Analisis Puisi:
Puisi “Gabai” karya Abrar Yusra merupakan puisi yang sarat dengan metafora, imaji kelam, dan suasana kehilangan. Kata “gabai”—yang dalam konteks bahasa Minangkabau bermakna meraih, menggapai, atau mencoba menjangkau sesuatu yang jauh—menjadi pusat pergerakan puisi ini. Dengan repetisi “gabai” di hampir setiap larik, penyair menghadirkan rasa kerinduan, ketidakberdayaan, sekaligus usaha manusia untuk meraih sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya tergapai.
Puisi ini juga memuat referensi pada tokoh sastra klasik “Saijah dan Adinda”, yang memperkaya lapisan maknanya tentang cinta, kematian, dan tragedi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan yang tidak pernah tercapai serta usaha manusia meraih sesuatu di tengah kehilangan dan keterbatasan.
Tema sampingan yang juga terasa adalah kesedihan eksistensial, tragedi cinta, dan keterputusan antara harapan dan realitas.
Puisi ini bercerita tentang upaya seseorang—melalui simbol “gabai”—untuk meraih hal-hal yang hilang, jauh, atau mustahil dijangkau. Pergerakan puisi dimulai dengan gambaran menggapai matahari, menggapai burung terkurung, menggapai alam yang tak terjangkau, hingga akhirnya menggapai pekik Saijah yang penuh rindu dan sakit.
Puisi juga menggambarkan tragedi: dahan patah, burung menjadi bangkai, Saijah terkapar berbau darah. Citra-citra ini menggambarkan keruntuhan harapan, seolah semua yang coba diraih justru berujung pada kehancuran.
Di bagian akhir, “gabai panjang tangan waktu” dan “gabai tangan-tangan mimpimu” menandakan bahwa waktu dan mimpi pun menjelma seperti sesuatu yang terus digapai namun tak pernah benar-benar diraih.
Makna Tersirat
Ada beberapa makna tersirat yang dapat diambil dari puisi ini:
- Ketidakmungkinan meraih kembali masa lalu. Kata “gabai” yang berulang-ulang menandakan upaya terus menerus, namun hasilnya justru kehancuran: dahan patah, bangkai, darah. Ini melukiskan perjalanan batin seseorang yang mencoba meraih kembali sesuatu yang telah hilang.
- Tragedi cinta dan nasib manusia. Referensi kepada Saijah dan Adinda—pasangan tragis dari cerita klasik Multatuli—memunculkan gambaran cinta yang kandas oleh kekuasaan dan keadaan. Penyair ingin menunjukkan bahwa manusia sering terjebak dalam nasib yang tidak dapat mereka ubah.
- Waktu sebagai kekuatan yang tak terjangkau. “Gabai panjang tangan waktu” menandakan bahwa manusia tidak pernah dapat meraih atau menguasai waktu; waktu justru yang merenggut dan menentukan.
- Kerapuhan hidup. Dahan yang patah, burung bangkai, Saijah terkapar—semuanya menandai kefanaan dan rapuhnya segala keinginan manusia.
- Ada unsur eksistensial. “Gabai dalam sepi, semula jadi” menunjukkan kondisi kembali ke keadaan dasar manusia: sunyi, rapuh, dan sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini:
- suram
- melankolis
- tragis
- penuh kerinduan
- hening dan muram
- eksistensial
- mengandung rasa kehilangan yang dalam
Repetisi “gabai” menciptakan atmosfer obsesif—seolah seseorang yang terus mencoba meraih sesuatu yang menjauh.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa pesan yang dapat disimpulkan:
- Tidak semua hal dalam hidup dapat digapai, meskipun kita berusaha sekuat tenaga.
- Manusia harus menerima bahwa kehilangan adalah bagian dari perjalanan hidup.
- Waktu dan nasib tidak dapat dikendalikan; manusia hanya bisa meresponsnya dengan ketabahan.
- Kerinduan yang tidak tersampaikan bisa menjadi luka yang terus menganga.
Imaji
Puisi ini penuh imaji yang kuat dan dramatis:
Imaji visual
- gabai dahan ke matahari → upaya meraih yang mustahil
- burung terkurung ufuk → kebebasan yang terhalang
- dahan patah, burung bangkai, Saijah terkapar berbau darah → kekacauan dan tragedi yang konkret
Imaji auditori
- gabai pekik Saijah → seruan penuh rindu dan sakit
- menyeru Adinda → panggilan dalam keputusasaan
Imaji gerak
- gerakan “gabai”—menggapai, meraih—memberikan imaji gerak yang terus menerus namun sia-sia.
Imaji suasana
- gabai dalam sepi → imaji kesunyian mendalam
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi:
Repetisi
- Kata “gabai” diulang terus menerus, membangun ritme dan tekanan emosional.
Metafora
- “gabai dahan ke matahari” → metafora ambisi atau harapan yang terlalu tinggi.
- “gabai panjang tangan waktu” → metafora keterbatasan manusia menghadapi waktu.
Personifikasi
- waktu, mimpi, dan rindu seolah memiliki tangan yang dapat digapai.
Sinekdoke / simbolisme
- Saijah dan Adinda sebagai simbol cinta yang gagal atau terhalang oleh kekuasaan.
- dahan patah, burung bangkai → lambang kegagalan dan kehancuran harapan.
Hiperbola
- Gerakan menggapai matahari atau burung terkurung ufuk adalah bentuk hiperbola yang memperkuat intensitas puisi.
Puisi “Gabai” karya Abrar Yusra menghadirkan dunia simbolis yang penuh kerinduan, tragedi, dan usaha manusia untuk meraih sesuatu di tengah ketidakmungkinan. Melalui repetisi kata “gabai”, penyair memperlihatkan bahwa hidup adalah rangkaian upaya yang tidak selalu berakhir dengan keberhasilan. Dengan imaji yang kelam, referensi sastra klasik, dan majas yang padat, puisi ini menjadi refleksi mendalam tentang kehilangan, waktu, dan harapan yang terus digapai namun tak pernah benar-benar diraih.
- Abrar Yusra lahir pada tanggal 28 Maret 1943 di Lawang Matur, Agam, Sumatra Barat.
- Abrar Yusra meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 2015 di Bogor, Jawa Barat (pada umur 72 tahun).