Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Isyarat Kehidupan Itu Kematiannya (Karya Muhammad Rois Rinaldi)

Puisi “Isyarat Kehidupan Itu Kematiannya” karya Muhammad Rois Rinaldi bercerita tentang seseorang yang merasa ketakutan akan datangnya kematian.
Isyarat Kehidupan Itu Kematiannya
(: Astry Anjani)

Kekasih, entah mengapa aku jadi begitu manja. Minta senyum, minta tawa, minta keceriaan menari-nari pada bulat matamu. Lihatlah... dari timur segerombol waktu merangkak ke arahmu, minta dibaca, minta diartikan, minta pengertian semuanya berdesakan dari sebuah corong, zaman.

Bukankah baru saja kutebar benih pada pagi hari, mengapa senja ingin lekas memetik? Mengusung keranda, berirama zikir, nyinyir sungguh ke arahku, ke arahku sayang!

Adakah isyarat kematian itu mendekat, ataukah isyarat kebinasaan sebelum kematian itu benar-benar datang? Ah! Aku jadi begitu penakut sayang, ingin dekap, ingin hangat, ingin kau temaniku hingga pagi datang dan kita berbaur dengan manusia, hewan, batu, daun seperti debu-debu yang berhamburan pada putaran bumi yang semu.

Cilegon, Banten, 7 Februari 2012

Analisis Puisi:

Puisi “Isyarat Kehidupan Itu Kematiannya” karya Muhammad Rois Rinaldi adalah refleksi eksistensial yang dalam tentang kefanaan manusia dan ketakutan terhadap kematian. Melalui bahasa yang intens, penuh pergulatan antara cinta dan kengerian akan waktu, penyair berhasil melukiskan sisi manusia yang paling jujur — yaitu keinginan untuk hidup, untuk dicintai, dan untuk menunda kematian walau hanya sejenak.

Puisi ini memadukan rasa spiritual, emosional, dan filosofis dalam satu aliran perasaan yang kompleks. Aku liris berbicara kepada sosok “kekasih”, tetapi di balik ungkapan kasih itu tersimpan ketakutan dan kegelisahan terhadap sesuatu yang tak terhindarkan: kematian sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah ketakutan manusia terhadap kefanaan dan kerinduan akan kehidupan yang abadi. Penyair menyoroti paradoks eksistensi: bahwa di dalam kehidupan sudah terkandung kematian, dan setiap detik yang dijalani merupakan langkah menuju akhir.

Namun, di tengah kesadaran itu, muncul pula keinginan untuk hidup lebih lama, untuk menikmati cinta, tawa, dan kebersamaan.

Tema ini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga emosional — menyoroti kerapuhan manusia di hadapan waktu dan keinginan untuk mencari makna di tengah kefanaan.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku liris yang merasa ketakutan akan datangnya kematian. Ia berbicara kepada kekasihnya dengan nada manja dan cemas, seolah mencari perlindungan dari rasa takut itu.

“Kekasih, entah mengapa aku jadi begitu manja.
Minta senyum, minta tawa, minta keceriaan menari-nari pada bulat matamu.”

Dari awal, penyair menggambarkan suasana batin yang rapuh. Aku liris mencari kenyamanan pada senyum dan tawa sang kekasih, sebagai bentuk penolakan terhadap ketidakpastian hidup.
Namun, ketenangan itu terusik oleh kesadaran akan waktu:

“Lihatlah... dari timur segerombol waktu merangkak ke arahmu,
minta dibaca, minta diartikan, minta pengertian semuanya berdesakan dari sebuah corong, zaman.”

Di sini, “segerombol waktu” menjadi lambang datangnya usia, perubahan, dan kematian. Waktu tidak hanya berjalan, tetapi merangkak mendekat — menjadi ancaman yang pasti datang.
Bagian berikutnya menunjukkan rasa heran dan putus asa:

“Bukankah baru saja kutebar benih pada pagi hari,
mengapa senja ingin lekas memetik?”

Ungkapan ini menandakan bahwa sang aku liris merasa hidupnya masih muda, masih penuh rencana, tetapi sudah dihantui oleh senja — simbol dari akhir kehidupan.
Pertanyaan itu berubah menjadi teriakan batin penuh keputusasaan:

“Mengusung keranda, berirama zikir, nyinyir sungguh ke arahku, ke arahku sayang!”

Kemudian, pada akhir puisi, penyair menghadirkan perpaduan antara ketakutan dan kerinduan akan kehangatan:

“Ah! Aku jadi begitu penakut sayang, ingin dekap, ingin hangat,
ingin kau temaniku hingga pagi datang…”

Puisi ini pun ditutup dengan kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari semesta — sama fana dan remeh seperti debu:

“...dan kita berbaur dengan manusia, hewan, batu, daun
seperti debu-debu yang berhamburan pada putaran bumi yang semu.”

Dengan demikian, puisi ini menceritakan perjalanan batin seseorang dalam menghadapi kefanaan hidup, rasa takut terhadap kematian, dan pencarian makna lewat kasih.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kehidupan dan kematian tidak dapat dipisahkan — keduanya adalah dua sisi dari satu kenyataan yang sama. Penyair ingin mengatakan bahwa bahkan ketika kita mencintai hidup, kita juga sedang berjalan menuju mati.

Namun, di balik kesadaran yang pahit itu, muncul pula nilai spiritual dan humanistik. Manusia tidak bisa melawan waktu, tetapi bisa memaknai hidup melalui cinta, doa, dan kebersamaan. Ketika aku liris meminta pelukan kekasih dan hangatnya kebersamaan, hal itu bukan sekadar romantisme, melainkan bentuk perlawanan lembut terhadap kefanaan.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan kerendahan hati manusia di hadapan semesta. Baris terakhir — “berbaur dengan manusia, hewan, batu, daun seperti debu-debu yang berhamburan” — menegaskan bahwa semua kehidupan pada akhirnya akan kembali menjadi satu dalam putaran alam yang abadi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah melankolis, cemas, dan reflektif. Sejak awal, puisi memunculkan nada yang lembut namun penuh kegelisahan. Ada rasa takut terhadap sesuatu yang tak bisa dihindari, namun juga ada kehangatan cinta yang berusaha menenangkan hati.

Pergantian antara nada pasrah dan harapan menciptakan dinamika batin yang kuat — membuat pembaca merasakan campuran antara ketakutan dan keindahan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah kesadaran akan kefanaan hidup dan pentingnya memaknai kehidupan melalui cinta dan kasih. Penyair mengingatkan bahwa waktu terus berjalan dan kematian akan datang, tetapi manusia masih memiliki pilihan: untuk menjalani hidup dengan kasih, kesadaran, dan kebersamaan.

Selain itu, puisi ini juga mengajarkan kerendahan hati di hadapan waktu dan Tuhan. Hidup hanyalah serpihan kecil di tengah alam semesta, maka jangan sombong terhadap kehidupan, dan jangan pula takut berlebihan terhadap kematian — karena keduanya adalah bagian dari satu lingkaran yang sama.

Imaji

Muhammad Rois Rinaldi menghadirkan banyak imaji kuat dan simbolik dalam puisi ini:
  • “Segerombol waktu merangkak ke arahmu” menciptakan imaji visual dan metaforis tentang waktu yang hidup dan menyerang.
  • “Bukankah baru saja kutebar benih pada pagi hari, mengapa senja ingin lekas memetik?” menggambarkan perjalanan singkat kehidupan manusia dari kelahiran menuju kematian dengan metafora alam.
  • “Mengusung keranda, berirama zikir” menghadirkan imaji religius yang menggetarkan, seolah kematian bukan hanya peristiwa biologis, tetapi juga spiritual.
  • “Berbaur dengan manusia, hewan, batu, daun seperti debu-debu” adalah imaji alam yang menggambarkan kesatuan universal dan kefanaan makhluk hidup.
Imaji-imaji ini menciptakan kesan puitis yang dalam — menggabungkan visual, spiritual, dan emosional dalam satu napas panjang refleksi.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkaya makna dan keindahan bahasanya:

Personifikasi
  • “Segerombol waktu merangkak ke arahmu” — waktu digambarkan seperti makhluk hidup yang mendekat.
  • “Senja ingin lekas memetik” — senja diberi sifat manusia yang bisa mengambil atau merenggut.
Metafora
  • “Menari-nari pada bulat matamu” — menggambarkan keceriaan hidup yang tercermin pada sosok kekasih.
  • “Isyarat kehidupan itu kematiannya” — kalimat kunci puisi ini sendiri adalah metafora paradoksal antara hidup dan mati.
Hiperbola
  • “Mengusung keranda, berirama zikir, nyinyir sungguh ke arahku” — menggambarkan betapa kuatnya rasa takut akan kematian hingga terdengar seolah kematian mengejek.
Simbolisme
  • “Pagi” melambangkan kelahiran dan harapan.
  • “Senja” melambangkan akhir kehidupan.
  • “Debu” melambangkan kefanaan dan kembalinya manusia ke asalnya.
Puisi “Isyarat Kehidupan Itu Kematiannya” karya Muhammad Rois Rinaldi adalah renungan mendalam tentang makna hidup, ketakutan akan kematian, dan kekuatan cinta sebagai penghibur di tengah kefanaan.

Muhammad Rois Rinaldi
Puisi: Isyarat Kehidupan Itu Kematiannya
Karya: Muhammad Rois Rinaldi

Biodata Muhammad Rois Rinaldi:
  • Muhammad Rois Rinaldi lahir pada tanggal 8 Mei 1988 di Banten, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.