi generasi masa depan. Anak-anak di sini menjadi simbol kelanjutan hidup, penerus semangat kemanusiaan.

Pertanyaan penutup, “Agar kelak selalu bertanya: apa aku akan sampai / Di tujuan / Menjadi manusia?”, menegaskan perenungan eksistensial tentang hakikat menjadi manusia. Puisi ini bukan sekadar refleksi, tetapi juga ajakan untuk mempertanyakan arah hidup dan moralitas.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Destinasi Pagi” adalah panggilan moral untuk membangun kesadaran dan kemanusiaan di tengah dunia yang kehilangan nilai-nilai luhur.

“Pagi” dalam puisi ini bukan hanya simbol waktu, tetapi simbol kebangkitan — sebuah momen ketika manusia dihadapkan pada pilihan untuk memperbaiki diri dan dunia. Namun, “siang belum juga terang” menunjukkan bahwa perjalanan menuju pencerahan moral belum selesai; masih ada kegelapan yang harus dilawan.

Baris “Kekuasaan berangkat mencari pembunuhnya sendiri” adalah satir terhadap sistem kekuasaan yang korup dan menghancurkan dirinya karena keserakahan. Ini bisa dimaknai sebagai kritik sosial terhadap kekuasaan yang kehilangan nilai kemanusiaan.

Sementara itu, “Menunggu pejuang lahir dari rahim ibu waktu” menunjukkan keyakinan penyair bahwa perubahan membutuhkan waktu dan akan lahir dari rahim sejarah — dari mereka yang sadar dan berjuang demi nilai kemanusiaan.

Pada akhirnya, puisi ini menegaskan bahwa menjadi manusia sejati bukan perkara mudah; ia adalah tujuan perjalanan panjang, sebagaimana ditanyakan dalam baris penutup: “Apa aku akan sampai di tujuan menjadi manusia?”

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini kontemplatif, reflektif, dan penuh harapan yang berlapis duka. Terdapat nuansa kesunyian batin di awal—seolah dunia masih gelap meski pagi telah tiba. Namun di balik itu, ada cahaya optimisme: penyair masih menulis, menggubah lagu, dan berharap anak-anak kelak bertanya tentang makna kemanusiaan.

Perpaduan antara kegelapan dan cahaya menciptakan suasana yang ambigu tapi dalam: sedih sekaligus penuh tekad. Ini membuat pembaca merasa ikut merenung, seperti ikut menyaksikan pergulatan manusia dengan nurani dan zamannya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa menjadi manusia sejati adalah perjalanan panjang yang harus diperjuangkan dengan kesadaran, cinta, dan kejujuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Penyair seolah ingin mengingatkan bahwa zaman boleh berubah, kekuasaan boleh berganti, tetapi pertanyaan tentang “apa arti menjadi manusia?” tidak boleh hilang.

Puisi ini juga menyampaikan pesan bahwa perubahan moral dan sosial hanya bisa lahir dari generasi yang memiliki kesadaran dan harapan baru—pejuang yang lahir dari “rahim ibu waktu”.

Selain itu, puisi ini mengajak pembaca untuk menghargai arti waktu, perjalanan, dan peran setiap individu dalam menciptakan “pagi” yang benar-benar terang, bukan sekadar simbolik.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual dan spiritual. Beberapa imaji yang menonjol antara lain:
  • “Pagi adalah warna kuning” → imaji visual yang menghadirkan sinar lembut matahari, simbol harapan dan permulaan.
  • “Siang belum juga terang” → imaji paradoksal, menggambarkan dunia yang seolah masih gelap meski cahaya telah datang.
  • “Kekuasaan berangkat mencari pembunuhnya sendiri” → imaji simbolik dan dramatis, melukiskan kehancuran moral dari dalam diri kekuasaan.
  • “Menunggu pejuang lahir dari rahim ibu waktu” → imaji kelahiran yang menggugah, menyatukan konsep waktu, perjuangan, dan harapan.
  • “Kugubah lagu agar anak-anak memiliki nyanyian” → imaji lembut dan optimistik, melambangkan pewarisan nilai dan budaya kepada generasi muda.
Imaji dalam puisi ini menciptakan lanskap batin yang luas: dari kegelapan sosial menuju cahaya spiritual.

Majas

Beberapa majas (gaya bahasa) yang digunakan oleh I Nyoman Wirata dalam puisi ini antara lain:

Metafora
  • “Pagi adalah warna kuning” → menggambarkan pagi sebagai simbol harapan dan awal kehidupan.
  • “Kekuasaan berangkat mencari pembunuhnya sendiri” → metafora kritik sosial, menggambarkan kehancuran moral akibat keserakahan kekuasaan.
  • “Rahim ibu waktu” → waktu dipersonifikasikan sebagai ibu yang melahirkan pejuang atau generasi baru.
Personifikasi
  • “Waktu” dan “kekuasaan” digambarkan memiliki sifat manusiawi seperti bisa melahirkan atau mencari sesuatu.
Simbolisme
  • “Pagi” dan “cahaya” sebagai lambang harapan, kesadaran, dan kemanusiaan.
  • “Anak-anak” sebagai simbol masa depan dan kepolosan yang harus dijaga.
Pertanyaan retoris
  • “Apa aku akan sampai di tujuan menjadi manusia?” → pertanyaan yang menggugah pembaca untuk merenung tentang eksistensinya sendiri.
Puisi “Destinasi Pagi” karya I Nyoman Wirata adalah karya reflektif yang mengajak pembaca merenungi perjalanan manusia menuju kemanusiaan sejati. Dengan simbol-simbol kuat seperti “pagi”, “waktu”, dan “anak-anak”, penyair menyingkap pergulatan antara harapan dan kenyataan, antara kekuasaan dan nurani.

Di balik keindahan bahasanya, puisi ini menyimpan pesan universal: bahwa setiap manusia memiliki “destinasi pagi”—sebuah tujuan moral dan spiritual yang harus dicapai, agar hidup tidak sekadar berlangsung, tetapi juga bermakna.

I Nyoman Wirata
Puisi: Destinasi Pagi
Karya: I Nyoman Wirata
© Sepenuhnya. All rights reserved.