Sumber: Konsierto di Kyoto (2015)
Analisis Puisi:
Puisi “Harau” karya Mochtar Pabottingi merupakan karya kontemplatif yang memadukan lanskap alam Lembah Harau dengan perenungan tentang sejarah, memori, dan kedalaman batin manusia. Dengan bahasa yang padat, puitis, dan simbolik, penyair menghadirkan perpaduan antara geologi, sejarah panjang bumi, dan dimensi psikologis manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pertemuan antara sejarah alam dan sejarah batin manusia. Tema lain yang juga tersirat:
- hubungan manusia dengan alam yang menyimpan jejak waktu
- ketidakmungkinan menuturkan seluruh sejarah
- kedalaman ingatan dan bawah sadar
- kontemplasi tentang awal mula kehidupan
Puisi ini mengajak pembaca menemukan relasi antara tebing batu yang menjulang dan sejarah mental manusia yang tak pernah selesai dikisahkan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang diajak untuk memperhatikan garis-garis hitam pada tebing batu di Lembah Harau. Garis-garis itu dipersonifikasikan sebagai jilid-jilid “tambo” — catatan sejarah yang mustahil dituturkan hingga tuntas.
Kemudian penyair mengajak pembaca menengok “gua bawah sadar” yang memanjang di bawah air terjun, sebuah metafora tentang kedalaman ingatan manusia yang menjulur hingga “milenia silam”, sampai ke masa “rintik hujan pertama kali diciptakan”.
Dengan demikian, puisi ini memadukan geologi (tebing, air terjun) dengan arkeologi batin manusia, menjadikan alam sebagai arsip sekaligus cermin diri.
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan beberapa lapis makna tersirat yang penting:
- Alam adalah kitab sejarah yang tak pernah habis dibaca. Garis-garis tebing bukan sekadar tekstur geologis, tetapi representasi memori bumi yang tersimpan selama ribuan tahun.
- Manusia tidak pernah sanggup menuturkan seluruh kisah hidupnya. “Tambo mustahil tuntas engkau tuturkan” menyiratkan keterbatasan bahasa dan narasi manusia.
- Bawah sadar manusia mengandung sejarah panjang yang lebih tua dari dirinya. Gua yang “memanjang jauh ke milenia silam” menggambarkan bahwa memori manusia terhubung pada sejarah purba, bahkan ke awal mula kehidupan (“rintik hujan pertama”).
- Renungan manusia tentang alam adalah juga renungan tentang dirinya sendiri. Ketika memandang tebing Harau, penyair sebenarnya sedang membaca struktur batin.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tercipta:
- hening dan kontemplatif
- mistis
- megah
- mendalam dan penuh perenungan
- antikuaristik, seolah membuka arsip waktu
Ada juga aliran suasana yang tenang tetapi intens, terutama ketika penyair mengantar pembaca menyelam ke “gua bawah sadar”.
Amanat / Pesan
Beberapa pesan yang dapat ditarik:
- Belajarlah membaca alam sebagai bentuk sejarah yang jujur. Alam menyimpan memori ribuan tahun yang tidak dimanipulasi.
- Manusia harus menyadari keterbatasan dalam memahami diri dan sejarahnya. Tidak semua kisah bisa diungkapkan atau ditafsirkan dengan mudah.
- Bawah sadar manusia adalah ruang yang luas, dalam, dan purba. Untuk memahami diri, seseorang kadang perlu kembali ke “asal mula”.
- Setiap tempat memiliki jejak waktu yang layak dihormati. Lembah Harau dalam puisi ini adalah simbol warisan bumi yang menyimpan cerita panjang keberadaan.
Imaji
Puisi ini kaya imaji alam dan imaji abstrak:
Imaji Visual
- “garis-garis hitam vertikal… di deretan panjang tebing batu” menghadirkan gambaran jelas tentang formasi geologis Harau.
- “di bawah air terjun memanjang gua bawah sadarmu” kombinasi lanskap nyata dan metafora psikologis.
Imaji Temporal
- “milenia silam” memberi dimensi waktu yang luas dan purba.
Imaji Kosmik dan Metafisik
- “rintik hujan pertama kali diciptakan” imaji yang mengembalikan pembaca pada mitos penciptaan.
Imaji-imaji ini memperkuat perpaduan antara alam yang nyata dan batin yang abstrak.
Majas
Beberapa majas penting dalam puisi ini:
Metafora
- “tambo mustahil tuntas engkau tuturkan” — tebing batu diibaratkan kitab sejarah.
- “gua bawah sadarmu” — alam menjadi representasi psikologis manusia.
Personifikasi
- Tebing seolah menyimpan catatan sejarah seperti benda hidup.
- Hujan “diciptakan” dalam konteks awal mula kehidupan.
Majas simbolik
- Garis tebing sebagai simbol sejarah, air terjun sebagai simbol kesadaran, gua sebagai simbol bawah sadar.
Puisi “Harau” karya Mochtar Pabottingi adalah sebuah meditasi atas hubungan manusia dengan sejarah alam dan sejarah batin. Melalui lanskap tebing dan air terjun yang disajikan dengan imaji kuat dan majas-metafora yang pekat, penyair mengajak pembaca melihat bahwa alam bukan sekadar panorama, melainkan arsip panjang kehidupan.
Karya: Mochtar Pabottingi
Biodata Mochtar Pabottingi:
- Mochtar Pabottingi lahir pada tanggal 17 Juli 1945 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
