Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Krisis Hidup (Karya Dodong Djiwapradja)

Puisi “Krisis Hidup” karya Dodong Djiwapradja bercerita tentang kondisi hidup yang seakan berada di tepi jurang. Hidup dan maut diletakkan ...
Krisis Hidup

Hidup dan maut
bertatahan mata dua
Lereng bukit sakit-sakit.

Menari jua pena-pena
Meski dunia hilang bentuk
Dikoyak-koyak.

Dalam dunia gelap ini
Waktu makhluk pada kelaparan mati
Adakah pula seruling nyanyi?

Sumber: Majalah Pudjangga Baru (No. 3, Th XIII, September 1951)

Analisis Puisi:

Puisi “Krisis Hidup” karya Dodong Djiwapradja menghadirkan gambaran tentang pergulatan manusia dalam situasi yang gelap, kacau, dan penuh ketidakpastian. Melalui bahasa yang padat, metaforis, dan terkesan fragmentaris, penyair menggambarkan betapa rapuhnya hidup ketika dunia seakan kehilangan bentuknya. Puisi ini sarat lapis makna yang mencerminkan krisis eksistensial maupun sosial.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketidakpastian hidup dalam situasi krisis, baik secara batin maupun sosial. Ada pergulatan antara hidup dan maut, antara keteraturan dan kehancuran, antara harapan dan kehampaan.

Puisi juga menyinggung krisis eksistensi manusia, terutama ketika dunia yang kita jalani “hilang bentuk” dan diguncang oleh peristiwa yang merusak stabilitas kehidupan.

Puisi ini bercerita tentang kondisi hidup yang seakan berada di tepi jurang. Hidup dan maut diletakkan “bertatahan mata dua,” seperti dua wajah yang terus saling mengintip dan mengawasi manusia.

Lanskap alam—“lereng bukit sakit-sakit”—memberikan simbol bahwa lingkungan dan kehidupan sekitar juga sedang menderita. Dunia terasa koyak, kacau, dan tidak berbentuk. Di tengah kegelapan itu, muncul pertanyaan batin: apakah masih ada nyanyian, cahaya, atau harapan?

Dengan kata lain, puisi ini menggambarkan posisi manusia yang sedang berada dalam krisis mendalam.

Makna Tersirat

Makna tersirat yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  1. Hidup manusia selalu berada dekat dengan kehancuran. Baris “Hidup dan maut bertatahan mata dua” menyiratkan bahwa hidup selalu berdampingan dengan kematian. Keduanya mengintai manusia dari jarak yang sangat dekat.
  2. Dunia sosial sedang kacau. Ungkapan “Meski dunia hilang bentuk / Dikoyak-koyak” memberi tanda bahwa kondisi dunia mengalami gangguan besar — bisa berupa konflik, krisis moral, atau kerusakan sosial.
  3. Ada kehausan akan harapan. Pertanyaan “Adakah pula seruling nyanyi?” menunjukkan kerinduan pada suara harmoni, kedamaian, dan keindahan di tengah dunia yang gelap.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah kelam, muram, mencekam, dan penuh ketidakberdayaan. Semua gambaran yang muncul—dunia gelap, lereng bukit sakit, makhluk kelaparan mati—menyatukan atmosfer yang berat dan penuh tekanan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat ditafsirkan dari puisi ini adalah:
  1. Dalam kondisi hidup yang gelap dan kacau, manusia tetap perlu mencari secercah harapan, diibaratkan sebagai “seruling nyanyi.”
  2. Krisis hidup adalah bagian dari perjalanan manusia, namun harus dihadapi dengan kesadaran, bukan kepasrahan total.
  3. Kita harus peka terhadap kehancuran sosial dan lingkungan, karena keduanya berpengaruh pada kondisi batin manusia.

Imaji

Puisi ini menghadirkan sejumlah imaji yang kuat:

Imaji visual:
  • “Lereng bukit sakit-sakit” menggambarkan alam yang menderita.
  • “Dunia hilang bentuk” memunculkan bayangan dunia yang hancur.
  • “Makhluk pada kelaparan mati” menggambarkan kehancuran kehidupan.
Imaji auditif:
  • “Seruling nyanyi” menjadi simbol suara harapan yang ditanyakan keberadaannya.

Majas

Beberapa majas yang dapat ditemukan:

Metafora
  • “Hidup dan maut bertatahan mata dua” — hidup dan mati diibaratkan dua mata yang terus memantau; metafora tentang kedekatan keduanya.
  • “Dunia hilang bentuk / Dikoyak-koyak” — dunia diibaratkan benda yang dapat dikoyak.
Personifikasi
  • “Lereng bukit sakit-sakit” — bukit diberikan sifat manusia.
  • “Waktu makhluk pada kelaparan mati” — waktu dihadirkan sebagai makhluk yang dapat kelaparan dan mati.
Pertanyaan retoris
  • “Adakah pula seruling nyanyi?” — digunakan untuk mengungkap kegelisahan batin.
Puisi “Krisis Hidup” karya Dodong Djiwapradja menggambarkan kondisi batin manusia yang sedang terhimpit krisis. Dengan memakai bahasa simbolis dan metaforik, penyair membawa pembaca pada suasana dunia yang koyak, gelap, dan penuh ancaman, sembari menyisipkan harapan samar yang dipersonifikasikan lewat pertanyaan tentang “seruling nyanyi.” Sebuah puisi pendek, tetapi padat dalam menggambarkan pergulatan hidup sehari-hari.

Dodong Djiwapradja
Puisi: Krisis Hidup
Karya: Dodong Djiwapradja
    Biodata Dodong Djiwapradja:
    • Dodong Djiwapradja lahir di Banyuresmi, Garut, Jawa Barat, pada tanggal 25 September 1928.
    • Dodong Djiwapradja meninggal dunia pada tanggal 23 Juli 2009.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.