Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menjadi Presiden (Karya Muhammad Rois Rinaldi)

Puisi “Menjadi Presiden” karya Muhammad Rois Rinaldi bercerita tentang seseorang yang menyindir perilaku para pemimpin dengan cara berpura-pura ...
Menjadi Presiden

Sudah, aku saja yang menjadi presiden
aku juga bisa berpura-pura
karena aku lahir dari rahim sandiwara.

Aku juga pandai menyusun kata
sudah pasti pidato kenegaraanku lebih mengena.

Yah....
Kalau urusan korupsi
tinggal buat kesepakatan bersama
barang siapa ketahuan
segera larikan ke luar negeri.

Gampang saja kan?
Sudah!
Biar aku saja yang jadi presiden.

Analisis Puisi:

Puisi “Menjadi Presiden” karya Muhammad Rois Rinaldi merupakan karya yang tajam, satir, dan menggigit. Dengan gaya bahasa sederhana dan nada bercanda, penyair sebenarnya sedang melancarkan kritik sosial-politik yang serius terhadap perilaku elite dan sistem kekuasaan di negeri ini. Puisi ini mengandung humor pahit yang justru memperkuat pesannya — bahwa jabatan tertinggi sekalipun sering kali dijalankan dengan kepura-puraan, kebohongan, dan korupsi yang dilegalkan secara sistemik.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap kemunafikan dan korupsi dalam kepemimpinan politik. Melalui suara seorang aku liris yang “bercanda ingin menjadi presiden”, penyair menggambarkan kondisi kepemimpinan bangsa yang penuh sandiwara — di mana kekuasaan bukan lagi ladang pengabdian, melainkan panggung drama untuk mempertontonkan kepura-puraan dan keserakahan.

Tema ini tidak hanya menyentuh ranah politik, tetapi juga mencerminkan krisis moral dan integritas di kalangan penguasa yang dianggap sudah kehilangan rasa tanggung jawab terhadap rakyat.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menyindir perilaku para pemimpin dengan cara berpura-pura ingin menjadi presiden. Aku liris dalam puisi berkata dengan nada santai, “Sudah, aku saja yang menjadi presiden,” seolah jabatan itu bisa diambil dengan mudah. Namun di balik kalimat ringan itu tersimpan ironi mendalam: bahwa menjadi presiden bukan lagi perkara tanggung jawab dan kejujuran, melainkan kemampuan berpura-pura, bermain peran, dan menutupi kebohongan.

Baris “karena aku lahir dari rahim sandiwara” menunjukkan bahwa dunia politik, bagi penyair, telah menjadi panggung besar penuh kepalsuan. Pemimpin tidak lagi berbicara dengan hati nurani, melainkan dengan naskah yang disusun demi kepentingan citra dan kekuasaan.
Lebih jauh, pada bagian:

“Yah.... Kalau urusan korupsi
tinggal buat kesepakatan bersama
barang siapa ketahuan
segera larikan ke luar negeri.”

Bagian ini menegaskan nada sinis penyair terhadap praktik korupsi yang dianggap lumrah dan bisa dinegosiasikan. Seolah korupsi bukan lagi kejahatan, melainkan tradisi yang dikelola bersama dengan saling menutupi.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah kritik terhadap budaya kekuasaan yang korup dan penuh kepura-puraan di masyarakat modern. Penyair ingin mengatakan bahwa di dunia politik, terutama dalam sistem pemerintahan yang bobrok, jabatan presiden sering kali tidak dijalankan dengan kejujuran, tetapi dengan sandiwara — berpura-pura suci, berpura-pura peduli, padahal menyembunyikan kepentingan pribadi dan kelompok.

Kalimat “Aku juga pandai menyusun kata, sudah pasti pidato kenegaraanku lebih mengena” menyinggung bagaimana banyak pemimpin lebih mahir beretorika daripada bertindak nyata. Politik berubah menjadi pertunjukan kata-kata, sementara rakyat tetap dalam penderitaan.

Dengan gaya sindiran yang tajam, penyair juga mengungkap pesimisme terhadap integritas politik di Indonesia: bahwa siapapun yang masuk ke dalam sistem kekuasaan mudah terbawa arus kebusukan yang sudah mengakar.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah satir, sinis, namun juga jenaka dan getir. Nada penyair tampak seperti bercanda, tetapi di balik humor itu tersimpan kepedihan dan kegetiran melihat kenyataan bangsa yang dikuasai orang-orang bermuka dua.

Kalimat seperti “Sudah, aku saja yang menjadi presiden” diucapkan dengan nada ringan, namun terasa pahit karena pembaca tahu bahwa yang sedang disindir adalah keseriusan persoalan bangsa — korupsi, kemunafikan, dan permainan politik yang jauh dari moralitas.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah peringatan agar kekuasaan dijalankan dengan tanggung jawab dan kejujuran, bukan sebagai panggung sandiwara. Penyair ingin membuka mata pembaca bahwa di balik citra pemimpin yang tampak gagah di podium, sering kali tersimpan kebusukan moral dan kepura-puraan.

Puisi ini juga mengajak masyarakat untuk tidak mudah percaya pada retorika politik, karena keindahan kata-kata tidak selalu berarti kebenaran. Yang lebih penting adalah tindakan nyata dan integritas.

Selain itu, ada juga amanat moral yang lebih luas: bahwa kekuasaan adalah ujian bagi nurani manusia. Ketika jabatan dijadikan ajang memperkaya diri dan berbohong kepada rakyat, maka peradaban sedang berjalan mundur.

Imaji

Meski sederhana, puisi ini menyuguhkan imaji sosial dan politik yang kuat. Kita bisa membayangkan sosok seorang “presiden palsu” yang sedang berpidato dengan kata-kata indah, namun di baliknya penuh tipu daya. Imaji tentang “rahim sandiwara” menghadirkan gambaran lahirnya manusia-manusia politik yang hidup dalam kepalsuan sejak awal.

Sementara kalimat “tinggal buat kesepakatan bersama, barang siapa ketahuan segera larikan ke luar negeri” membentuk imaji sosial yang jelas — tentang budaya korup yang terorganisasi, tentang pejabat yang berlari dari tanggung jawab, dan sistem yang memberi celah pada kejahatan.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkuat efek satir dan ironinya:
  • Sarkasme: Seluruh puisi bernuansa sarkastik, terutama pada bagian “barang siapa ketahuan segera larikan ke luar negeri.” Sarkasme digunakan untuk mengkritik kebiasaan pejabat korup yang melarikan diri saat ketahuan, namun tetap ditulis dengan gaya humor.
  • Ironi: “Aku juga pandai menyusun kata, sudah pasti pidato kenegaraanku lebih mengena.” Kalimat ini mengandung ironi, karena di balik pujian pada diri sendiri, tersimpan sindiran terhadap pemimpin yang hanya pandai berbicara.
  • Metafora: “Aku lahir dari rahim sandiwara” adalah metafora yang sangat kuat, menggambarkan dunia politik sebagai tempat kelahiran segala kepalsuan dan manipulasi.
  • Repetisi: Kata “Sudah” yang diulang di awal dan akhir puisi memberi kesan tegas sekaligus jenaka — seolah penyair benar-benar sedang menegaskan keputusan sarkastiknya untuk “menjadi presiden”.
Puisi “Menjadi Presiden” karya Muhammad Rois Rinaldi merupakan sindiran sosial yang tajam terhadap praktik kekuasaan yang penuh kepalsuan dan korupsi. Dengan gaya humor yang lugas, penyair menyampaikan kritik pedas tentang bagaimana jabatan tinggi sering dijalankan tanpa moralitas, hanya sebagai panggung sandiwara.

Melalui nada sinis, penyair mengingatkan pembaca agar tetap kritis, tidak terlena oleh pidato atau janji indah para pemimpin. Karena sejatinya, menjadi presiden — atau pemimpin dalam bentuk apapun — bukanlah tentang berpura-pura atau pandai berkata-kata, tetapi tentang kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian untuk menegakkan kebenaran.

Muhammad Rois Rinaldi
Puisi: Menjadi Presiden
Karya: Muhammad Rois Rinaldi

Biodata Muhammad Rois Rinaldi:
  • Muhammad Rois Rinaldi lahir pada tanggal 8 Mei 1988 di Banten, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.