Analisis Puisi:
Puisi “Lidah Pelayaran” karya Alex R. Nainggolan merupakan puisi yang pekat dengan metafora perjalanan, ingatan, luka masa lampau, dan rindu yang tak pernah sepenuhnya padam. Dengan bahasa yang berlapis dan simbol-simbol maritim yang khas, puisi ini menyingkap dinamika relasi manusia yang terikat oleh kenangan dan pengalaman pahit yang berulang seperti gelombang.
Tema
Puisi ini memuat tema tentang luka masa lalu, kenangan yang terus menghantui, dan hubungan manusia yang dipenuhi rasa sakit namun tetap menyisakan kerinduan. Ada juga tema tentang pelayaran hidup—sebuah metafora untuk perjalanan emosional yang penuh rintangan dan kerusakan yang diwariskan dari masa lampau.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menjenguk sosok lain yang sedang sakit, dan kunjungan itu membangkitkan kembali kenangan pahit yang disamakan dengan “getah pelayaran”—lengket, pahit, dan sulit dihapus. Pertemuan ini membuka kembali luka lama, mengingatkan pada pelayaran atau perjalanan hubungan mereka di masa lalu yang telah lapuk seperti “kayu kapal” yang dimakan rayap.
Meskipun dipenuhi pengalaman getir, penyair mengakui adanya kerinduan untuk kembali mengalami “lidah pelayaran lain”—yakni perjalanan baru, mungkin hubungan baru, atau cara lain untuk menyapa kenangan yang sama di “pantai yang berbeda”.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat dalam puisi ini antara lain:
- Kenangan pahit sering melekat dan membangkitkan trauma lama. “Getah pelayaran” melambangkan masa lalu yang lengket dan tak mudah dilepaskan.
- Relasi manusia kadang dibangun dari luka yang sama. Ada semacam hubungan emosional yang muncul dari rasa sakit bersama—“bukan cuma kamu sendiri yang sedang sakit”.
- Masa lalu tidak selalu dapat diperbaiki. “Kayu kapal telah lapuk” menunjukkan bahwa perjalanan lama sudah tidak dapat dilanjutkan.
- Rayap yang terperangkap adalah simbol ironi dan penyesalan. Masa lalu yang rusak seperti kapal reyot itu seolah menertawakan usaha mereka untuk melupakan.
- Kerinduan tidak harus kembali ke titik lama. Penyair merindukan “pelayaran lain”, bukan mengulang pelayaran yang sama. Ini menyiratkan harapan untuk perubahan atau ruang baru.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini bersifat:
- Gelisah — muncul dari memori dan jerit yang membuka luka lama.
- Melankolis — nostalgia yang pahit dan mengandung kelelahan emosional.
- Sunyi — digambarkan lewat “sudut-sudut sepi” dan pantai tempat bertemu.
Suasana ini menguatkan kesan bahwa puisi berdiri di persimpangan antara trauma dan kerinduan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Beberapa pesan yang dapat dipetik:
- Masa lalu yang rusak tidak selalu bisa diperbaiki, tetapi tetap dapat diakui.
- Menghadapi ingatan buruk adalah bagian dari perjalanan hidup.
- Kerinduan bisa menjadi pintu menuju kesempatan baru, bukan hanya ke masa lalu.
- Hubungan yang pernah runtuh tetap dapat menyisakan pelajaran atau pengertian baru.
Puisi ini seolah mengingatkan bahwa manusia harus berani menatap luka lama untuk bisa berjalan ke arah pantai baru.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini penuh imaji maritim dan tubuh:
- Imaji rasa: “mencecap getah pelayaran” → rasa pahit yang melekat.
- Imaji visual: kayu kapal lapuk, rayap yang terperangkap, pantai yang berbeda.
- Imaji gerak: pelayaran lampau, membuka tuas ingatan.
- Imaji tubuh & suara: jerit, gemetar, berpelukan pada ceracau gelisah.
Imaji laut dan kapal memberi kesan perjalanan emosional yang luas namun rapuh.
Majas dalam Puisi
Beberapa majas yang menonjol:
Metafora
- “Getah pelayaran” → kenangan pahit.
- “Lidah pelayaran” → perjalanan batin, pengalaman, atau komunikasi emosional.
Personifikasi
- Rayap yang “menertawai” → simbol ironi masa lalu.
- Silsilah yang “bangkit gemetar” → luka lama yang hidup kembali.
Simbolisme
- Kapal lapuk → hubungan yang runtuh atau pengalaman traumatis.
- Pantai berbeda → ruang atau kesempatan baru.
Hiperbola
- “Kita kunyah jadi matahari” → melebih-lebihkan perubahan rasa sakit menjadi energi atau pelajaran hidup.
Puisi “Lidah Pelayaran” menyentuh lapisan terdalam dari hubungan manusia—masa lalu yang pahit, ingatan yang tak kunjung sembuh, dan kerinduan yang tetap tumbuh meski pelayaran sebelumnya sudah rusak. Alex R. Nainggolan menghadirkan bahasa metaforis yang kuat, imaji maritim yang pekat, serta refleksi emosional yang luas. Puisi ini mengingatkan bahwa perjalanan hidup tidak hanya ditentukan oleh masa lalu, tetapi juga oleh keberanian untuk mencari “pantai yang berbeda”.