Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Memandang Sungai (Karya Ook Nugroho)

Puisi "Memandang Sungai" karya Ook Nugroho terdiri dari dua bagian yang sama-sama memotret perubahan, ironi, dan ketidakterdugaan hidup.
Memandang Sungai (1)

kalau melihatmu
di gunung
asalmu bermula
mengalir alon-alon
sabar merayap
di sela bebatuan
siapa mengira
suatu ketika
setibanya di kota
kau meluap membanjiri
kami dengan
bencana

Memandang Sungai (2)

kalau mengenang lagi
masa orokmu dulu
kencing di celana
merengek kau paksa
ibumu bangun
jam 3 pagi
siapa bakal percaya
kelak suatu hari
kau memasang bom
meledakkan cafe itu
berantakan

Analisis Puisi:

Puisi "Memandang Sungai" karya Ook Nugroho terdiri dari dua bagian yang sama-sama memotret perubahan, ironi, dan ketidakterdugaan hidup. Melalui metafora sungai dan masa kecil, penyair menghadirkan renungan tajam tentang bagaimana sesuatu yang tampak tidak berbahaya pada awalnya dapat berubah menjadi sumber petaka.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perubahan dan ironi, khususnya tentang bagaimana sesuatu atau seseorang yang awalnya tampak polos, jinak, bahkan manis, dapat berubah menjadi ancaman besar. Tema lain yang ikut mengalir adalah ketidakterdugaan karakter manusia, serta kritik sosial terhadap munculnya bencana dan kekerasan di tengah kehidupan modern.
  1. Secara literal, bagian pertama puisi bercerita tentang sungai: dari hulu yang tenang, lembut, dan lamban, hingga akhirnya di kota berubah menjadi air meluap yang membawa bencana.
  2. Bagian kedua, secara metaforis, bercerita tentang seseorang sejak masa kecil (diibaratkan sebagai bayi) yang tampak tidak berbahaya—hanya menangis, ngompol, dan membangunkan ibunya—namun kelak berubah menjadi pelaku kekerasan, penanam bom yang meledakkan sebuah kafe.
Dari sini terlihat bahwa puisi ini bercerita tentang perubahan ekstrem, baik pada alam maupun manusia.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini sangat kuat dan ironis:
  1. Tidak ada yang benar-benar bisa diprediksi dari awal. Sungai yang dahulu lembut bisa berubah menjadi bencana. Bayi yang polos bisa tumbuh menjadi pelaku tragedi.
  2. Puisi ini mengajak pembaca merenungkan sumber bencana, baik yang sifatnya alam maupun sosial.
  3. Ada kritik bahwa lingkungan, tekanan sosial, atau situasi tertentu dapat membentuk seseorang menjadi berbahaya, meskipun ia lahir sebagai individu polos.
  4. Juga tersirat pesan bahwa manusia sering kali lupa bahwa setiap bencana memiliki asal-usul, dan bahwa yang tampak tenang bukan berarti akan selamanya begitu.

Imaji

Imaji dalam puisi ini kuat, konkret, dan mudah divisualisasikan:

Memandang Sungai (1):
  • “mengalir alon-alon, sabar merayap di sela bebatuan” → imaji visual yang menghadirkan gambaran sungai kecil dan jernih.
  • “meluap membanjiri kami dengan bencana” → imaji visual tentang banjir besar yang menghancurkan.
Memandang Sungai (2):
  • “kencing di celana”, “merengek jam 3 pagi” → imaji masa bayi yang dekat dengan keseharian.
  • “memasang bom, meledakkan cafe itu berantakan” → imaji kekerasan yang mendadak dan brutal.
Imajinasi pembaca sengaja dibuat “melompat” dari kondisi polos ke kondisi ekstrem, menunjukkan kontras yang kuat.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:

Personifikasi

Pada bagian pertama, sungai digambarkan memiliki sifat manusia:
  • “sabar merayap”
  • “membanjiri kami dengan bencana” (seakan-akan sungai bertindak secara sadar)
Metafora

Bagian kedua sepenuhnya bermain dengan metafora:
  • Bayi yang dulu “kencing di celana” menjadi metafora seseorang yang kelak menjadi pelaku bom.
  • Perjalanan hidup manusia disamakan dengan perjalanan sungai yang awalnya tenang lalu menghancurkan.

Ironi

Ini adalah majas paling dominan. Kontras antara:
  • yang kecil vs. yang besar
  • yang polos vs. yang mematikan
  • masa lalu lembut vs. masa depan penuh kekerasan: membangun efek ironi yang kuat.

Suasana dalam Puisi

Suasana (mood) puisi berkembang secara bertahap:
  • Awal puisi terasa tenang, lembut, dan penuh kenangan, terutama ketika menggambarkan sungai kecil dan masa bayi.
  • Namun perlahan suasana berubah menjadi gelisah, menakutkan, dan tragis ketika penyair mengungkap bahwa keduanya kelak membawa bencana.
Perubahan suasana inilah yang membuat puisi terasa tajam dan mengejutkan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Bila dibaca secara lebih reflektif, puisi ini dapat menyampaikan beberapa amanat:
  1. Jangan menilai sesuatu hanya dari permulaannya. Baik sungai maupun manusia berubah oleh perjalanan, tekanan, dan lingkungan.
  2. Bencana tidak pernah hadir tiba-tiba. Ada proses panjang yang sering luput dari perhatian.
  3. Perlu mawas diri terhadap perkembangan lingkungan sosial, karena tragedi besar bisa bermula dari hal kecil yang diabaikan.
  4. Pengasuhan, lingkungan, dan kondisi sosial dapat membentuk karakter seseorang, sehingga penting untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan damai.
Puisi "Memandang Sungai" karya Ook Nugroho merupakan karya satir yang sederhana dalam bentuk, tetapi sangat kuat dalam pesan dan ironi. Dengan memadukan metafora sungai dan gambaran masa bayi, penyair menegaskan bahwa perubahan yang ekstrem tidak terjadi tanpa sebab, dan bahwa masa depan sesuatu—baik alam maupun manusia—tidak selalu seindah atau sejinak masa awalnya.

Ook Nugroho
Puisi: Memandang Sungai
Karya: Ook Nugroho

Biodata Ook Nugroho:
  • Ook Nugroho lahir pada tanggal 7 April 1960 di Jakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.