Analisis Puisi:
Puisi “Hari yang Bergemuruh” menghadirkan suasana emosional yang pekat, penuh kesedihan, trauma, dan ketegangan. Melalui tokoh Nyonya Margho, penyair membangun gambaran seorang perempuan yang harus menghadapi kabar buruk tentang suaminya dalam situasi perang. Narasi puitis ini menyuguhkan adukan antara luka batin, kenangan masa lalu, dan realitas pahit yang terus membayangi hidupnya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah dampak emosional perang terhadap individu, terutama pada perempuan yang kehilangan orang yang dicintainya. Tema sampingannya meliputi kesedihan yang menghancurkan, kerinduan terhadap masa lalu yang damai, dan ketidakpastian antara hidup dan mati.
Puisi ini bercerita tentang Nyonya Margho yang menerima sebuah surat berisi kabar buruk mengenai suaminya yang berada dalam suasana perang. Membaca surat itu membuat pikirannya seperti “halilintar” dan batinnya diterjang badai. Ia terguncang secara emosional, merasa porak-poranda, dan hanya ditemani kesunyian serta kenangan. Dalam kesedihannya, ia berbicara dengan benda-benda alam seolah mereka bisa mendengar keluhannya. Kenangan masa lalu yang damai—ladang gandum, aroma keju, kayu di perapian—muncul dalam pikirannya. Namun realitas pahit tetap tak bisa ditepis: ia sadar bahwa perang belum berakhir, dan ancaman kehilangan terus membayangi.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat dalam puisi ini mencakup:
- Perang menghancurkan bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa. Surat yang diterima Nyonya Margho bukan hanya membawa kabar buruk, tetapi menghancurkan mental dan stabilitas hidupnya.
- Kenangan menjadi tempat berlindung dari kenyataan yang pahit. Ingatan tentang masa damai menjadi penawar sementara di tengah badai emosi yang menghimpit.
- Kesedihan yang mendalam membuat seseorang mencari sandaran emosional di mana saja. Bahkan batu, pohon, angin, dan anjing pun menjadi “teman” bagi Nyonya Margho karena manusia lain tak hadir.
- Harapan dan ketakutan dapat hadir bersamaan. Ia membayangkan pesta riang, tetapi pada saat yang sama memegang senjata—dua realitas yang bertolak belakang namun hidup berdampingan dalam suasana perang.
- Perang tidak pernah benar-benar usai bagi yang ditinggalkan. Meski di luar mungkin tampak tenang, “hari ini memang perang belum usai” adalah pengakuan bahwa trauma terus hidup dalam hati manusia.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tercipta dalam puisi ini sangat kuat, di antaranya:
- Mencekam dan penuh ketegangan. Kata-kata seperti “halilintar”, “badai”, dan “api” menimbulkan nuansa gawat.
- Muram dan pilu. Nyonya Margho menangis, kenangan hanyut, kesedihan merambat.
- Kesepian. Ia berbicara pada batu, pohon, angin, dan hanya ditemani lolongan anjing.
- Nostalgis. Kenangan indah tentang ladang gandum dan kehangatan rumah membawa suasana sendu.
- Ambivalen antara harapan dan pahit. Ia membangun “angan-angan pesta” namun sambil mengelus popor senjata—suasana paradoksal yang begitu kuat.
Amanat / Pesan
Beberapa amanat dapat ditafsirkan dari puisi ini:
- Perang meninggalkan penderitaan panjang bagi keluarga yang ditinggalkan. Tidak hanya mereka yang berada di medan tempur, tetapi yang menunggu pun menanggung beban berat.
- Manusia cenderung kembali pada kenangan untuk bertahan menghadapi kenyataan. Kenangan menjadi tempat perlindungan psikologis.
- Dalam situasi kritis, manusia mencari sandaran emosional di mana pun mereka bisa. Ini menunjukkan kerapuhan sekaligus keteguhan manusia.
- Perang bukan jawaban, karena selalu merusak hati dan kehidupan. Pesan anti-perang tersirat kuat dalam keseluruhan narasi.
Imaji
Puisi ini sangat kaya dengan imaji yang menggugah:
Imaji Visual
- “api membakar deretan gedung”
- “arang yang ditinggalkannya”
- “lelahan lilin, mengalir dan menguap”
- “ladang gandum yang subur”
- “hamparan keju yang harum”
- “gemeretaknya kayu di perapian”
Imaji ini menciptakan kontras antara kehancuran perang dan kehangatan rumah.
Imaji Auditori
- “lolongan anjing”
- “gemeretaknya kayu”
Memberikan kesan nyata, seakan pembaca mendengar suara-suara itu.
Imaji Gerak
- “halilintar menjalar di benaknya”
- “tangisnya merambat”
- “air mata membasahi tanah”
Gerak-gerak metaforis yang memperkuat perasaan hancur.
Majas
Berbagai majas memperkuat intensitas puisi ini:
Metafora
- “umur suamiku bagaikan lelehan lilin” melambangkan hidup yang perlahan lenyap.
- “api membakar deretan gedung” melukiskan kekacauan batin.
Personifikasi
- “tangisnya merambat, membasahi tanah”
- “halilintar menjalar di benaknya”
- “badai mendera kerongkongan”
Emosi digambarkan seolah makhluk hidup atau fenomena aktif.
Simile
- “umur suamiku bagaikan lelehan lilin” membandingkan usia dengan lilin yang habis terbakar.
Hiperbola
- “batu pun bisa diajak bicara” ungkapan yang menandakan betapa sepinya ia.
Ironi
- Membayangkan pesta riang sambil memegang senjata.
Puisi “Hari yang Bergemuruh” adalah potret mendalam tentang duka perempuan yang terjerat dalam pusaran perang. Melalui tokoh Nyonya Margho, penyair memperlihatkan bagaimana kabar buruk menghantam batin seseorang hingga luluh lantak. Imaji yang kuat dan majas yang pekat membuat puisi ini tidak hanya bercerita tentang perang, tetapi juga tentang manusia yang bertahan di tengah kehancuran.
Puisi: Hari yang Bergemuruh
Karya: Juniarso Ridwan
Biodata Juniarso Ridwan:
- Juniarso Ridwan lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 10 Juni 1955.
