Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Embun yang Turun (Karya Landung Simatupang)

Puisi “Embun yang Turun” karya Landung Simatupang bercerita tentang seseorang yang memandang kembali hubungan atau kedekatan yang mulai merenggang.

Embun yang Turun


embun yang turun
mengejangkan rambutmu malam ini
sepi januari telah tiba
aneh, seperti mega
yang mengembang tanpa suara
serasa mengancam meski tak meminta

ah betapa bisa kita menuliskan usia
kisah mimpi-mimpi kita
kemenangan-kemenangan yang pada waktunya
kalah dan menyerah juga

risau januari telah terhirup
ketika di jendela aku melihatmu
bersatu dengan kabut

betapa kita jauh dari percakapan
dan selalu gagal memelihara kebisuan


1975

Sumber: Bulak Sumur Malioboro (Antologi Puisi, 1975)

Analisis Puisi:

Puisi “Embun yang Turun” karya Landung Simatupang adalah salah satu teks liris yang bekerja dengan keteduhan, keheningan, dan sentuhan kontemplatif. Melalui gambaran embun, kabut, dan bulan Januari yang sepi, penyair membawa pembaca menyelami ruang batin dua sosok yang tampaknya dekat, namun sesungguhnya terpisah oleh jarak emosional yang makin memadat.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kesunyian dalam hubungan manusia, terutama kesunyian yang muncul dari jarak emosional antara dua individu yang sebelumnya mungkin pernah dekat. Penyair juga menghadirkan tema tambahan berupa renungan tentang waktu dan usia, yang digunakan untuk menegaskan kefanaan mimpi dan perjuangan hidup.

Jika dilihat dari gambarnya yang lembut namun muram, puisi ini bercerita tentang seseorang yang memandang kembali hubungan atau kedekatan yang mulai merenggang. Embun, kabut, dan bulan Januari berfungsi sebagai simbol bagi kerenggangan itu—sesuatu yang dingin, samar, nyaris tak bersuara.

Ada dua figur di dalam puisi: “aku” dan “kamu”. Sosok “aku” seakan mengamati dari kejauhan, mungkin dari sebuah jendela, ketika “kamu” seolah larut bersama kabut. Gambar ini menandakan hilangnya komunikasi, kelemahan upaya menjaga percakapan, dan ketakmampuan memelihara keheningan bersama.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat yang dapat dipahami dari puisi ini antara lain:
  1. Hubungan manusia tidak selalu gagal karena pertengkaran; ia sering gagal karena diam yang tidak terpelihara. Puisi ini menegaskan bahwa kebisuan pun dapat runtuh jika tidak dikelola bersama.
  2. Waktu membuat mimpi tampak lebih rapuh. Ketika penyair menulis “kemenangan-kemenangan yang pada waktunya kalah dan menyerah juga”, ia sedang menggambarkan betapa segala pencapaian manusia pada akhirnya tunduk pada usia dan perubahan.
  3. Ada perasaan kehilangan yang tidak diucapkan. Embun, kabut, dan Januari menandakan dingin yang menyelinap perlahan—seperti perasaan yang tak terkatakan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dominan adalah sunyi, dingin, murung, dan kontemplatif. Ada melankolia yang perlahan meresap dari awal hingga akhir, terutama ketika penyair menyinggung kabut, embun, dan Januari—bulan yang secara simbolis sering dikaitkan dengan permulaan baru, tetapi di sini justru terasa lebih sepi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Jika ditarik dari keseluruhan nada dan simbol-simbol yang digunakan, salah satu pesan yang muncul adalah:
  1. Hubungan apa pun membutuhkan dialog—baik percakapan maupun kebisuan yang dipelihara bersama. Ketika dua orang berhenti berbicara dan gagal menjaga keheningan yang sehat, jarak akan tumbuh dengan sendirinya.
  2. Waktu adalah pengingat bahwa segala sesuatu, termasuk mimpi dan keberhasilan, bisa berubah dan melemah. Ini mengajak pembaca untuk lebih jujur, terbuka, dan tidak menunda-nunda komunikasi maupun harapan.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan perasa (tactile) yang menciptakan gambaran dingin dan lembut:
  1. “embun yang turun / mengejangkan rambutmu” → imaji perasa dan visual yang menggambarkan dingin yang menyentuh tubuh.
  2. “sepi januari telah tiba” → imaji suasana yang memadat.
  3. “aku melihatmu / bersatu dengan kabut” → imaji visual yang sangat kuat, menggambarkan seseorang yang perlahan “hilang” dari pandangan, baik secara harfiah maupun emosional.
Unsur imaji ini membantu pembaca merasakan sensasi dingin dan kesendirian yang menjadi latar puisi.

Majas dalam Puisi

Beberapa majas yang dapat dikenali:
  1. Personifikasi: “mega yang mengembang tanpa suara / serasa mengancam meski tak meminta” — awan digambarkan seperti makhluk hidup yang memiliki kehendak dan sikap.
  2. Metafora: “kemenangan-kemenangan yang pada waktunya / kalah dan menyerah juga” — kemenangan diperlakukan seperti prajurit atau manusia yang suatu hari menyerah.
  3. Simbolisme: Embun, kabut, dan Januari menjadi simbol untuk jarak emosional, usia, dan perubahan suasana batin.
Puisi “Embun yang Turun” tampil sebagai refleksi lirih tentang hubungan yang mulai merenggang dan percakapan yang tidak lagi terjaga. Melalui perpaduan imaji dingin, simbol waktu, dan majas yang halus, Landung Simatupang menghadirkan suasana yang lembut namun menghunjam. Puisi ini mengajak pembaca untuk menyadari bahwa diam pun perlu dirawat, dan bahwa waktu selalu punya cara untuk mengembunkan segala yang kita perjuangkan.

Landung Simatupang
Puisi: Embun yang Turun
Karya: Landung Simatupang

Biodata Landung Simatupang:
  • Yohanes Rusyanto Landung Laksono Simatuandung Simatupang lahir pada tanggal 25 November 1951 di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.