Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Memoria Sederhana (Karya Surachman R.M.)

Puisi “Memoria Sederhana” adalah potret getir tentang kehidupan seorang anak — kemudian seorang perempuan — yang tumbuh tanpa kasih sayang, hidup ...
Memoria Sederhana
Em, Anak angkat

anak yang datang serahkan diri
dan pergi tanpa pamit
citanya menembusi 7 langit
tapi gentar manusia
merasa mereka mengatas dianya

antara hadir dan pergi di sanggar asing
tak jamah sayang emak
tak kenal cita bapak

hati yang dilipur sepanjang hari
dengan jarum, cita dan benang
bernafas dalam kepahitan kasih berlebih

dengar sorak anak di lapangan
nampak bocak masak kue tanah
dara sepi menangisi masa kanak

dara yang menyerah diri dan pergi sonder pamit
tak jumpa keputusan dalam jahit + pingit
dara terpisah yang takut alam keliling

kehadiran dan keruntuhan di ranjang asing

Sumber: Merdeka (1 November 1955)

Analisis Puisi:

Puisi “Memoria Sederhana” menghadirkan potret getir kehidupan seorang anak—kemudian seorang dara—yang tumbuh tanpa kehangatan keluarga dan terlempar ke lingkungan asing yang tidak memberinya perlindungan. Dengan bahasa yang lugas namun penuh luka batin, Surachman R.M. menghadirkan gambaran memori yang tampak “sederhana” tetapi sebenarnya menyimpan trauma, kesepian, dan kehilangan jati diri. Puisi ini bergerak dari masa kanak-kanak hingga kedewasaan, menggambarkan perjalanan seorang perempuan yang hidupnya penuh keterputusan: terpisah dari keluarga, terpisah dari kasih sayang, dan terpisah dari masa depan yang semestinya ia miliki.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kesepian dan keterasingan seorang anak yang tidak mendapatkan kasih sayang keluarga, lalu tumbuh menjadi perempuan yang rapuh dan terputus dari masa kecilnya sendiri.

Tema pendamping yang juga kuat:
  • Trauma dan memori yang membentuk identitas seseorang
  • Kehidupan anak angkat / anak yang terbelah dari akar keluarganya
  • Kegamangan seorang perempuan dalam lingkungan yang menekan
Puisi ini memotret bagaimana pengalaman masa kecil yang pahit dapat membentuk perjalanan hidup seseorang hingga dewasa.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang menyerahkan diri (kemungkinan sebagai anak angkat atau dititipkan), lalu tumbuh dalam lingkungan asing tanpa kasih sayang “emak” dan “bapak”.

Ia hidup di sanggar atau rumah orang lain, menjalani hari-hari dengan kerja menjahit (“jarum, cita dan benang”), sementara batinnya dipenuhi kepahitan meskipun diberi “kasih berlebih” yang justru terasa menjerat.

Saat mendengar tawa anak-anak lain di lapangan dan melihat bocah bermain tanah, ia menyadari masa kecilnya hilang. Ketika dewasa dan menjadi “dara”, ia tetap membawa luka yang sama: menyerahkan diri, pergi tanpa pamit, dan tidak menemukan keputusan dalam “jahit + pingit” — pekerjaan dan batasan yang membatasi kebebasannya.

Puisi ditutup dengan gambaran tragis tentang kehadiran dan keruntuhan di ranjang asing, menyiratkan kemungkinan eksploitasi, ketidakberdayaan, atau pelarian menuju hubungan yang tidak sehat.

Makna Tersirat

Puisi ini kaya makna tersirat yang menyentuh sisi sosial maupun psikologis:
  1. Anak yang tidak dibesarkan keluarga kandung kehilangan identitas emosional. Ketika seorang anak dibesarkan tanpa sentuhan cinta yang tepat, ia tumbuh dengan kekosongan yang permanen.
  2. “Tak jamah sayang emak / tak kenal cita bapak” menegaskan hilangnya akar emosional.
  3. Trauma masa kecil dapat mengikuti hingga dewasa. Dari “anak” menjadi “dara”, pola keterasingan tetap berulang. Ia tetap “pergi sonder pamit,” tetap tidak menemukan pegangan, tetap takut pada dunia.
  4. ‘Memoria sederhana’ tidak selalu sederhana. Yang sederhana hanyalah bentuk luarnya; substansi memorinya adalah penderitaan, kehampaan, dan luka batin.
  5. Perempuan muda rentan terhadap eksploitasi dalam lingkungan asing. “Ranjang asing” mengisyaratkan pengalaman pahit: mungkin pekerja rumah tangga yang tidak dihargai, mungkin korban hubungan tak sehat, atau mungkin simbol keruntuhan martabat akibat tekanan sosial.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini sangat dominan:
  • Melankolis – penuh ingatan yang menyakitkan.
  • Suram – karena hidup tokoh digambarkan terus berada dalam ruang asing yang tidak memberi perlindungan.
  • Sepi – “dara sepi menangisi masa kanak” menjadi inti suasana puisi.
  • Tercekam – terutama pada bagian akhir yang menggambarkan keruntuhan di “ranjang asing”.
Suasana ini menegaskan bahwa hidup tokoh dalam puisi adalah hidup yang terputus dari kehangatan dan kenyamanan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Beberapa pesan yang dapat ditangkap:
  1. Kasih sayang keluarga adalah fondasi penting dalam tumbuh kembang anak. Tanpa itu, seorang anak berpotensi tumbuh dalam keterasingan dan kehilangan arah.
  2. Masyarakat harus lebih peka terhadap nasib anak yang dibesarkan di luar keluarga inti. “Anak angkat” atau anak titipan bukan sekadar diberi makan dan tempat tidur, tetapi juga butuh cinta, perhatian, dan identitas emosional.
  3. Luka masa kecil tidak hilang dengan sendirinya. Trauma yang tidak ditangani dapat membentuk masa depan penuh ketakutan dan keruntuhan.
  4. Perempuan muda sering kali berada dalam posisi rentan dalam ranah sosial dan domestik. Puisi ini mengingatkan bahwa sistem sosial yang tidak sehat dapat mematahkan kehidupan perempuan sejak kecil.

Imaji

Puisi ini memiliki banyak imaji puitis yang memperkuat makna:

Imaji visual
  • “dengar sorak anak di lapangan” → gambaran hidup masa kecil yang normal, namun tidak dimiliki tokoh.
  • “bocak masak kue tanah” → permainan polos anak-anak, kontras dengan masa kecil tokoh.
Imaji perasaan
  • “dara sepi menangisi masa kanak” → imaji yang kuat tentang kesedihan dan penyesalan.
Imaji gerak
  • “anak yang datang serahkan diri / dan pergi tanpa pamit” → gerak seorang anak yang berpindah tanpa kontrol atas hidupnya.
Imaji pekerjaan domestik
  • “jarum, cita dan benang” → kehidupan yang monoton, kerja keras, dan tanpa kegembiraan.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi:

Metafora
  • “citanya menembusi 7 langit” → cita-cita tinggi yang ingin dicapai anak.
  • “hati yang dilipur… dengan jarum, cita dan benang” → pekerjaan menjahit sebagai simbol pelipur yang justru pahit.
Personifikasi
  • “dara sepi menangisi masa kanak” → sepi diperlakukan seperti subjek yang bisa menangisi.
Hiperbola
  • “menembusi 7 langit” → penggambaran berlebihan untuk cita-cita besar seorang anak.
Simbolik
  • “ranjang asing” → simbol keruntuhan kehormatan, ketidaknyamanan, atau pengalaman traumatis.
  • “pingit” → simbol pengekangan terhadap perempuan.
Puisi “Memoria Sederhana” adalah potret getir tentang kehidupan seorang anak — kemudian seorang perempuan — yang tumbuh tanpa kasih sayang, hidup dalam lingkungan asing, dan membawa luka masa kecil hingga dewasa. Dengan tema keterasingan dan trauma, puisi ini menggugah pembaca untuk melihat bahwa kehidupan seseorang dapat runtuh hanya karena absennya cinta dan perhatian di masa kecil. Imaji yang kuat, suasana yang kelam, dan majas simbolik membuat puisi ini memancarkan duka yang dalam, namun sekaligus penting sebagai refleksi sosial tentang nasib anak-anak yang terpinggirkan.

Surachman R.M.
Puisi: Memoria Sederhana
Karya: Surachman R.M.

Biodata Surachman R.M.:
  • Surachman R.M. lahir pada tanggal 13 September 1936 di Garut, Jawa Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.