Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Diri (Karya Korrie Layun Rampan)

Puisi “Diri” karya Korrie Layun Rampan bercerita tentang seseorang yang mencoba melihat kembali hidupnya setelah melewati banyak kesia-siaan. Ia ...

Diri


Apakah yang masih tertinggal dari percakapan
Busa telah mengental di dasar gelas, pohon-pohon limbung
Sementara kelasi menghabisi sisa maboknya

Alam murni tiba-tiba melepaskan isyarat ke arah kita
yang terperas tuntas. Angka-angka telah sampai pada kewujudan
tentang mula Penciptaan, sepi yang dalam

Lama aku jadi fasik, lilih-letih mengeja Firman
Kutinggalkan lembah yang membuai musik mati. Kuraih Aku
Diri yang telanjang di depan mata-Nya sendu

1975

Sumber: Suara Kesunyian (1981)

Analisis Puisi:

Puisi “Diri” karya Korrie Layun Rampan adalah sebuah renungan spiritual yang pekat, menghadirkan pergulatan batin antara manusia dan kekuatan Ilahi, antara pencarian makna dan kesadaran akan kefanaan. Dengan bahasa yang kontemplatif dan simbolis, penyair membangun suasana yang penuh sepi, pasrah, dan pencarian diri yang mendalam. Puisi ini merupakan salah satu bentuk perjalanan rohani seorang manusia yang kembali menatap hakikat eksistensinya di hadapan Tuhan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian spiritual dan pergulatan batin manusia dengan Tuhannya. Selain itu, muncul pula tema-tema lain seperti:
  • perjalanan kembali kepada Sang Pencipta
  • kesadaran akan kefasikan dan dosa
  • kesunyian batin
  • usaha memahami Firman dan makna hidup
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mencoba melihat kembali hidupnya setelah melewati banyak kesia-siaan. Ia merenungkan percakapan yang telah terjadi, sisa-sisa kehidupan yang tampak pada “busa mengental di dasar gelas” atau “kelasi menghabisi sisa maboknya”.

Alam seolah memberikan isyarat—pesan yang mengajak manusia kembali pada kesadaran asal penciptaan dan kesunyian terdalam. Penyair mengakui bahwa dirinya telah lama “fasik” dan lelah mengeja Firman, tetapi kini ia mencoba “meraih Aku”. Pada akhirnya, ia menemukan dirinya yang telanjang, tanpa topeng, berdiri di hadapan Tuhan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini kaya dan mendalam:
  1. Kesadaran diri atas kefasihan spiritual. Penyair menyadari bahwa ia telah menjauh dari jalan kebenaran (“lama aku jadi fasik”), dan kini ia mencoba kembali mendekat kepada Tuhan.
  2. Hidup duniawi meninggalkan jejak kehampaan. Simbol busa di dasar gelas atau kelasi yang mabuk menggambarkan aktivitas dunia yang sementara, tidak membawa manusia kepada kedalaman makna.
  3. Alam sebagai pengingat spiritual. “Alam murni memberi isyarat” menunjukkan bahwa alam adalah medium Tuhan untuk mengingatkan manusia tentang keberadaan dan tujuan hidup.
  4. Kesunyian sebagai tempat bertemu diri. “Sepi yang dalam” bukan kekosongan, tetapi ruang batin tempat manusia dapat menemukan dirinya dan Tuhan.
  5. Ketelanjangan eksistensial. “Diri yang telanjang” berarti kesadaran total akan kelemahan manusia di hadapan Tuhan—tanpa kedok, tanpa kemunafikan, tanpa kepura-puraan.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini memiliki suasana:
  • Kontemplatif: Bahasanya penuh renungan dan kesadaran batin.
  • Sunyi dan sakral: Banyak gambaran tentang kesepian, isyarat alam, dan kedalaman spiritual.
  • Sedikit kelam, namun penuh harapan: Kesadaran akan kefasikan membawa suasana kelam, tetapi usaha “meraih Aku” memberi cahaya.

Imaji dalam Puisi

Meskipun bertema transenden, puisi ini penuh imaji konkret:

Imaji visual kehidupan sehari-hari
  • busa mengental di dasar gelas
  • pohon-pohon limbung
  • kelasi menghabisi sisa maboknya
Imaji ini menunjukkan dunia yang melelahkan dan tidak stabil.

Imaji alam yang simbolis
  • alam murni melepaskan isyarat
  • sepi yang dalam
Imaji ini memperkuat makna spiritual, seolah alam berbicara kepada manusia.

Imaji religius dan eksistensial
  • meneja Firman
  • Diri yang telanjang di depan mata-Nya
Ini menggambarkan manusia dalam kondisi paling jujur dan rapuh.

Majas yang Digunakan

Beberapa majas tampak dalam puisi ini:

Metafora
  • busa mengental di dasar gelas → sisa perbincangan atau hidup duniawi yang tak berarti.
  • Diri yang telanjang → kejujuran total di hadapan Tuhan.
Personifikasi
  • alam murni melepaskan isyarat → alam digambarkan memiliki kehendak.
Simbol
  • kelasi mabuk → gambaran manusia yang tersesat.
  • musik mati → kehidupan spiritual yang kosong.
Alusi religius
  • Rujukan pada “Firman” dan “Penciptaan”.
Hiperbola halus
  • Menggambarkan kejenuhan spiritual melalui frase “lilih-letih mengeja Firman”.

Amanat atau Pesan

Puisi ini memberikan beberapa pesan penting:
  1. Kembalilah kepada diri sejati dan Tuhan. Dalam kelelahan dan kesesatan, manusia harus memulihkan hubungan spiritualnya.
  2. Dunia tidak memberikan jawaban sejati. Percakapan, mabuk, dan aktivitas duniawi adalah kesementaraan yang meninggalkan kehampaan.
  3. Alam adalah pengingat akan penciptaan. Manusia perlu membaca tanda-tanda spiritual yang hadir di sekitarnya.
  4. Kejujuran batin adalah awal keselamatan. Menjadi “telanjang” berarti berani mengakui kesalahan dan kerentanan di hadapan Tuhan.
Puisi “Diri” karya Korrie Layun Rampan adalah puisi kontemplatif yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang manusia yang lelah oleh dunia, lalu kembali menatap dirinya sendiri dan Pencipta. Dengan imaji yang kuat, suasana mendalam, dan simbolisme religius, penyair berhasil menampilkan pergulatan batin yang indah sekaligus penuh luka. Puisi ini menjadi pengingat bahwa manusia, seberapa jauh pun tersesat, selalu punya kesempatan menemukan kembali dirinya dan Tuhan.

Korrie Layun Rampan
Puisi: Diri
Karya: Korrie Layun Rampan

Biodata Korrie Layun Rampan:
  • Korrie Layun Rampan adalah seorang penulis (penyair, cerpenis, novelis, penerjemah), editor, dan kritikus sastra Indonesia berdarah Dayak Benuaq.
  • Korrie Layun Rampan lahir pada tanggal 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur.
  • Korrie Layun Rampan meninggal dunia pada tanggal 19 November 2015 di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.