Sumber: Jendela Jadikan Sajak (2003)
Analisis Puisi:
Tema utama puisi “Jendela” karya Frans Nadjira adalah kehidupan dan kelahiran yang disimbolkan melalui hubungan intim antara cahaya dan tubuh perempuan. Penyair menggunakan metafora sensual untuk menggambarkan perjumpaan antara alam (cahaya matahari) dan tubuh manusia (perempuan yang sedang menunggu kelahiran) sebagai simbol pertemuan dua kekuatan kehidupan — spiritual dan biologis.
Puisi ini memadukan tema eksistensial dan erotik dengan cara yang lembut, filosofis, dan simbolik. Ia bukan sekadar berbicara tentang sensualitas, tetapi tentang asal kehidupan itu sendiri — dari rahim perempuan yang dilihat sebagai “sumber kehidupan”, dan dari cahaya yang melambangkan “kesadaran dan kelahiran baru”.
Puisi ini bercerita tentang seorang perempuan yang menunggu kelahiran (mungkin dirinya sendiri yang akan melahirkan), dan ia meminta seseorang untuk menggeser tirai agar cahaya matahari bisa masuk ke kamarnya. Cahaya itu digambarkan seolah memiliki kesadaran — ia “bermain-main di atas tempat tidur”, “menyibakkan gaun”, bahkan “mengintai ke dalam celah paha”. Namun, penyair dengan cerdas menggunakan bahasa puitis sehingga adegan ini tidak vulgar, melainkan menjadi simbol hubungan suci antara kehidupan (perempuan) dan alam semesta (cahaya).
Cahaya matahari dalam puisi ini berperan sebagai penyaksi kelahiran, bahkan seakan menjadi “pengingat” bahwa kehidupan baru akan muncul dari rahim sang perempuan. Kalimat terakhir — “biar ia masuk sebelum Bidan itu datang” — menegaskan bahwa momen ini adalah detik-detik menjelang kelahiran. Cahaya, dalam hal ini, menjadi pertanda sekaligus penyambut kehidupan baru yang akan lahir ke dunia.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini sangat dalam dan simbolik. Frans Nadjira tidak sekadar menggambarkan peristiwa fisik (cahaya menembus kamar atau tubuh perempuan), tetapi mengajak pembaca merenungi asal kehidupan, kemurnian, dan hubungan antara manusia dan alam.
Beberapa makna tersirat yang dapat dibaca antara lain:
- Cahaya matahari sebagai simbol kehidupan dan kesadaran. Ketika penyair menulis “agar cahaya matahari dapat langsung masuk ke dalam kamarku”, itu bukan hanya tindakan praktis, melainkan simbol keterbukaan terhadap kehidupan baru, terhadap terang yang membawa kesadaran spiritual.
- Tubuh perempuan sebagai sumber kehidupan. Cahaya “mengintai ke dalam celah paha” — bukan sekadar sensualitas, tetapi metafora tentang rahim sebagai tempat kelahiran manusia. Cahaya seolah bertanya dengan penuh kagum: “Kehidupan bagaimanakah yang akan lahir dari tempat ini?” Ini adalah pertanyaan filosofis tentang masa depan manusia dan arah peradaban.
- Kesatuan antara alam dan manusia. Dalam pandangan Frans Nadjira, tidak ada batas kaku antara tubuh dan semesta. Alam (cahaya) ikut serta dalam proses kehidupan manusia. Dengan demikian, puisi ini juga bisa dibaca sebagai refleksi pantheistik, di mana alam menjadi bagian dari proses penciptaan dan kelahiran.
- Keterbukaan terhadap pengalaman hidup. Permintaan “geser sedikit tirai itu” juga bisa ditafsirkan sebagai ajakan untuk membuka diri terhadap pengalaman, terhadap cahaya, terhadap kesadaran. Puisi ini mengajarkan bahwa dalam setiap proses kelahiran — fisik maupun batin — dibutuhkan keberanian untuk membuka tirai kegelapan.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini terasa intim, lembut, sekaligus sakral. Meskipun menggunakan citra sensual, penyair tidak menciptakan suasana erotis vulgar, melainkan suasana spiritual dan manusiawi. Ada rasa tenang, hangat, dan penuh harap yang mengiringi setiap baris, terutama saat cahaya matahari digambarkan menyapa tubuh sang perempuan.
Kata-kata seperti “bermain-main di atas tempat tidurku”, “menyibakkan gaunku”, dan “menyelinap ke dalam celah pahaku” membangun suasana hangat dan dekat, sementara kalimat “sebelum Bidan itu datang” menambahkan ketegangan lembut — penantian atas kelahiran, penantian akan kehidupan baru.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama puisi ini adalah ajakan untuk menyambut kehidupan dengan keterbukaan dan kesadaran. Frans Nadjira menyiratkan bahwa kehidupan baru — baik secara fisik (lahirnya seorang bayi) maupun spiritual (lahirnya kesadaran baru) — selalu membutuhkan “cahaya”, yaitu kejujuran, keberanian, dan keterhubungan dengan alam.
Puisi ini juga menyampaikan penghormatan terhadap perempuan dan peran rahim sebagai sumber kehidupan. Cahaya yang “masuk ke dalam kamar” bukan hanya cahaya alam, tetapi simbol restu semesta terhadap proses kelahiran manusia. Dengan kata lain, amanat puisi ini adalah menghargai proses kehidupan yang suci dan alami, serta menyadari bahwa manusia selalu lahir dari pelukan cahaya dan kasih.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan kinestetik yang lembut namun kuat. Frans Nadjira menulis dengan gaya yang sangat sinematik — pembaca seolah dapat melihat dan merasakan pergerakan cahaya itu sendiri. Beberapa imaji penting antara lain:
- “Geser sedikit tirai itu” → imaji visual yang menggambarkan keterbukaan, awal dari peristiwa penting.
- “Cahaya matahari bermain-main di atas tempat tidurku” → imaji visual sekaligus kinestetik; cahaya menjadi makhluk hidup yang bergerak, bermain, dan menyentuh.
- “Menyibakkan gaunku” → imaji sensual yang menggambarkan kedekatan fisik dan spiritual.
- “Mengintai ke dalam celah pahaku” → imaji yang menggambarkan sumber kehidupan, rahim, tempat asal manusia.
Semua imaji tersebut bekerja secara harmonis, menciptakan suasana yang hangat, lembut, dan penuh simbol kehidupan.
Majas
Frans Nadjira menggunakan beberapa majas penting untuk memperkuat daya simbolik puisinya:
Personifikasi
- Cahaya matahari digambarkan seolah makhluk hidup yang “bermain-main”, “menyibakkan gaun”, bahkan “merenung dan bertanya.” → Ini menunjukkan kedekatan spiritual antara manusia dan alam.
Metafora
- “Cahaya matahari” sebagai lambang kehidupan dan kesadaran.
- “Tirai” sebagai batas antara kegelapan dan terang, antara ketidaktahuan dan pencerahan.
Simbolisme
- “Celah paha” melambangkan rahim, tempat kehidupan bermula.
- “Bidan” melambangkan proses kelahiran dan transformasi hidup.
Eufemisme
- Penggunaan bahasa lembut untuk menggambarkan bagian tubuh dan tindakan intim — menandakan kehalusan dan kesopanan dalam ekspresi erotik yang sarat makna.
Puisi “Jendela” karya Frans Nadjira adalah salah satu contoh terbaik dari puisi erotik-spiritual dalam sastra Indonesia modern. Di balik kesan sensualnya, tersembunyi refleksi mendalam tentang asal kehidupan, keindahan tubuh manusia, dan keterhubungan dengan alam semesta.
Melalui permainan simbol cahaya dan tirai, Frans Nadjira menghadirkan renungan bahwa setiap kelahiran — baik jasmani maupun rohani — memerlukan keterbukaan terhadap cahaya. Ini mengingatkan bahwa kehidupan sejati bukanlah hal yang harus disembunyikan, melainkan dihayati, disyukuri, dan disambut dengan kesadaran penuh.
Puisi ini, dengan gaya yang lembut dan penuh simbol, mengajak kita melihat bahwa cahaya dan rahim adalah dua wajah dari satu sumber kehidupan — keduanya saling membutuhkan, saling menyinari, dan sama-sama suci.
Karya: Frans Nadjira
Biodata Frans Nadjira:
- Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.