Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Keselamatan (Karya Djoko Saryono)

Puisi “Keselamatan” karya Djoko Saryono bercerita tentang peristiwa simbolik kehancuran dan penyelamatan, yang mencerminkan kuasa Tuhan dalam ...

Keselamatan

sesudah kerkah tanah
laut pun terbelah: pecah!
semua kejahatan tercegah
dan kebaikan tumpah:
menggulung para bedebah
mengharumi kaum beribadah

"ini keadilan atau kutukkah?
dahsyatnya tak ada dalam sejarah!"

dan para bedebah terimpit dinding rebah
juga tertimbun tanah
tertelan air muntah
dan kaum beribadah bersujud serah
juga bertanam berkah
beramal tambah

siapa masih ingat kisah?
keselamatan telah dicontohkan Allah

Mataram, 2006

Sumber: Arung Diri (2013)

Analisis Puisi:

Puisi “Keselamatan” karya Djoko Saryono merupakan karya yang padat, kuat, dan penuh gema moral. Dengan bahasa yang lugas namun penuh daya simbolik, puisi ini mengangkat persoalan keadilan ilahi dan keselamatan manusia dalam bingkai spiritual dan kosmis. Djoko Saryono, sebagaimana gaya khasnya, menulis dengan diksi yang religius, menggugah, dan penuh ketegangan antara kutukan dan rahmat.

Tema

Tema utama puisi ini adalah keadilan dan keselamatan dalam perspektif ilahi. Penyair menggambarkan bagaimana alam semesta — tanah dan laut — menjadi saksi serta alat bagi Tuhan untuk menegakkan kebenaran. Dalam puisi ini, kejahatan akhirnya terhapus dan kebaikan mendapat tempatnya. Tema ini tidak hanya berbicara tentang bencana atau mukjizat, tetapi juga tentang pembersihan moral di mana yang berbuat zalim akan binasa, sementara yang beriman akan diselamatkan.

Puisi ini bercerita tentang peristiwa simbolik kehancuran dan penyelamatan, yang mencerminkan kuasa Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi.

Bagian awal menggambarkan keretakan tanah dan terbelahnya laut — peristiwa yang bisa dimaknai sebagai bencana besar atau mukjizat. Namun di balik kehancuran itu, justru terjadi pemisahan antara yang jahat dan yang beriman: para “bedebah” musnah, sedangkan kaum yang beribadah selamat dan mendapat berkah.

Kisah ini merefleksikan narasi keagamaan universal seperti kisah Nabi Nuh atau Nabi Musa, di mana alam menjadi medium bagi Tuhan untuk menegakkan kebenaran dan menyelamatkan yang tulus.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah peringatan moral dan spiritual bagi manusia agar tidak lupa pada keadilan dan kekuasaan Tuhan.

Penyair ingin menunjukkan bahwa keselamatan sejati bukan datang dari kekuatan manusia, melainkan dari rahmat dan keimanan kepada Allah. Alam dapat menjadi alat kasih sayang sekaligus amarah ilahi; ia menghancurkan kesombongan dan mengangkat ketulusan.

Di sisi lain, puisi ini juga mengandung refleksi sosial: ketika kejahatan merajalela, kebodohan dan keserakahan manusia akan menghancurkan dirinya sendiri. Namun selalu ada harapan — bahwa kebaikan, ibadah, dan amal akan menjadi jalan menuju keselamatan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah tegang, dahsyat, dan penuh kebesaran. Pada bait-bait awal, kita merasakan getar bencana dan kedahsyatan alam, seperti gempa dan air bah yang meluluhlantakkan segalanya. Namun suasana itu kemudian bergeser menjadi tenang dan religius, saat kaum beribadah digambarkan bersujud dan beramal. Transisi suasana ini mempertegas pesan bahwa di balik kehancuran, selalu ada kebangkitan dan rahmat bagi yang taat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang tersirat dalam puisi ini adalah bahwa keselamatan hanya akan datang kepada mereka yang berbuat baik dan beriman, sementara kejahatan pada akhirnya akan menuai kehancuran. Penyair mengingatkan bahwa keadilan Tuhan pasti datang, meski tidak selalu dalam bentuk yang manusia pahami.

Selain itu, puisi ini juga menegaskan pentingnya kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral manusia terhadap kehidupan dan alam. Dalam setiap peristiwa besar, ada pesan ilahi yang harus direnungkan: apakah itu peringatan, atau justru anugerah keselamatan bagi mereka yang berserah diri.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan imaji gerak. Beberapa citraan yang menonjol antara lain:
  • “kerkah tanah, laut pun terbelah” — menciptakan gambaran visual yang dramatis, seolah bumi pecah karena murka ilahi.
  • “menggulung para bedebah, mengharumi kaum beribadah” — menghadirkan imaji gerak dan aroma spiritual; kebaikan diibaratkan harum, sementara kejahatan tenggelam.
  • “tertelan air muntah” — menciptakan citraan visual dan kinestetik yang kuat, menggambarkan alam yang menelan para pendosa.
Imaji tersebut menjadikan puisi ini terasa hidup dan monumental, seolah menggambarkan adegan akhir zaman atau bencana besar yang sarat makna simbolik.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “Bumi terbelah” dan “laut pun terpecah” bukan sekadar deskripsi fisik, melainkan metafora bagi pemisahan antara kebaikan dan kejahatan.
  • Personifikasi: Alam digambarkan memiliki kemampuan bertindak — tanah yang “kerkah”, laut yang “terbelah”, air yang “muntah” — seolah-olah mereka menjadi perpanjangan tangan Tuhan.
  • Hiperbola: Ungkapan “dahsyatnya tak ada dalam sejarah” memberikan penekanan dramatis terhadap kekuasaan Tuhan yang melampaui nalar manusia.
  • Antitesis: Pertentangan antara “kaum bedebah” dan “kaum beribadah” memperkuat nilai moral dan spiritual yang ingin disampaikan.
Puisi “Keselamatan” karya Djoko Saryono merupakan seruan moral dan religius tentang kekuasaan Tuhan dalam menegakkan keadilan serta memberi keselamatan kepada yang beriman. Dengan diksi yang padat dan simbolik, penyair berhasil menghadirkan gambaran tentang bencana kosmis sebagai proses penyucian spiritual.

Di tengah dunia yang sering diliputi keserakahan dan kezaliman, Djoko Saryono mengingatkan bahwa keselamatan tidak bisa dibeli atau dicapai dengan tipu daya, melainkan diperoleh melalui iman, amal, dan ketulusan hati.

Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk merenungi kembali hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan, serta menyadari bahwa keselamatan sejati hanya akan datang kepada mereka yang hidup dengan keikhlasan dan kebaikan.

Djoko Saryono
Puisi: Keselamatan
Karya: Djoko Saryono

Biodata Djoko Saryono:
  • Prof. Dr. Djoko Saryono lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di kota Madiun.
© Sepenuhnya. All rights reserved.