Analisis Puisi:
Puisi “Lanskap Senja di Kota Tua” memiliki tema tentang refleksi kehidupan dan keindahan batin yang diabadikan melalui puisi. Dimas Arika Mihardja, salah satu penyair Indonesia yang dikenal dengan gaya simbolik dan metaforisnya, menggambarkan bagaimana kata-kata menjadi medium untuk menangkap lanskap kehidupan — dengan segala warna, kesedihan, dan misterinya.
Tema ini tidak sekadar menyoroti estetika puisi, tetapi juga proses spiritual dalam memahami kehidupan lewat bahasa dan makna.
Puisi ini bercerita tentang momen perenungan di kala senja, ketika penyair merenungi perjalanan hidup yang tergambar melalui kata-kata dan kenangan.
Baris pembuka “Kata-kata mengarus dan berpusar / mengalirkan silhuet dan lanskap hidup / penuh warna: Mata berkaca-kaca” menggambarkan betapa setiap kata menjadi arus yang membawa potret kehidupan—seperti arus waktu yang tak dapat ditahan.
Kemudian, penyair menulis “Terasa ada yang lepas dari jemari / meluncur ke angkasa / dan hati tersileti: Misteri.” Kalimat ini mengandung makna kehilangan dan ketidakpastian—bahwa hidup adalah perjalanan spiritual yang sarat misteri dan keterlepasan.
Pada bait terakhir, “Relief dan pahatan begitu tegas / kaligrafi dinding hari: Puisi,” penyair seolah menyimpulkan bahwa setiap pengalaman, luka, dan perenungan manusia adalah pahatan kehidupan — yang akhirnya diabadikan dalam bentuk puisi.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran akan kefanaan hidup dan keabadian makna melalui karya. Senja di kota tua menjadi metafora bagi usia yang telah matang, bagi masa lalu yang sarat pengalaman, dan bagi kenangan yang terus hidup dalam kata. Penyair ingin menyampaikan bahwa meski waktu terus berlalu dan manusia kehilangan banyak hal (“ada yang lepas dari jemari”), namun puisi menjadi wadah untuk menyimpan makna-makna yang tak sempat diucapkan.
Selain itu, frasa “kaligrafi dinding hari” menandakan bahwa setiap hari dalam hidup manusia adalah seni yang ditulis oleh waktu. Dalam keheningan senja, penyair membaca kembali “lukisan kehidupan” yang indah sekaligus perih. Makna tersirat ini menunjukkan kesadaran eksistensial — bahwa melalui bahasa dan puisi, manusia dapat mengabadikan jiwanya, meski tubuh dan waktu akan hilang.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, reflektif, dan kontemplatif. Kata-kata seperti “mata berkaca-kaca,” “lepas dari jemari,” dan “hati tersileti” menghadirkan nuansa perasaan yang lembut namun penuh kedalaman. Pembaca diajak masuk ke dalam ruang batin penyair — ruang antara kesedihan, keindahan, dan penerimaan.
Selain itu, kata “senja” secara simbolik memperkuat suasana peralihan — antara terang dan gelap, antara kehidupan dan kenangan, antara masa kini dan masa lalu. Puisi ini mengalir tenang seperti sebuah meditasi lirih tentang makna hidup dan keabadian karya.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional yang kuat:
- Imaji visual muncul pada “silhuet dan lanskap hidup penuh warna” yang seolah melukis panorama kehidupan di bawah cahaya senja.
- Imaji gerak tampak pada “meluncur ke angkasa”, menggambarkan perasaan kehilangan dan kerinduan yang mengarah pada sesuatu yang lebih tinggi atau tak terjangkau.
- Imaji emosional terasa kuat dalam “mata berkaca-kaca” dan “hati tersileti”, membangkitkan rasa haru, duka, sekaligus keindahan batin yang subtil.
Semua imaji ini berpadu membentuk lukisan puitik tentang hidup dan kenangan, seperti foto lama yang hidup kembali di bawah cahaya jingga senja.
Majas
Dimas Arika Mihardja menggunakan sejumlah majas untuk memperdalam makna puisinya:
- Majas metafora: “Kata-kata mengarus dan berpusar” menggambarkan pikiran dan emosi manusia yang terus bergerak dalam arus kehidupan.
- Majas personifikasi: “Kata-kata mengalirkan silhuet dan lanskap hidup” memberi sifat hidup kepada bahasa, seolah kata-kata mampu melukis dunia.
- Majas simbolik: “Senja” dan “kota tua” adalah simbol dari waktu yang menua, kenangan, dan kebijaksanaan.
- Majas hiperbola: “Relief dan pahatan begitu tegas” memperkuat kesan betapa dalam dan membekasnya pengalaman manusia dalam ingatan waktu.
Gaya bahasa ini memperlihatkan karakter khas Dimas Arika Mihardja — metaforis, reflektif, dan penuh spiritualitas simbolik.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah ajakan untuk menghargai hidup, waktu, dan makna yang tersisa melalui karya dan perenungan. Penyair seolah mengatakan bahwa dalam kesunyian senja dan dalam arus kehidupan yang tak dapat kita kendalikan, puisi adalah cara untuk memahami diri sendiri.
Pesan yang lebih dalam lagi adalah: segala yang kita alami — baik bahagia, luka, atau kehilangan — adalah bagian dari “kaligrafi hari” yang indah. Kita tak bisa menghapus masa lalu, tetapi bisa menafsirkannya dengan bijak melalui perenungan, sebagaimana penyair menulis puisi untuk memahami misteri kehidupan.
Karya: Dimas Arika Mihardja
