Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Dunia Manusia (Karya Toto ST Radik)

Puisi “Dunia Manusia” karya Toto ST Radik bercerita tentang kejenuhan penyair terhadap dunia manusia yang dianggap terlalu fana, terlalu daging— ...
Dunia Manusia

Dunia manusia terlalu membosankan. Terlalu
daging: mudah busuk dan berulat dengan bau
yang enggan hilang

Terlalu
banyak mulut di kepalanya yang kecil. Membual
di panggung menjual sorga membeli tuhan

Betapa mengerikan
mendengarkan seluruh dustanya. Setangkai mawar pun
tanggal dan menangis. Sepasang merpati terbakar
bulu-bulunya dan mati. Angin berhenti. Laut
diam. Bulan dan matahari bersembunyi
menjauhi hari

Dunia manusia alangkah menyedihkah. Alangkah
menyedihkan.

Serang, 1998

Sumber: Indonesia Setengah Tiang (1999)

Analisis Puisi:

Puisi “Dunia Manusia” karya Toto ST Radik adalah karya yang menggugat dan merefleksikan sisi gelap dari peradaban manusia modern. Melalui gaya bahasa yang lugas namun sarat makna, penyair menumpahkan rasa muak, kecewa, dan getir terhadap kehidupan manusia yang dianggap terlalu penuh kepalsuan dan kebusukan moral.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap kemunafikan dan kehancuran moral manusia. Toto ST Radik menyoroti bagaimana manusia telah menjadikan dunia ini tempat yang membosankan, kotor, dan kehilangan nilai-nilai luhur. Dunia manusia dalam puisi ini bukan sekadar tempat hidup, tetapi simbol dari peradaban yang membusuk karena keserakahan, kebohongan, dan kepalsuan spiritual.

Puisi ini bercerita tentang kejenuhan penyair terhadap dunia manusia yang dianggap terlalu fana, terlalu daging—yakni penuh dengan hasrat duniawi, kebusukan, dan tipu daya. Manusia dalam puisi ini digambarkan sebagai makhluk yang banyak bicara namun sedikit makna; mereka “menjual surga dan membeli Tuhan”, yang bisa dimaknai sebagai sindiran terhadap kaum munafik yang memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi.

Penyair menunjukkan kehancuran moral dan batin manusia melalui gambaran simbolik: mawar menangis, merpati terbakar, laut diam, dan bulan bersembunyi. Semua elemen alam seolah ikut berduka menyaksikan kebobrokan manusia.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kekecewaan mendalam terhadap kondisi manusia yang kehilangan kemanusiaannya sendiri. “Dunia manusia terlalu daging” menjadi metafora tentang manusia yang lebih menuruti nafsu fisik daripada nurani.

Ada pesan bahwa dunia modern telah kehilangan ruh spiritualnya; manusia kini sibuk berkompetisi, menipu, dan menindas sesamanya demi kepentingan duniawi. Puisi ini juga bisa dibaca sebagai seruan untuk merenung: sampai kapan manusia akan terus hidup dalam kebohongan dan keserakahan?

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat muram, getir, dan penuh keputusasaan. Dari awal hingga akhir, tidak ada nada optimis. Semua gambaran yang dihadirkan menunjukkan kehancuran dan kebusukan, baik secara moral maupun spiritual.

Penyair membangun nuansa apokaliptik—seolah dunia manusia berada di ambang kehancuran karena dosa dan dusta yang menumpuk.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama yang ingin disampaikan adalah peringatan terhadap kemerosotan moral dan kemanusiaan. Penyair mengingatkan bahwa jika manusia terus hidup dalam kebohongan, keserakahan, dan kemunafikan, maka alam dan kehidupan sendiri akan berhenti mendukungnya.

Ada juga pesan spiritual yang halus: bahwa manusia harus kembali kepada kejujuran, kesederhanaan, dan nilai-nilai kemanusiaan sejati agar dunia tidak lagi “terlalu daging”. Dunia yang penuh nafsu dan kebohongan hanya akan menimbulkan kehancuran, bukan kedamaian.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional. Beberapa citraan yang menonjol antara lain:
  • “Dunia manusia terlalu daging: mudah busuk dan berulat dengan bau yang enggan hilang” — membangkitkan imaji bau busuk dan pembusukan moral.
  • “Setangkai mawar pun tanggal dan menangis” — menghadirkan imaji visual sekaligus simbol kesedihan mendalam.
  • “Sepasang merpati terbakar bulu-bulunya dan mati” — simbol kehancuran cinta dan kedamaian.
  • “Angin berhenti. Laut diam. Bulan dan matahari bersembunyi” — citraan alam yang menggambarkan kehampaan total dan penolakan semesta terhadap ulah manusia.
Imaji-imaji ini tidak hanya memperkuat kesan kelam, tetapi juga berfungsi sebagai metafora moral yang kuat.

Majas

Toto ST Radik menggunakan beragam majas yang memperkuat kekuatan ekspresif puisinya, antara lain:
  • Metafora: “Dunia manusia terlalu daging” menggambarkan manusia yang dikuasai oleh nafsu jasmani dan kebusukan moral.
  • Personifikasi: “Setangkai mawar pun tanggal dan menangis”, “Laut diam”, “Bulan dan matahari bersembunyi” — alam diberi sifat manusia untuk menunjukkan kepedihan universal.
  • Hiperbola: Penggambaran yang berlebihan tentang dunia manusia yang membusuk, sebagai bentuk penegasan kritik moral.
  • Sarkasme: Tersirat dalam “menjual surga membeli tuhan”, sebagai sindiran keras terhadap orang yang mempermainkan nilai-nilai suci demi keuntungan.
Puisi “Dunia Manusia” karya Toto ST Radik merupakan refleksi tajam tentang keruntuhan nilai kemanusiaan dalam dunia modern. Dengan gaya bahasa yang lugas dan penuh daya simbolik, penyair menegaskan kekecewaan terhadap manusia yang terlalu materialistik dan hipokrit.

Melalui citraan kuat, majas yang ekspresif, dan suasana getir, puisi ini tidak hanya menjadi jeritan moral, tetapi juga ajakan untuk merenungi kembali makna kemanusiaan dan spiritualitas sejati. Dunia manusia mungkin menyedihkan, namun puisi ini mengingatkan bahwa kesadaran dan kejujuran masih bisa menjadi jalan menuju pemulihan.

"Puisi Toto ST Radik"
Puisi: Dunia Manusia
Karya: Toto ST Radik

Biodata Toto ST Radik:
  • Toto Suhud Tuchaeni Radik lahir pada tanggal 30 Juni 1965 di desa Singarajan, Serang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.