Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Sawah-Sawah Tuhan (Karya Eka Budianta)

Puisi “Di Sawah-Sawah Tuhan” karya Eka Budianta bercerita tentang seseorang yang menyaksikan perubahan besar dalam kehidupan sosial dan spiritual ...
Di Sawah-Sawah Tuhan

Di sawah-sawah Tuhan,
kunang-kunang berhenti menari
Mata air menangis siang dan malam
Burung-burung selalu berdoa
Dan aku tumbuh bagai padi
Yang diam-diam mencintaimu

Di sawah-sawah Tuhan, reformasi menyala
Dalam kuning pagi, dalam merah sore
Dalam biru siang dan coklat malam
Anak-anak mengubah dunia
Menjadi pasar, menjadi partai
Pohon-pohon lilin abadi.

Akulah gembala bebek yang menangis itu,
Terbenam di sawah-sawah Tuhan
Ketika kamu berhenti merindu
Ketika gereja-gereja dibakar
Dan hidup berbangsa jadi dongeng

Di sawah-sawah aku terbenam
Dalam pusaran alih jaman
Sungai-sungai mabok kebebasan
Kamu dan aku sembunyikan rahasia
Seperti padi, seperti rumput dan jerami
Sesaat sebelum dilalap api.

Dari lukisan F. Rahardi
Jakarta, 1998

Sumber: Masih bersama Langit (2000)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Sawah-Sawah Tuhan” karya Eka Budianta merupakan karya liris yang memadukan keindahan alam pedesaan dengan kritik sosial dan renungan spiritual. Melalui gambaran sawah—yang menjadi simbol kesuburan, keheningan, dan kehidupan—penyair mengungkapkan betapa besar perubahan zaman telah mengguncang ruang-ruang yang sebelumnya suci dan penuh harmoni.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perubahan zaman yang menggerus kesucian dan ketenangan kehidupan, serta konflik sosial dan kegelisahan spiritual yang menyertainya. Sawah—diibaratkan sebagai “sawah-sawah Tuhan”—menjadi latar simbolik untuk menggambarkan dunia yang dulunya tenteram tetapi kini diguncang perubahan sosial, politik, dan moral.

Ada pula tema tambahan seperti:
  • Kerinduan dan kehilangan
  • Pergulatan identitas di tengah perubahan
  • Kesadaran ekologis dan spiritual
Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang menyaksikan perubahan besar dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat, digambarkan melalui simbol-simbol alam yang rusak, ritual yang kehilangan makna, dan masa depan yang diliputi ketidakpastian.

Pada bagian awal, sawah menjadi tempat suci: kunang-kunang menari, mata air menangis, burung berdoa, dan aku lirik tumbuh seperti padi. Semua menunjukkan keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Namun, pada bagian berikutnya, sawah itu berubah menjadi simbol kekacauan: reformasi menyala, anak-anak mengubah dunia menjadi pasar dan partai, dan pohon-pohon menjadi “lilin abadi”—seakan kehilangan kehidupan.

Sebagai gembala bebek, aku lirik menangis melihat kerusuhan, pembakaran gereja, dan kehidupan berbangsa yang berubah menjadi dongeng. Sawah itu kini menjadi tempat tenggelamnya harapan.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat yang dapat dibaca:
  1. Kehidupan harmonis yang hilang. Sawah—ruang paling alamiah dan bersahaja—progresif dilanda modernitas, konflik, dan kekacauan politik.
  2. Kritik terhadap reformasi yang tidak sepenuhnya membawa kebaikan. “Reformasi menyala” digambarkan sebagai api perubahan yang tidak selalu positif; ia memengaruhi tatanan sosial dan nilai-nilai masyarakat.
  3. Kehilangan spiritualitas. “Mata air menangis”, “burung berdoa”, dan “kunang-kunang berhenti menari” menandai hilangnya kesakralan hidup.
  4. Kerapuhan cinta dan hubungan manusia. Ada sisi personal—ketika “kamu berhenti merindu”. Perubahan besar tidak hanya memengaruhi bangsa, tetapi juga hati manusia.
  5. Ancaman terhadap alam dan kehidupan ekologis. Padi, rumput, jerami “dilalap api”, yang menyiratkan kehancuran alam akibat konflik atau perubahan sosial yang destruktif.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini melankolis, muram, spiritual, dan kontemplatif. Di awal, suasananya tenang dan penuh kesucian. Namun, seiring bait berikutnya, suasana berubah menjadi:
  • gelisah, ketika reformasi menyala dan dunia berubah
  • sedih, ketika tokoh “aku” menangis dan tempat ibadah dibakar
  • suram, ketika alam digambarkan terbakar dan tenggelam dalam pusaran zaman
Kontras suasana ini memperkuat pesan bahwa perubahan tidak selalu membawa kedamaian, bahkan bisa menelan nilai-nilai luhur.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat yang dapat ditafsirkan:
  1. Jagalah harmoni antara alam, manusia, dan Tuhan. Sawah-sawah Tuhan adalah simbol kesucian yang harus dijaga, bukan dirusak oleh konflik dan keserakahan.
  2. Perubahan sosial dan politik harus disertai nilai moral. Tanpa nilai spiritual, manusia dapat kehilangan arah; reformasi bisa menghanguskan, bukan menyuburkan.
  3. Jangan melupakan akar tradisi dan kesucian hidup. Padi, rumput, dan jerami adalah simbol kehidupan yang jujur dan bersahaja—jangan biarkan nilai itu musnah.
  4. Kehidupan berbangsa memerlukan kasih sayang dan kerinduan. “Ketika kamu berhenti merindu” menutup lapisan makna personal: cinta adalah penopang kehidupan.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini kaya dengan imaji visual, imaji alam, dan imaji spiritual:
  • “kunang-kunang berhenti menari” → imaji visual yang mengabarkan berhentinya keindahan.
  • “mata air menangis” → imaji personifikasi yang memberi kesan kesedihan alam.
  • “pohon-pohon lilin abadi” → imaji yang membuat pembaca merasakan kemandekan kehidupan.
  • “sungai-sungai mabok kebebasan” → gambaran hiperbola tentang masyarakat yang kehilangan kendali.
  • “padi, rumput, dan jerami sebelum dilalap api” → imaji tragis tentang kehancuran ekologis.
Imaji ini menghadirkan kontras antara kesucian awal dan kehancuran akhir.

Majas yang Digunakan

Beberapa majas yang menonjol:

Personifikasi
  • “mata air menangis”
  • “burung-burung selalu berdoa”
  • “kunang-kunang berhenti menari”
Semua ini membuat alam seolah memiliki emosi dan spiritualitas.

Metafora
  • “Di sawah-sawah Tuhan” sebagai metafora dunia suci.
  • “Aku tumbuh bagai padi” menggambarkan pertumbuhan jiwa dan kesederhanaan.
  • “Reformasi menyala” sebagai metafora perubahan sosial yang bergolak.
Hiperbola
  • “sungai-sungai mabok kebebasan” → perubahan ekstrem dan tanpa kendali.
Simbolisme
  • Sawah → kesucian, harmoni.
  • Api → konflik, perubahan destruktif.
  • Padi/rumput/jerami → kehidupan, tradisi, ketulusan.
Puisi “Di Sawah-Sawah Tuhan” menggambarkan perjalanan spiritual dan sosial seorang individu yang menyaksikan kehancuran harmoni akibat perubahan zaman. Dengan tema besar tentang kehilangan dan pergolakan nilai, Eka Budianta berhasil menyatukan keindahan alam dengan tragedi sosial dalam bahasa yang kuat dan penuh simbolisme.

Puisi: Di Sawah-Sawah Tuhan
Puisi: Di Sawah-Sawah Tuhan
Karya: Eka Budianta

Biodata Eka Budianta:
  • Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo.
  • Eka Budianta lahir pada tanggal 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.