Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gaduh (Karya Sulaiman Juned)

Puisi "Gaduh" karya Sulaiman Juned bercerita tentang seseorang yang sedang berada dalam kesunyian dan teringat akan masa lalu yang menyakitkan.
Gaduh

Sepi
terkadang sangat susah untuk
dikenang. Rinai itu datang lagi 
membasuh hati dalam kabut - meluruh
benteng keteguhan.

Sepi
memungut luka bersama getir
senyummu. Melaporkan segala gaduh
hilang dalam gagap malam yang bungkuk

(Aku pahami sembilu angin di jiwa senja)

Padang Panjang, 2009

Analisis Puisi:

Puisi "Gaduh" karya Sulaiman Juned adalah karya liris yang penuh refleksi batin. Di dalamnya, penyair tidak menampilkan kegaduhan dalam arti fisik atau kebisingan dunia luar, melainkan kegaduhan batin — sebuah konflik emosional antara kenangan, kesepian, dan kehilangan. Puisi ini sarat dengan suasana melankolis dan makna yang mendalam, mengajak pembaca masuk ke ruang sunyi yang penuh gema perasaan.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kesepian dan pergulatan batin dalam menghadapi kenangan dan luka emosional. Sulaiman Juned menyoroti bahwa sepi bukan sekadar ketiadaan suara, tetapi keadaan psikologis yang justru paling “gaduh” di dalam jiwa. Dalam kesepian, manusia berhadapan dengan dirinya sendiri, dengan kenangan, dan dengan segala hal yang pernah ia tahan untuk tidak diungkapkan.

Tema ini juga mencerminkan konflik antara keteguhan dan kerentanan — antara keinginan untuk tetap kuat dan kenyataan bahwa hati kadang tak mampu menahan rasa sakit yang datang perlahan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang sedang berada dalam kesunyian dan teringat akan masa lalu yang menyakitkan. Ia merasakan rinai hujan dan kabut sebagai simbol kenangan yang datang kembali, membasuh hatinya dan meluruhkan “benteng keteguhan” yang selama ini dijaga.

Baris-baris seperti “Sepi memungut luka bersama getir senyummu” menegaskan bahwa penyebab kesunyian ini mungkin adalah kehilangan seseorang — entah kekasih, kenangan, atau masa lalu yang belum selesai.

Pada akhirnya, penyair menyadari dan menerima bahwa luka dan sepi adalah bagian dari perjalanan batin manusia, sebagaimana ditunjukkan dalam penutup puisi:

“(Aku pahami sembilu angin di jiwa senja)”

Baris ini menggambarkan kesadaran dan penerimaan terhadap rasa sakit, semacam kedewasaan emosional yang lahir dari penderitaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah penerimaan terhadap duka dan kesepian sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sulaiman Juned seolah mengatakan bahwa dalam sepi, manusia justru bisa memahami dirinya sendiri dengan lebih dalam.

Kata “melaporkan segala gaduh” dapat dimaknai sebagai upaya batin untuk berdamai — mengakui bahwa setelah semua kekacauan emosi, yang tersisa hanyalah kesunyian dan refleksi.

Puisi ini juga menyiratkan konsep eksistensial, di mana manusia tak bisa menghindar dari kesendirian. “Sepi” bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan ruang untuk menyembuhkan diri dari “gaduh” kehidupan dan cinta yang telah melukai.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dihadirkan dalam puisi ini sunyi, muram, namun indah dalam kesedihannya. Ada rasa lirih dan getir di setiap bait. Imaji hujan, kabut, malam, dan senja memperkuat nuansa sendu serta kehampaan batin.

Puisi ini menciptakan atmosfer melankolis yang intim — pembaca seolah diajak duduk dalam keheningan, mendengar suara hatinya sendiri di antara rintik hujan dan desah angin senja.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya menerima kesedihan dan kesepian sebagai bagian dari proses kehidupan. Sulaiman Juned mengajarkan bahwa tidak semua luka harus dilawan; ada kalanya kita perlu membiarkan waktu dan keheningan menyembuhkannya.

Selain itu, puisi ini juga mengingatkan bahwa kegaduhan sejati justru terjadi di dalam diri, bukan di luar. Hanya dengan keheningan, seseorang bisa memahami sumber luka dan berdamai dengan dirinya sendiri.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji perasaan yang kuat.

Imaji visual:
  • “Rinai itu datang lagi membasuh hati dalam kabut” — menghadirkan gambaran hujan lembut dan suasana berkabut yang melambangkan kesedihan serta kenangan yang samar.
  • “Melaporkan segala gaduh hilang dalam gagap malam yang bungkuk” — menggambarkan malam yang berat, seolah memikul segala kegelisahan manusia.
Imaji perasaan:
  • “Sepi memungut luka bersama getir senyummu” — menciptakan rasa perih dan nostalgia, seolah sepi memiliki tangan yang memungut sisa luka masa lalu.
Imaji-imaji tersebut menegaskan kekuatan puisi ini sebagai karya yang lebih menonjolkan suasana batin daripada peristiwa fisik.

Majas

Sulaiman Juned menggunakan berbagai majas untuk memperkaya keindahan dan kedalaman makna puisinya:
  • Majas Personifikasi – Misalnya pada baris “Sepi memungut luka” dan “Rinai itu datang lagi membasuh hati.” Di sini, sepi dan hujan diberi sifat manusiawi: mampu memungut dan membasuh. Majas ini membuat suasana puisi terasa hidup dan emosional.
  • Majas Metafora – “Benteng keteguhan” adalah metafora untuk kekuatan batin seseorang. Ketika “meluruh,” itu menandakan bahwa perasaan dan kenangan telah menembus pertahanan hati.
  • Majas Simbolik – “Kabut,” “rinai,” dan “senja” menjadi simbol kesedihan, kenangan, dan waktu yang menua. Semua unsur alam itu berfungsi sebagai cermin batin tokoh liris dalam puisi.
  • Majas Eufemisme – “Menunggu ajal yang datangnya tak pernah pasti” (meski bukan dari puisi ini, tapi gaya Sulaiman Juned sering serupa) digunakan untuk menggambarkan penderitaan tanpa harus menyebutkannya secara kasar. Dalam Gaduh, hal serupa tampak dalam “melaporkan segala gaduh”, yang lembut tapi sarat makna batin.
Puisi "Gaduh" karya Sulaiman Juned adalah refleksi sunyi tentang kesepian, kenangan, dan penerimaan. Dengan diksi sederhana namun simbolis, penyair berhasil menciptakan ruang perenungan yang dalam — di mana “sepi” tidak lagi menjadi musuh, melainkan teman yang mengajarkan kebijaksanaan.

Melalui tema kesunyian dan imaji alam yang melankolis, puisi ini mengingatkan pembaca bahwa dalam diam, manusia menemukan dirinya kembali. Kegaduhan dunia mungkin tak pernah berhenti, tetapi di balik kesepian, selalu ada makna yang bisa kita pahami — sebagaimana penyair menulis lembut:

“(Aku pahami sembilu angin di jiwa senja).”

Sebuah kalimat penutup yang menandai ketenangan setelah badai perasaan, menjadikan puisi ini bukan sekadar tentang sepi, melainkan tentang perdamaian dengan hati sendiri.

Sulaiman Juned
Puisi: Gaduh
Karya: Sulaiman Juned
© Sepenuhnya. All rights reserved.