Analisis Puisi:
Puisi “Di Depan Gedung Parlemen” karya Aspar Paturusi merupakan karya yang sarat kritik sosial dan perenungan emosional. Melalui pengalaman sederhana—melintas di depan gedung parlemen—penyair menyampaikan rasa sedih, kehilangan kepercayaan, dan kehampaan atas harapan rakyat yang tak kunjung diperjuangkan.
Dengan bahasa yang tenang namun penuh beban, puisi ini menyodorkan potret hubungan rakyat dan lembaga politik yang seharusnya menjadi representasi suara mereka, tetapi justru menimbulkan jarak.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kekecewaan rakyat terhadap parlemen. Penyair memotret gedung parlemen sebagai tempat yang kosong secara moral, penuh janji, namun minim suara untuk rakyat.
Tema tambahan yang muncul:
- kematian harapan
- keheningan politik
- ketidakpedulian wakil rakyat
Semua tema ini saling terhubung dalam gambaran sedih seseorang yang sekadar melintas tetapi disergap oleh perasaan kehilangan.
Puisi ini bercerita tentang seorang penyair atau tokoh lirik yang melintas di depan gedung parlemen. Saat melintas, ia merasakan kesedihan mendalam dan melihat:
- harapan-harapan rakyat yang “terbang”
- halaman parlemen yang sunyi
- janji-janji politik yang berdesakan di gerbang
- pertanyaan apakah para wakil rakyat masih mengingat rakyat yang memilih mereka
Perjalanan melintas ini bukan perjalanan fisik semata, tetapi perjalanan batin penuh beban. Pada akhirnya tokoh lirik bertanya: “Kugendong kemana rasa sedih ini?”—sebuah pengakuan bahwa kekecewaan itu ingin dibuang tetapi terus mengikuti.
Makna Tersirat
Puisi ini memiliki beberapa makna tersirat yang kuat:
- Rakyat merasa ditinggalkan oleh wakilnya. Harapan yang “terbang” merupakan simbol hilangnya kepercayaan rakyat.
- Gedung parlemen menjadi simbol kekosongan moral. “Sunyi mendiami seluruh halaman” menggambarkan bahwa tidak ada lagi suara keberpihakan pada rakyat.
- Janji politik dianggap omong kosong. “Segulung janji berdesakan di gerbang” menandakan banyaknya janji yang dibuat, tetapi tetap berada di luar gerbang—tidak masuk menjadi tindakan.
- Kekecewaan rakyat bersifat personal dan emosional. Pertanyaan “apakah mereka masih ingat aku?” menegaskan bahwa rakyat merasa terlupakan, bahkan dilepas begitu saja setelah masa kampanye usai.
- Politik tidak lagi menjadi ruang aspirasi. “Tak terdengar suara yang lantang” menunjukkan hilangnya fungsi dasar parlemen sebagai penyambung suara rakyat.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dibangun sangat jelas:
- sedih
- sepi
- suram
- hampa
- melankolis
Seluruh suasana ini konsisten dalam setiap bait, mempertegas betapa terlukanya tokoh lirik melihat kondisi parlemen yang kehilangan ruh kerakyatan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa amanat yang dapat disimpulkan:
- Parlemen harus kembali pada fungsinya sebagai penyambung suara rakyat.
- Jangan lupakan janji, karena rakyat menyimpannya sebagai harapan.
- Jabatan publik bukan hanya ruang kekuasaan, tetapi ruang pengabdian.
- Sunyi dalam politik adalah tanda matinya keberpihakan.
- Kekecewaan rakyat muncul ketika para wakilnya berhenti mendengar.
Puisi ini tidak hanya mengkritik, tetapi juga menyampaikan pesan moral bahwa kekuasaan seharusnya tidak menjauh dari rakyat yang menitipkan kepercayaan.
Imaji
Puisi ini menggunakan beberapa imaji visual yang kuat:
- “setumpuk harapan terbang / seraya melambaikan salam perpisahan”. Imaji visual yang memperlihatkan harapan rakyat seperti burung yang pergi meninggalkan.
- “sunyi mendiami seluruh halaman”. Imaji suasana yang menggambarkan kesenyapan sebagai sesuatu yang hidup dan menghuni.
- “segulung janji berdesakan di gerbang”. Imaji visual yang kuat—janji seperti orang atau barang yang tidak mendapat tempat.
- “kugendong kemana rasa sedih ini?”. Imaji batin: seolah kesedihan memiliki bobot dan harus dibawa ke suatu tempat.
Imaji-imaji ini membuat puisi sederhana terasa hidup dan menyentuh.
Majas
Puisi ini juga memanfaatkan beberapa majas:
Personifikasi
- “harapan terbang melambaikan salam perpisahan”
- “sunyi mendiami seluruh halaman”
- “janji berdesakan di gerbang”
Semua majas ini memberi kehidupan pada konsep abstrak.
Metafora
- Harapan sebagai sesuatu yang bisa “terbang”
- Janji sebagai gulungan yang berdesakan
- Rasa sedih yang “digendong”
Repetisi
- Frasa “melintas di depan gedung parlemen” diulang pada tiap bait, menegaskan beban emosional yang terus berulang.
- Repetisi ini juga menjadi kritik simbolik bahwa setiap kali rakyat “melintas”—baik secara harfiah maupun metaforis—yang mereka jumpai tetaplah kekecewaan yang sama.
Puisi “Di Depan Gedung Parlemen” karya Aspar Paturusi merupakan kritik sosial yang halus namun tajam. Penyair menggambarkan perasaan rakyat yang kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap parlemen, lembaga yang seharusnya mengemban suara mereka. Dengan suasana muram, imaji kuat, dan metafora yang menyentuh, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan ulang hubungan antara rakyat dan wakilnya.
Karya: Aspar Paturusi
Biodata Aspar Paturusi:
- Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
- Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
