Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gaza (Karya Djoko Saryono)

Puisi “Gaza” karya Djoko Saryono bercerita tentang penderitaan rakyat Palestina yang terus berlangsung, disaksikan oleh dunia yang seolah tak berdaya.

Gaza (1)

langkah lars itu terus berderap dalam pikiran
menuju piring-piring di meja makan
dan menghidangkan: darah dan kematian

lalu kau kunyah bersama teve
yang menyanderamu di ruang tamu
hingga kau lalai waktu yang terus bergerak
menapak gurat jejak kematian di napasmu

Gaza (2)

di gersang padang kepercayaan
Arafat telah mengawinkan harapan
dengan sedikit kenyataan - tanah impian -
lewat bahasa yang terbiasa menyembunyikan kejujuran
: seperti dulu, Anwar Sadat melakukan
  dan menuai kematian

seluruh arabia ternganga:
"zionis, zionis itukah yang dikawininya?"

detak-detak waktu cuma
melintasi padang keraguan
yang berpuluh tahun dipiara

Malang, Maret 1995

Sumber: Arung Diri (2013)

Analisis Puisi:

Puisi “Gaza” karya Djoko Saryono merupakan salah satu karya sastra yang menggugat nurani manusia terhadap tragedi kemanusiaan di Palestina. Dengan gaya khasnya yang penuh simbol, kritik, dan refleksi moral, Djoko Saryono menyingkap luka dunia modern — di mana penderitaan manusia kerap menjadi tontonan, dan keadilan terpenjara oleh politik serta kepentingan global. Puisi ini terbagi menjadi dua bagian, Gaza (1) dan Gaza (2), yang masing-masing menghadirkan dimensi berbeda dari penderitaan rakyat Palestina.

Tema

Tema utama puisi ini adalah tragedi kemanusiaan dan kebisuan dunia terhadap penderitaan Gaza. Melalui dua bagian puisinya, Djoko Saryono mengangkat tema besar tentang konflik Palestina–Israel, namun dengan pendekatan yang lebih reflektif dan filosofis.

Bagian pertama berfokus pada kematian dan ketidakpedulian manusia modern, sedangkan bagian kedua menyoroti pengkhianatan politik dan rapuhnya solidaritas dunia Arab.

Puisi ini bukan sekadar menggambarkan perang, tetapi juga menggugat hilangnya empati dan moralitas dalam masyarakat global yang lebih sibuk menonton tragedi ketimbang berbuat sesuatu.

Puisi ini bercerita tentang penderitaan rakyat Palestina yang terus berlangsung, disaksikan oleh dunia yang seolah tak berdaya.

Dalam Gaza (1), penyair menggambarkan bagaimana perang dan kekerasan telah menjadi “hidangan sehari-hari” bagi manusia modern. Baris:

“Langkah lars itu terus berderap dalam pikiran / menuju piring-piring di meja makan / dan menghidangkan: darah dan kematian”

mengandung sindiran tajam bahwa kekerasan kini dikonsumsi layaknya hiburan melalui media.

Televisi — simbol dari budaya konsumsi modern — disebut “menyanderamu di ruang tamu”, menunjukkan bagaimana masyarakat global menjadi penonton pasif terhadap penderitaan di Gaza.

Sementara dalam Gaza (2), penyair mengangkat dimensi politik dan pengkhianatan ideologis di dunia Arab sendiri. Ia menyebut tokoh-tokoh seperti Yasser Arafat dan Anwar Sadat untuk menggambarkan bagaimana politik kompromi sering mengorbankan idealisme dan kebenaran. Baris:

“Arafat telah mengawinkan harapan / dengan sedikit kenyataan — tanah impian —”

menunjukkan harapan yang dikompromikan, sedangkan “seperti dulu, Anwar Sadat melakukan / dan menuai kematian” menjadi refleksi tragis bahwa kejujuran politik kerap berakhir dengan kematian.

Puisi ini dengan demikian bercerita tentang penderitaan Gaza, pengkhianatan politik, dan kebisuan dunia terhadap tragedi kemanusiaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini sangat mendalam. Secara simbolik, Gaza menjadi representasi dari luka kemanusiaan global, bukan hanya sebuah wilayah konflik.

Dalam Gaza (1), Djoko Saryono menyindir bahwa masyarakat modern telah kehilangan empati — mereka menonton penderitaan manusia di layar televisi tanpa rasa bersalah, seolah kekerasan hanyalah berita biasa. Penyair ingin menunjukkan bahwa media dan teknologi telah menjauhkan manusia dari nurani.

Sementara dalam Gaza (2), makna tersiratnya menyinggung kemunafikan politik dunia Arab dan internasional. Penyair menyoroti bagaimana politik sering kali hanya menjadi “padang keraguan yang dipiara”, di mana janji keadilan dan kemerdekaan hanyalah ilusi yang terus diulang tanpa tindakan nyata.

Secara lebih luas, makna tersirat puisi ini adalah gugatan moral terhadap kemanusiaan yang tumpul, terhadap dunia yang rela membiarkan penderitaan berlangsung karena terbelenggu oleh kepentingan, ketakutan, dan kepalsuan diplomasi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini muram, getir, dan reflektif. Nada yang digunakan Djoko Saryono adalah nada protes dan keprihatinan yang dalam, bercampur dengan rasa kecewa terhadap dunia yang diam.

Kata-kata seperti “darah”, “kematian”, “gersang padang kepercayaan”, dan “padang keraguan” menciptakan atmosfer yang suram dan gersang — bukan hanya secara fisik, tetapi juga batiniah.
Dalam Gaza (1), suasananya seperti kamar gelap tempat manusia menyaksikan kekejaman di televisi dengan dingin.

Sedangkan Gaza (2) menghadirkan suasana politik yang tandus dan menyesakkan, tempat harapan dan kenyataan saling bertabrakan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah seruan moral dan kemanusiaan agar dunia tidak lagi diam terhadap penderitaan. Djoko Saryono ingin menegaskan bahwa tragedi Gaza bukan hanya tanggung jawab politik, tetapi juga tanggung jawab nurani. Ia mengingatkan bahwa ketidakpedulian adalah bentuk kejahatan yang halus. Ketika manusia hanya menonton penderitaan tanpa berbuat apa-apa, mereka secara tidak langsung menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri.

Pesan lain yang kuat adalah kritik terhadap politik kepura-puraan dan diplomasi kosong. Melalui referensi terhadap tokoh-tokoh Arab, penyair menegaskan bahwa kemerdekaan sejati tak akan lahir dari kompromi dengan penindasan, melainkan dari keberanian untuk menegakkan kejujuran dan solidaritas.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan imaji emosional. Beberapa contoh imaji yang kuat:
  • “Langkah lars itu terus berderap dalam pikiran” → imaji auditori yang menghadirkan suara langkah tentara di kepala pembaca.
  • “Menuju piring-piring di meja makan dan menghidangkan: darah dan kematian” → imaji visual yang brutal dan simbolik; darah dan kematian dihidangkan layaknya makanan sehari-hari.
  • “Di gersang padang kepercayaan” → imaji visual dan metaforis yang menggambarkan kekosongan spiritual dan hilangnya keyakinan pada kebenaran.
  • “Detak-detak waktu cuma / melintasi padang keraguan” → imaji temporal dan batiniah yang menandakan stagnasi moral dunia.
Imaji-imaji ini membentuk lanskap yang penuh luka, kering, dan kejam, sesuai dengan tema tragedi yang diusung penyair.

Majas

Djoko Saryono menggunakan sejumlah majas untuk memperkuat daya gugah puisinya:
  • Metafora – “Langkah lars itu terus berderap dalam pikiran” menggambarkan perang yang menghantui kesadaran manusia.
  • Personifikasi – “teve yang menyanderamu di ruang tamu” menggambarkan televisi sebagai agen yang menawan manusia dalam kebisuan moral.
  • Ironi – Ketika tragedi disajikan di meja makan, penyair menyoroti ironi masyarakat yang menikmati berita penderitaan seperti hiburan.
  • Simbolisme – Gaza menjadi simbol penderitaan manusia universal; “padang kepercayaan” menjadi simbol tandusnya keimanan dan solidaritas.
  • Repetisi – Pengulangan nama “Gaza” menegaskan intensitas penderitaan sekaligus panggilan untuk tidak melupakan tragedi tersebut.
Puisi “Gaza” karya Djoko Saryono adalah potret tajam tentang luka kemanusiaan dan kritik pedas terhadap kebisuan dunia modern. Dengan tema tragedi kemanusiaan dan kemunafikan politik, penyair menyoroti dua sisi luka Gaza: penderitaan rakyat di satu sisi, dan kematian nurani dunia di sisi lain. Melalui imaji visual yang kuat, majas simbolik, dan suasana muram yang reflektif, Djoko Saryono mengingatkan bahwa tragedi seperti Gaza bukan hanya milik Palestina — melainkan juga cermin bagi hati nurani dunia.

Amanat yang dapat kita tarik dari puisi ini ialah: Ketika dunia diam terhadap penderitaan, maka sesungguhnya yang mati bukan hanya manusia di Gaza, melainkan juga kemanusiaan itu sendiri.

Djoko Saryono
Puisi: Gaza
Karya: Djoko Saryono

Biodata Djoko Saryono:
  • Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.
© Sepenuhnya. All rights reserved.